Saturday, May 7, 2011

Anestesi Penderita Cedera Kepala Pada Pembedahan Non Craniotomi (BAGIAN 1)

Bookmark and Share

Oleh : Dr.Abdullian, Sp.An. KNA
          Bagian/SMF Anestesiologi RSUP Dr. Kariadi      
          Semarang, Indonesia

PENDAHULUAN


Tidak semua cedera kepala membutuhkan craniotomi, namun proses cedera sekunder bila dibiarkan akan berjalan terus memuluskan penderita ke gerbang maut.



Celakanya ditambah cedera extracranial yang cukup potensial memberatkan penderita dimana dibutuhkan tindakan operasi darurat.


Perhatian ahli anestesi bisa terpusat pada daerah operasi, sementara perkembangan cedera kepala akut akibat teknik dan obat-obatan yang digunakan tidak diperhitungkan membuat sasaran operasi tidak tercapai sesuai yang diharapkan.



Disini diperlukan kecepatan dan ketepatan dengan ketrampilan yang tinggi untuk menutup secara serentak semua lubang-lubang maut.


Semuanya ini hanya mungkin dilakukan dengan bekal pathophysiologi dan farmakologi yang mantap.


EVALUASI PRA OPERATIF



Setiap penderita cedera (trauma) haruslah dicurigai adanya cedera (trauma) ganda (multiple) apalagi cedera kepala.


Penilaiannya (evaluasi) berupa penilaian primer dan sekunder.


Penilaian primer berkaitan dengan life saving (penyelamatan nyawa) penderita meliputi :


A. Air way control with supine protection
B. Breathing
C. Circulation & Control Hemorrhage.
D. Disability/disorders of CNS.
E. Eksposure the whole body.


Penilaian sekunder meliputi pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki dan pemeriksaan diagnostik (Xray, CTscan, MRI dll).



Ini penting untuk menyusun prioritas masalah mana yang ditangani lebih dulu.


Pada cedera kepala akut penyebab utama rusaknya otak adalah cedera mekanik, perdarahan, odem dan iskemik otak.


Yang menjadi tanggung jawab ahli anestesi adalah mencegah dan mengurangi odem dan iskemia otak akibat cedera sekunder yang terjadi setelah beberapa menit sampai beberapa jam sesudah kejadian.


Cedera sekunder bisa disebabkan oleh faktor intrakranial (hematom, odem) dan faktor extrakranial (systemik) hipoksia hiperkarbia, hipotensi maupun hipertensi dan lain-lain.


Antara injury, iskemia, odem dan peninggian tekanan intrakranial (ICP) merupakan lingkaran setan (Ciclus vitiosus) yang segera harus diputuskan.


Disini kita dituntut harus mampu memberikan proteksi otak penderita dengan mengendalikan tekanan intrakranial ICP, volume otak, mencegah iskemia dan mengurangi perdarahan baik didalam maupun diluar pembedahan.


Pada trauma diluar kepala umumnya intervensi ahli anestesi mengendalikan cardio respirasi.


Namun bersamaan dengan adanya kelainan otak dalam mengendalikan respirasi dan hemodinamik haruslah berorientasi proteksi terhadap otak.


Dengan perkataan lain baik operasi otak maupun operasi diluar otak dengan adanya kelainan otak, ahli anestesi mutlak harus menguasai neuropatofisiogi dan neuro farmakologi.


Langkah pertama haruslah cepat mendeteksi dan mengkoreksi adanya hipoksia dan hipotensi oleh karena kedua faktor ini paling sering sebagai penyebab berkembangnya cedera sekunder yang pada akhirnya menimbulkan iskemi dan kerusakan otak.


Hampir 65% penderita cedera kepala berat dengan bernafas spontan dalam keadaan hipoksemia.


Penyebab hipoksia terutama oleh karena kegagalan respirasi baik sentral maupun periperal. Penyebab sentral yang paling sering adalah kenaikan agressif dari ICP atau kerusakan pusat respirasi pada brainstem (batang otak).
Kenaikan ICP bisa oleh karena odem otak yang diffus atau desakan hematom yang luas.


Penyebab periperal biasanya oleh karena obstruksi jalan nafas atau disfungsi alat-alat respirasi (paru dan otot-otot respirasi).


Obstruksi jalan nafas umumnya oleh karena lidah jatuh kebelakang makanya membebaskan jalan nafas lini terdepan harus diamankan.


Namun dalam mengendalikan jalan nafas haruslah mengacu pada proteksi medulla spinalis/otak.


Sepanjang diagnose cedera spinal belum dapat disingkirkan, kita harus mempertahankan penderita sebagai penderita cedera spinal terutama cervical.


Tidak boleh ada gerakan (rotasi, extensi, fleksi) kepala maupun sepanjang vertebra karena akan memperberat lesi yang ada atau menambah lesi yang baru dengan perkataan lain harus dilakukan imobilisasi spinal total yang berarti tidak hanya kepala dan leher saja tetapi dada, pinggul dan extrimitas bawah dimobilisasi secara tepat dan benar.


Membersihkan jalan nafas harus hati-hati oleh karena setiap rangsangan daerah pharyng cenderung menaikkan tensi maupun ICP apalagi bila disertai cedera medulla spinalis setinggi T1 - L1 sering disertai hilangnya inervasi simpatis pada jantung menyebabkan inervasi vagus (parasimpatis) tidak terkompensasi sehingga terjadi bradikardi dan hipotensi.


Dalam hal ini mengalami dillema disatu sisi, sulfas atropin sangat melindungi untuk kasus cedera medulla spinalis sementara menambah takikardi pada penderita cedera kepala.


Mengendalikan respirasi dapat dicapai dengan intubasi trakheal, krikotirotomi atau trakeostomi.


Intubasi sendiri punya resiko meningkatkan ICP dan memperburuk cedera leher yang ada. Namun penderita dengan hipoksia dan hiperkabia, aliran darah otak (CBF) akan meningkat justru akan menaikkan ICP dan menambah odem otak.



Dengan intubasi tidak hanya mampu mengkoreksi hipoksi dan hiperkarbi tetapi juga dapat mencegah aspirasi dan menurunkan ICP dengan teknik hiperventilasi.


Bersambung

0 comments:

Post a Comment

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...