Thursday, June 30, 2011

Pulmonary Gas Exchange (BAGIAN 5)

Bookmark and Share

III. VENTILASI  PERFUSI :


Normalnya pertukaran gas  CO2 dan O2 tergantung pada normalnya hubungan antara alveolar ventilasi (VA) dan perfusi (Q),dengan perkataan lain adanya keseimbangan ventilasi perfusi.


Kita ketahui tekanan arteri pulmonal cukup rendah dalam keadaan normal sehingga waktu posisi berdiri, gravitasi sendiri dapat melemahkan perfusi pada unit paru bagian atas sehingga ratio ventilasi perfusi (VA/Q) didaerah apex relatif tinggi, sebaliknya pada basis paru perfusi lebih tinggi dibandingkan ventilasi sehingga ratio ventilasi perfusi (VA/Q) jadi rendah.


Nilai VA/Q bervariasi antara 0 sampai tak berhingga.


Pada ratio VA/Q =  0 berarti perfusi baik tetapi tak ada ventilasi disebut wasted perfusion. Dalam keadaan ini didapati complete shunt dimana PaO2 = PvO2.


Diagnose shunt diketahui dengan peninggian gradient tekanan partiel O2 dan alvoli > 10 Besarnya % shunt bisa diketahui dengan memakai rumus :

                                                                                                        
                                                                             0,0031 x (A-a) DO2
       Bila PaO2 > 150 torr -------- Qs / Qt  =   -----------------------------------------
                                                                 {{0,0031x (A-a) DO2}} + (a-v) DDO2}

                                                                  (CeO2 - CaO2)
       Bila PaO2 < 150 torr----------Qs / Qt  =  -------------------------
                                                                  (CaO2 - CvO2)
                                                                   normal = 2-5%

                     CO2    =  O2 content
                         a    =   arteriel
                         v    =   venous
                         e    =   end capillary

Shunt > 30% mungkin terlihat pada CHD, trauma paru, fat emboli paru, pneumonia, gross
obesity dan lain-lain.


Bila kita perhatikan besarnya shunt dengan respons terhadap pemberian O2 dalam udara
inspirasi (FiO2) dapat kita duga besarnya shunt yang terjadi.  

            % shunt                                   % FiO2 untuk mengembalikan PaO2 normal
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                    10                                                         30
                    20                                                         57                                 
                    30                                                         97
                    40                                              tidak mungkin kembali normal
                    50                                              tidak ada efek sama sekali pada PaO2
------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Bila shunt 50% maka tidak ada effek terhadap PaO2 berapa besarpun FiO2 diberikan.


Bila ratio VA / Q tidak berhingga berarti ventilasi baik tetapi tak ada perfusi disebut wasted ventilation menyebabkan meningkatnya alveolar dead space ventilation.


Unit paru yang perfusinya rendah relatif hiperventilasi ini akan mengakibatkan PACO2 yang sangat rendah dan PAO2 yang tinggi. Yang sangat menarik unit paru ini sangat sedikit pengaruhnya pada PaCO2 dan PaO2  oleh karena perfusi yang jelek hanya memberikan sedikit darah sehingga sedikit gangguan langsung pada PaO2 total.


Jika unit ini terkena cukup bermakna maka akan meningkatkan wasted ventilation dengan demikian peningkatan minute volume diperlukan untuk mempertahankan PaO2 yang normal sebab bila PaCO2 meninggi maka PaO2 akan menurun.


Pada posisi berbaring blood flow kedaerah apex paru meningkat sedangkan kedaerah basal tetap. Dengan demikian distribusi darah jadi merata.


Dengan adanya distribusi darah/ventilasi yang berbeda dilapangan paru maka lapangan paru dapat dibagi atas zone I, II, III.

 Zone I : daerah apex                                         VA /Q  = 0,6 / 0,2
 P alv > P art > P ven--------------------   capiller agak tertekan karena tekanan alveoli
                                                          tekanan arteri sehingga deadspace meninggi.

  Zone II : mid zone                                               VA / Q  = 1,0 / 1,0
 P art > P alv > P ven---------------------   blood flow tergantung perbedaan tekanan
                                                                            arteri dan alveoli.


  Zone III: basal zone                                              VA / Q = 2,4 / 3,8
 P art > P ven > P alv---------------------    blood flow tergantung perbedaan tekanan
                                                                                arteri dan vena.

IV. DIFFUSSION:

Diffusi adalah masuknya gas kedalam cairan melalui satu membran.


Koefisien diffusi adalah banyaknya gas yang masuk cairan melalui membran dalam waktu tertentu.


Pertukaran gas dalam paru terjadi melalui proses difusi pasif melalui membran alveolar capiler.


Membran ini terdiri dari membran alveolar,cairan interstitial dan endothel capiler.


Cepatnya transfer gas tergantung dari luasnya membran, solubelity gas dalam cairan,perbedaan tekanan partiel melalui membran, tebalnya membran, sifat membran, molekul Hb dan capiler paru.


Karena difusi CO2 sangat mudah terjadinya maka tekanan CO2 capiler = tekanan CO2 alveolar.


Nilai normal 30 - 40 mmHG.


Pertukaran O2 walaupun cepat terjadinya tetapi tak semudah CO2, jika terjadi kelainan paru maka bukan difusi CO2 yang akan terganggu tetapi difusi O2 yang lebih dulu
mengalami perubahan.

Dalam keadaan normal ada anastomose antara arteri dan vena pulmonalis tetapi aliran darah tetap melalui capiler paru dulu baru mencapai vena pulmonalis, tetapi dalam keadaan hipoksemia, dalam daerah paru yang hipoventilasi mungkin terjadi aliran langsung kedalam vena pulmonalios. (A-V pulmonary shunt). Difusi akan menurun oleh faktor sekunder pada beberapa penyakit antara lain adanya alveolar capillary block, yang ditemukan pada Boecks sarcoid of the lung, asbestosis, pulmonary odema dan lain-lain.


Pulmonary diffusing capacity untuk CO :

                 ml CO yang ditransfer dari alveoli kedalam darah/menit
                  -----------------------------------------------------------------
                     tekanan CO alveolar rata2 - tekanan capiler rata2

                             nilai normal : 17 - 25 cc / menit /mmHg

Untuk test difusing capacity ini memerlukan gas yang sangat solubel dalam darah, tampaknya CO memenuhi kriteria untuk ini oleh karena kombinasinya dengan Hb, dengan menambahkan CO 0,2% pada udara inspirasi CO uptake diukur,


Faal difusi ini bisa juga dinilai dari (A-a)DO2 bila meninggi  dan PaO2 menurun berarti faal difusi tak baik. Jadi diffusi dari alveolar ke capiler akan tidak sempurna bila ada:
               
1.AV Pulmonary shunt.


2.Alveolar capillary block  


a.penebalan membran capilwer, aliran  darah capiler lebih cepat sehingga tak cukup waktu berdifusi sempurna.

Kesimpulan :


Telah dibicarakan beberapa masalah dasar sekitar faal paru. Telah dikemukakan pula pengaruh anestesi terhadap faal paru. Pemeriksaan faal paru preoperatif adalah satu keharusan bagi pasien yang dicurigai akan timbul penyulit respirasi.


Telah diuraikan secara sederhana beberapa test faal paru.

Kepustakaan :


1.Brawn AH ,Cheney WF,Lochnen PC:Introduction to respiratory physiology, 2nd edit, Little Brown Company,Boston 1980.


2.Levin MR:bPediatric Respiratory Intensive Care, Handbook,Toppan Company Ltd, Singapore,1976.


3,.Goud Sozian GN,Karamanian A: Physiology for the Anesthesiologist,Appleton Century Crofts, Newyork,1977.


4. Soedman JL,Smith Ty N:Monitoring in Anmesthesia,A Willey Medical Publication,Newyork,Brisbane,Toronto,1978.

Wednesday, June 29, 2011

Pulmonary Gas Exchange (BAGIAN 4)

Bookmark and Share

F. COMPLIANCE (distensibility) (CL):


Paru-paru mempunyai sifat visco elastis :


1. Compliance (sifat mengembang dari paru paru).
2. Elastance (elastic resistance), rentan terhadap pengembangan paru pengukurannya pada saat aliran udaraberhenti(expirasi).
3. Vicance (rintangan sepanjang jalan nafas).

Dahulu digunakan istilah elastisitas paru menurun, saat ini tak dipakai lagi, seharusnya compliance menurun dan elastance meninggi.


Yang dimaksud dengan compliance sebenarnya hubungan antara tekanan dan perubahan volume paru.


Setiap kenaikan tekanan 1 cm H2O berapa liter pertambahan volume paru disebut compliance paru.


Yang dinyatakan dalam L/cm H2O, bervariasi untuk tiap orang dan tiap keadaan pada orang yang sama,pada orang muda nilai normalnya =0,2 L/cm H2O artinya tiap kenaikan tekanan 1 cm H2O akan bertambah volume paru sebesar 200 cc. Compliance dinding thorax  (Ccw) (Chest wall compliance) besarnya juga 0,2 L/ cm  H2O.
          
Total compliance bisa dihitung dengan rumus :

                  1 / CT   =   1 / CL    +    1 / Ccw
                  1 / CT   =   1 / 0,2   +  1 / 0,2
                       CT   =   0,1

Jadi diperlukan tekanan 1 cm H2O untuk mendorong 100 cc udara kedalam paru.


Static compliance sehubungan dengan elastic resistance diukur waktu menahan nafas tanpa memandang faktor flow sedangkan dinamic compliance (non elastic resistance) diukur selama bernafas spontan.

Non elastic resistance terdiri dari 2 komponen utama :

1.Viscous resistance terdiri dari paru dan dinding dada.(20 %)
2.Airflow resistance tergantung terutama pada airway, pattern dan  flowrate.(70-80%)

Oleh sebab compliance punya hubungan erat dengan FRC dinyatakan sebagai spesific compliance. 


Spesific compliance  =  Compliance ( L/cm H2O)  : Volume paru pada FRC.


Normal = 0,5 L/cm H2O. Ratio ini sama untuk dewasa, anak dan neonatus.


Compliance paru sangat tergantung pada elastisitas paru dan volume paru sebelum diregang.


Selama anestesi compliance paru menurun mekanisme yang pasti belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang mungkin menyokong keadaan ini, antara lain :

1.Posture


Kebanyakan pasien yang di anestesi posisinya telentang yang dapat menurunkan volume
paru dan akibatnya compliance paru menurun.


Pada akhir expirasi diaphragma agak flaccid dan posisinya ditentukan oleh perbedaan tekanan antara rongga abdomen dan pleura.


Pada posisi head down, tengkurap, atau posisi gall blader/kidney akan memperhebat penurunan lebih lanjut compliance thorax.

2. Ventilatory pattern


Respirasi yang dangkal biarpun teratur akan menurunkan compliance paru secara progresif baik pada manusia maupun  pada binatang. Ini bisa dikembalikan ke normal dengan over inflasi.
 
3. Perubahan pulmonary blood flow


Shunting dapat menurunkan compliance paru.

4. Distribusi gas inspirasi


Perubahan pattern dari distribusi gas inspirasi atau artficial ventilasi dapat berpengaruh.


The Work of breathing adalah  kerja untuk mengatasi elastic recoil paru dan frictional resistance dari gas flow melalui airway, atau tekanan total yang diperlukan untuk memaksa sejumlah udara masuk kedalam paru, nilai normal = 0,5 kgm/menit.


Ini bisa meningkat 5-10 kali bila ada penyakit paru dan jantung. Diperkirakan konsumsi O2 untuk work of breathing 2% dari total konsumsi O2 seluruh tubuh. Pada respiratory distress syndrome konsumsi O2 bisa meningkat lebih dari 30% dari total konsumsi O2 tubuh.


Pada waktu istirahat metabolic cost of breathing normal 0,5-1 ml O2/liter ventilasi. Dengan hyperventilasi bisa meningkatkan sampai 3-4 cc O2 / liter ventilasi.

G. Dynamic test of ventilation


Idealnya semua anesthesiologist pada preoperatif melakukan test faal paru untuk semua pasien yang diduga akan berkembang komplikasi pulmonal.


Tetapi tak ada satu test pun yang ideal begitupun untuk lebih cermat lebih baik dilakukan penggabungan berbagai test.

1. MBC (Maximum breathing capacity atau MBV(Maximum breathing ventilation):


Volume udara maksimal yang dinafaskan pasien dalam satu menit. Test ini diperkenalkan oleh Hermansen 1933 direncanakan untuk mengukur kecepatan dan effisiensi pengisian dan pengosongan paru selama pernafasan maksimum dalam 1 menit.


Biasanya diukur dalam 15 detik daan hasilnya dinyatakan flow permenit. Dengan demikian dynamic test bertentangan dengan static test pada penetapan vital capacity.


Dengan bertambahnya umur akan diikuti penurunan MBC dan pasien empysema pulmonum penurunannya sangat menyolok. Demikian juga pada bronchospasm atau obstruksi bronchus.


Test ini juga digunakan untuk mentest efektifitas bronchodilator pada terapi bronchokonstriksi. Dan menurut Courmand dan Richards 1941 sesudah dilakukan reseksi iga ditemui turunnya MBC sebesar 15%.


Test ini sangat melelahkan kurang cocok pada pasien kondisinya jelek. Nilai normal berkisar antara 100-200 L/menit tergantung cara pengukurannya.
MBC sebanding dengan 35x forced expiratory volume pada detik pertama (FEV 1).


Breathing reserve = MBC -  Minute volume

Syarat timbulnya dyspnoe bila ratio breathing reserve (Breathing reserve/MBC)<65-70%,sebenarnya dyspnoe tak tergantung oksigen dan pH atau lainnya.

2. Forced expiratory volume (FEV)


Volume udara yang dikeluarkan sekuat-kuatnya dalam detik pertama sesudah inspirasi maximum.


Nilai ini dinyatakan sebagai ratio FEV/VC.


Bisa dibedakan apakah kelainan paru berupa obstruktif atau restriktif.(kapasitas ventilasi yang tidak sempurna), pasien diminta inspirasi semaksimal mungkin kemudian expirasi sekuat dan secepat mungkin yang ia mampu kedalam spirometer dan jumlah total gas yang diexpirasikan setelah waktu tertentu dicatat. Interval waktu pengukuran jumlah
udara yang diexpirasikan 0, 5, 1 ,2 ,3 detik pertama, tetapi biasanya pada detik pertama (FEV 1,0) volume ini disebut sebagai presentase dari Forced Vital Capacity (FVC).


Pada orang normal 83% VC seharusnya diexpirasikan pada detik pertama, batas minimal normal kira-kira 70%, sedangkan pada bronchitis chronica 50%.


Dengan vitaloparagraph bisa diukur sekaligus VC dan FEV 1,0.


Bila tak ada resistensi terhadap  airflow atau gerakan dada yang terbatas FEV 1,0 akan turun seimbang dengan penurunan VC.


Pada penyakit paru restrictif seperti pulmonary fibrosis semua lung volume menurun.


Walaupun flow mungkin menurun tetapi sebanding dengan penurunan lung volume sehingga ratio FEV 1.0/FVC tetap normal.

3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) :


Sesudah inspirasi maksimum pasien disuruh expirasi sekuat mungkin dan mximum flow rate dari udara diukur. 


Pengukuran bisa dibuat dengan pneumotachograph atau alat khusus seperti Wright flow meter. Batas normal PEFR 450-700 L/menit pada pria dewasa dan 400-500 L permenit  pada wanita dewasa bervariasi menurut umur dan berat badan.


PEFR biasanya 4-5x MBC. Nilai rendah FEV 1,0 dan PEFR biasanya disebabkan naiknya resistensi air flow dalam conducting airway umpama bronchospasm, asthma bronchiale atau bronchitis chronica. Beberapa pasien kelihatan VC menurun walau FEV 1.0 dan PEFR normal. Bila alat tak tersedia untuk mengukur beratnya lesi obstruktif kita dapat lakukan test sederhana dimana pasien diminta bernafas dalam kemudian mengexpirasi sekuat mungkin melalui mulutnya, bila selesai paling lama 3 detik bisa dikatakan normal.

4. Bronchospirometry


Fungsi masing-masing paru dapat diteliti secara terpisah dengan bronchospirometri,keuntungan,alat ini dibandingkan test lain dapat mengukur ventilasi dan oksigen uptake
pada saat sama.


Pada orang normal diharapkan 55% dari ventilasi dan konsumsi O2 dilakukan oleh paru kanan dan 45% oleh paru kiri.


Test ini sangat berguna bila dipakai untuk menetapkan fungsi salah satu paru kalau pneumectomy atau lobectomy dari sisi yang bertentangan dipertimbangkan.

5. Jalan udara inspirasi didistrubsikan ke alveoli mungkin dipengaruhi perubahan lokal dalam resistensi airway atau elastisitas paru.


Metode paling sederhana mendeteksi distribusi ventilasi abnormal dengan mempelajari eliminasi N2 dari alveoli bila bernafas dengan 100% O2. 


Pasien diminta menghirup O2 100% selama 7 menit, pada  akhir waktu ini konsentrasi N2 dalam udara alveolar diukur
dengan nitrogen meter, bila konsentrasi N2 > 2% dianggap ada distribusi abnormal dari paru. Harus diingat rate of N2 yang dikeluarkan dapat juga dipengaruhi oleh tidal dan minute volume dan FRC

6. Match test :


Berhasil atau tidaknya menghembus kertas tipis yang berjarak 15 cm dari mulut pasien yang membuka lebar, dengan syarat bibir tak boleh ikut bersama.


Bila pasien bisa melakukannya dianggap ventilasinya cukup. Terutama untuk pasien yang dipersiapkan untuk thoracotomy atau laparatomy.


Bila gagal melakukannya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

7. Auskultasi diatas trachea selama forced expirasi :


Bila didengar suara pernafasan > 6 detik kemungkinan ada obstruktif bila kurang dari 5 detik hampir dapat dikatakan tidak ada obstruksi pada jalan nafas.

8. Cara sederhana :


Pasien bernafas dengan O2 100% selama 3 menit tentukan tensi dan nadi. Kemudian bernafas dengan O2 21% selama satu menit, kemudian tentukan tensi dan nadi. Bila tensi
dan nadi naik >10% berarti ventilasi tak adekuat karena ada retensi CO2.

Bersambung

Monday, June 27, 2011

Pulmonary Gas Exchange (BAGIAN 3)

Bookmark and Share

E. LUNG VOLUME / CAPACITY :


Istilah yang digunakan untuk menjelaskan lung volume dan capacity digunakan oleh  sekelompok American Physiologist untuk memudahkan pengertian telah dapat diterima oleh umum. Nomenklatur untuk lung volume dan capacity dengan nilai normal pada orang dewasa diperoleh dari Needhan et all (1954).

   Terminologi                                Keterangan                                    Normal Value
                                                                                                                                                     
                                                                                                            M             F
 ================================================================================
 Tidal  volume(VT)             Volume udara inspirasi & expiirasi setiap          660           550
                                        kali respirasi                                                (230)        (160)

Inspiratory reserve            Maksimum udara yang dapat diinspirasi            2240         1480
volume(I R V)                    sesudah inspirasi normal

Expiratory reserve            Maksimum udara yang dapat diexpirasi            1240          730   
volume(ERV)                     sesudah expirasi  normal                              (410)        (300)                                                             


Residual volume(RV)      Volume udara yang tinggal diparu                       2100       1570
                                    sesudah expirasi maksimal                               (520)      (380) 

Vital capacity (VC)         Volume udara maksimum yang dapat                 4130        2760
                                   diexpirasi sesudah inspirasi  maksimal.              (750)       (540)


Total lung capacity       Total udara dalam paru sesudah inspirasi            6230          4330
 (TLC)                         maksimal                                                       (830)          (620)
    
Inspiratory capacity       Volume udara maksimal yang dapat                 2900           2030
(IC)                              diinspirasi sesudah expirasi normal



Functional Residual        Volume udara yang tinggal diparu                     3330          2300
Capacity (FRC)              sesudah expirasi normal                                  (680)         (490)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang dimaksud dengan capacity adalah jumlah dua atau lebih volume paru.


Tetapi yang paling penting dalam menilai faal paru adalah vital capacity,residual volume dan functional residual capacity.

VITAL CAPACITY :
Merupakan jumlah dari tidal volume                            500  cc
                                 Inspiratory reserve volume       2500 cc  
                                Expiratory reserve volume        1000 cc
                                                                             -----------+ 
                                                                              4000 cc
Penetapan VC secara sederhana dapat diukur dengan spirometer.


Dapat dengan menghitung tinggi(cm) x 25 atau berat badan (kg)x 70.

 Nilai normal  VC :                                        Atlit                 Pria             Wanita
  Rata-Rata VC  dalam  cc/m2  BSA                   2800                 2600              2100
  Rata-Rata VC  dalam  cc/m  tinggi                  2900                 2500              2000


Penetapan VC tak bisa dianggap abnormal bila variasi tak lebih 20% dari angka diatas, oleh karena VC tidak selalu konstant walau pada orang yang sehat dan selalu dipengaruhi oleh faktor umur, latihan fisik, perubahan berat dan tinggi badan, sex dan lain-lain.


Pada orang yang sama dari waktu kewaktu bisa berbeda oleh sebab itu penetapannya tak cukup sekali saja tapi sebaiknya berulang, VC bisa menurun dalam berbagai keadaan :


1.Perubahan kekuatan otot :


Jelasnya setiap obat yang mendepresi aktivitas mekanisma pernafasan apakah diotak,saraf,maupun serabut otot bisa menurunkan VC.


Sama halnya lesi pada otak seperti tumor otak, tekanan intracranial(ICP) meninggi, lesi pada saraf seperti poliomyelitis atau polineuritis, lesi pada neuro muscular junction seperti myasthenia gravis dapat menurunkan VC.

2.Penyakit paru:


Yang paling sering chronic bronchitis, pulmonary fibrosis, asthma bronchiale lobair pneumonia.

3.Space occupying lesion pada thorax :


Extra pleural tumor, pleural/pericardial effusion, kyposcoliosis, pneumothorax dan neurofibromatosis dan lain-lain.

4.Tumor abdomen :


Yang menghalangi turunnya diaphragma kecuali uterus yang membesar pada orang hamil walaupun mendorong diaphragma keatas namun VC tak turun malah naik 10% diatas normal karena rangka thorax membesar transversal dan antroposterior serta sudut subcostal sangat miring waktu hamil.

5.Abdominal pain :


Nyeri post operatif mengenai otot abdomen akan menurunkan VC (70-75)% bila operasi abdomen bagian atas dan 50% bila andomen bagian bawah menurut Churchill 1925, angka ini disetujui oleh Simpson s Cs yang mengusulkan teknik continous thoracic epidural untuk mengurangi nyeri post operatif sekaligus mampu memperbaiki VC. Tetapi yang menarik sangat sedikit penderita yang kembali VC nya seperti preoperatif. Ini mungkin epidural sendiri dapat membatasi aktivitas respirasi namun Moir 1965 pada penelitian yang sama menyimpulkan bahwa tidak dijumpai derajat paresis yang bermakna disebabkan epidural block


6 Abdominal splinting :


Pengikatan abdomen yang ketat akan membatasi respirasi, tetapi elastic strapping dalam vertical plane membantu kebebasan yang luas bagi respirasi post operatif.

7.Perubahan posture :


Pada pasien sadar akan terjadi  perubahan VC yang besar disebabkan perubahan volume darah diparu. Dengan demikian VC akan lebih besar waktu berdiri dibandingkan posisi duduk atau telentang. Selisih VC duduk dan berbaring kira-kiar 300 cc, dengan pooling darah dikaki akan mampu menambah VC  1/4-1/2 liter.


Berbagai posisi pasien yang dianestesi diata meja operasi akan mempengaruhi VC :

        Posisi                                                         Hilangnya VC
Tredelenburg (20 derajat)                                             14,5  %
 Lithotomi                                                                   18,0  %
Left lateral                                                                  10,0 %
Right lateral                                                                 12,0 %
Bridge in dorsal position                                                12,5 %
Prone position unsupported                                            10,0 %

RESIDUAL VOLUME  AND  FUNCTIONAL RESIDUAL CAPACITY:
=================================================
Residual volume jumlah udara yang masih ada diparu sesudah expirasi maksimal. FRC jumlah udara yang ada diparu sesudah expirasi normal, pada saat yang sama elastic coil paru seimbang dengan elastic recoil dinding dada.


Sayangnya tak ada satupun cara mengukur RV dan FRC secara langsung, cara tak langsung bisa dengan spirometer dengan mengusir kadar N2 yang keluar dari paru pasien.


Sesudah expirasi maksimal (kalau yang diukur RV) dan sesudah expirasi maksimal kalau yang diukur FRC, pasien disuruh menghirup O2 dari sumbernya kemudian mengexpirasikan kedalam spirometer yang telah bebas N2. 


Setelah beberapa menit hampir seluruh N2 dalam paru diusir keluar dari paru.


Pada orang dewasa yang sehat ini hanya dicapai dalam 2 menit, tetapi pada pasien empysema yang berat paling cepat  dibutuhkan waktu  7-20 menit.


Pada permulaan test semua N2 ada dalam paru tapi pada akhir test semuanya masuk respirator dan konsentrasi N2 dalam spirometer dapat diukur.


Volume total gas dalam spirometer diketahui maka total volume N2 dalam gas campuran juga dapat diketahui, maka total volume N2 sama dengan RV atau FRC.


Residual volume yang meningkat menunjukan volume paru lebih besar dari biasa dan tak dapat mengosongkan isinya secukupnya, biasanya bersamaan dengan emphysema paru tetapi bisa juga terjadi temporer tanpa perubahan struktur paru.


Residual bisa juga meningkat bila ada obstruksi jalan nafas seperti pada asthma bronchiale atau overinflasi sesudah thoracotomy.


Pada emphysema yang berat sebagian udara akan terkurung sempurna dalam alveoli dan tak bisa berkontak dengan udara respirasi. 


Menurut Folger 1971, FRC lebih kurang 30cc/kg BB,menurun 1/3 bagian pada posisi telentang dibandingkan posisi tegak ini disebabkan lebih tingginya diphragma dan beratnya viscera. Selama anestesi terutama waktu induksi apalagi pada orang tua terjadi penurunan FRC 16% sebabnya tak jelas.

Perbandingan dewasa dan neonatus dalam beberapa lung :


                                                Adult                           Neonatus

    FRC  cc/kg BB                                             34                                  30
    RV    cc/kg BB                                             17                                  20
    FRC/TLC                                                  0,40                               0,48
    RV/TLC                                                    0,20                               0,33

Setiap kenaikan FRC biasanya diduga adanya perubahan emphysematous dalam paru.


Pada neonatus FRC lebih mendekati RV dibandingkan dengan dewasa mungkin ada kecenderungan kollapsnya alveoli setiap exhalasi pada neonatus.


FRC menurun jelas pada post laparatomi oleh sebab abdominal distension atau spasmo otot abdomen yang dapat menghalangi expansi paru.


Faktor  yang paling dominan menurunkan FRC adalah perubahan mekanik dinding thorax umpama dinding dada yang kaku. Bila FRC/TLC dan RV/TLC meninggi mungkin ada gas trapping. Kalau FRC menurun uptake gas anestesi juga menurun, hilangnya juga lambat terutama zat yang high soluble.

THORACIC  GAS  VOLUME


Menentukan total volume udara dalam thorax berdasarkan perubahan tekanan udara didalam dan diluar thorax bila airway pasien ditutup tiba-tiba,biasanya pada akhir expirasi.


Metode ini dikombinasi dengan metode dilusi N2  mudah menentukan jumlah daerah nonventilated dari paru pasien tertentu. Pada emphysema bisa dijumpai 1-3 liter udara terkurung dalam alveoli.


CLOSING  VOLUME

Volume udara dalam paru selama expirasi ketika small airway menutup. Kita ketahui dalam keadaan normal/sadar selama inspirasi tidak dijumpai penutupan airway ,semua daerah paru terbuka, penutupan airway terjadi terutama kebanyakan pada dependent region dari paru dimana selama expirasi tekanan pleural lebih besar dari tekanan airway.


Dengan bertambahnya umur dimana terjadi penurunan elastic recoil secara progressif akan lebih besar tendency penutupan airway berarti meningkatnya closing volume (CV).


Normal closing volume umur 20 tahun kira-kia 1,5 liter dibawah FRC dan umur 65 thn sama dengan FRC saat posisi berdiri. Bila FRC lebih kecil dari CV menunjukkan adanya regional hipoventilasi pada dependent area dari paru, shunt atau peninggian P(A-a) O2.


CV meninggi pada perokok berat walaupun test paru lain abnormal. Penutupan airway sangat mungkin oleh sebab hilangnya elastisitas jaringan paru mengakibatkan air trapping dan perubahan ventilasi/perfusi.


Ini mungkin penyebab hubungan terbalik yang normal diantara umur dan PaO2.


CV meningkat dengan bertambahnya umur, obesitas, posisi berbaring, anestesi apakah dengan spontan atau kontrol ventilasi.


Penggunaan PEEP tampaknya sangat menolong pada situasi meningkatnya CV agar FRC bisa ditingkatkan diatas CV.


Closing capacity = Closing +  Residual volume


Bila closing capacity(CC) lebih besar dari FRC maka penutupan airway akan terjadi selama
pernafasan tidak meningkatkan AaDO2.


Pada bayi  atau anak dibawah 6 tahun, CC> FRC pada dependent area dari paru oleh karena gravity dan diluar thorax bila airway pasien ditutup tiba-tiba biasanya pada akhir expirasi.


Methode pemakaian morphin dan derivatnya sebagai penghilang nyeri post operataif cenderung mendepresi respirasi sehingga VC menurun. Spesific nerve block mungkin efektif.

Bersambung

Sunday, June 26, 2011

Pulmonary Gas Exchange (BAGIAN 2)

Bookmark and Share

D. ALVEOLAR  VENTILATION  (VA) :


Bagian dari minute volume yang ikut serta dalam pertukaran gas.


Nilai normal VA adalah 2,0 -2,4 L/menit /m2 BSA (body surface area) atau kira-kira 3,5-4,5 L/menit pada orang dewasa, ini merupakan faktor yang terpenting dalam mengontrol excresi CO2 dari paru.
                                          
                     VA = (VT - VD phys) x f

Dari  rumus ini terlihat bahwa kenaikan VD phys atau penurunan frekuensi pernafasan akan mereduksi VA(alveolar ventilation), asal saja faktor-faktor lain tetap.


Penurunan tidal volume pada orang normal akan diikuti penurunan VD phys sehingga efek pada VA tak seberapa.


Sekiranya kita hitung VA dalam berbagai keadaan :


1.Normal : 
   (450- 150)  x 13  = 3,9 L/ menit ( PCO2 normal )
                                                                                                                          
2.Tidal volume menurun :
   (300 - 150)  x 13  = 2,6 L/ menit (PCO2 meninggi)

3.VD phys meningkat oleh alat anestesi
   (450 - 225)  x 13  = 2,7 L/ menit (PCO2 meninggi)

 4.Respiratory rate menurun :
   (450- 150)  x  8   = 2,4 L/ menit (PCO2 meninggi)

Pengaruh ventilation pattern pada alveolar ventilation dapat terlihat sebagai berikut:


Pada pernafasan cepat dan dangkal  :


(200- 150)    x  30   =  1500 cc / menit


Pada pernafasan dalam dan lambat  :


(600- 150)     x  10   =  4500 cc / menit


Dari gambaran diatas dapat ditarik kesimpulan suatu pernafasan yang cepat dan dangkal akan menyebabkan ventilasi yang tidak efisien.


Ini disebabkan udara yang bergerak sebagian besar hanya  mondar mandir dalam conducting airway.


Terlihat dari minute volume yang sama menghasilkan alveolar ventilation yang sangat berbeda dibawah pengaruh ventilation pattern.


PaCO2 terutama dipengaruhi oleh alveolar ventilation tidak sama sekali oleh pulmonary blood flow sedangkan PaO2 terutama ditentukan oleh cardiac output, pulmonary blood flow dan sekunder oleh alveolar ventilation.


Peninggian alveolar ventilation secara mendadak selama 3 menit bisa menurunkan separuh dari total PaCO2 sedangkan penurunan secara mendadak selam 16 menit bisa menaikkan separoh dari total PaCO2(4).


Pada praktisnya ada mekanisme fisiologis yang cenderung mengembalikan PaCO2 kearah normal dalam setiap menghadapi perubahan yang terjadi sehingga perubahan alveolar ventilation tak begitu bermakna.


Tetapi dibawah pengaruh sedative/anestesi respons fisiologis mungkin ditekan sehingga setiap perubahan alveolar ventilation oleh bertambahnya apparatus dead space mungkin tak bisa dikompensir secara penuh.


Suatu keadaan hipoventilasi dimana VA dibawah normal input O2 maupun output CO2 berkurang dengan demikian suatu keadaan hipoksemia dann hiperkarbia bisa timbul bersama2 dalam situasi hipoventilasi.


Akan tetapi PaO2 bukanlah petunjuk yang tepat adanya non adekwat ventilasi karena banyak penyebab lain yang menyebabkan hipoksemia sebaliknya PaCO2 petunjuk yang tepat adanya hypoventilation karena outputnya semata-mata tergantung alveolar ventilation.


Pengeluaran CO2 yang adekuat memerlukan alveolar ventilation yang adekuat dengan perkataan lain PaCO2 yang rendah menunjukkan alveolar ventilation yang
excessive sedangkan PaCO2 yang tinggi  menunjukan alveolar ventilation non adequate.


Deep anesthesia, respiratory depressant drug dan muscle relaxant semua cenderung mendepresi alveolar ventilation. Ini akan meningkatkan PACO2 dan menurunkan PAO2 kecuali supply O2 ditambah dalam udara inspirasi. Ini dapat diterangkan bilamana tak ada perubahan pada setiap gas campuran yang lain dalam paru dimana PAO2 dapat dihitung dari persamaan berikut(Alveolar air equation).(Coenroe et all 1962)
                                                                                                 
             Alveolar CO2 tension
             Alveolar oxygen tension (PAO2) = Inspired O2 tension-Respiratory Quotient
             PAO2  = PIO2 - PACO2/R
            Kalau kita subsitusi angka2 normal pada persamaan ini :
            150  -    40/0,8  = 100 mmHg


Bila PACO2 meningkat sampai 60 mmHg maka persamaan akan menjadi :


150   -    60/ 0,8 = 75 mmHg

Terlihat bahwa adanya kenaikan PACO2 mengakibatkan penurunan PAO2 maupun PaO2 dengan demikian bisa menimbulkan hipoksemia oleh sebab itu pada anestesi dengan spontan respirasi ditambah perubahan lain akan cenderung menimbulkan hipoksemia maka dianjurkan memakai minimal 33% O2 dalam semua campuran gas anestesi untuk mengkompensir setiap kenaikan PaCO2 dan perubahan paru yang terjadi.


Umpamanya 30% O2 diberikan maka persamaan tadi menjadi :


230  -  60/ 0,8    = 155 mmHg

Pengamatan reservoir bag, gerakan dada dan abdomen, frekuensi respirasi, pengukuran minute volume dengan spirometer, pengamatan warna darah capillarry bed merupakan tindakan yang praktis selama operasi.


Yang paling dapat dipercaya adalah spirometer tetapi yang lebih baik adalah analisa gas darah hanya tidak praktis dan fasilitasnya masih minim.


Warna capillary bed hanya untuk oksigenasi  tetapi tidak menunjukkan adanya retensi CO2.


Dengan meningkatkan konsentrasi O2 saja dalam udara inspirasi tanpa mengawasi ventilasi  sangat riskan.


Bila terjadi peningkatan ventilasi selama anestesi dengan respirasi spontan kemungkinan kausanya :


1. hipoksia
2. hiperkarbia
3. anestesi dangkal
4. reflex surgical stimulation

ad.1. hipoksia bekerja pada chemoreceptor merangsang respirasi.

ad.2. hiperkarbia menyebabkan perubahan acid base balance membasahi respiraytory center meningkatkan ventilasi.

ad.3. iritasi jalan nafas oleh zat volatile anestesi atau prosedur perangsangan yang lain.

ad.4.stimulasi dari lokasi operasi atau stimulasi mukosa bronchial, umpama penarikan mesenterium, dilatasi sphincter dengan anestesi ringan dimana reflex suppression tak adekuat, menaikkan ventilasi, bila stimulasi lebih berat sedangkan anestesi tak adekuat bisa timbul laryngospasm.


Maka sikap kita bila menemukan  respiratory rate meningkat durante operasi tensi naik nadi cepat singkirkan dulu hipoksia dan hiperkarbia baru boleh didalamkan anestesi.


Selama dianestesi haruslah diperiksa :


Tangki  O2 berisi atau kosong (sumber O2 lancar)
FiO2 cukup/tidak
Ventilasi cukup ?
CO2 absorber bekerja atau tidak ?
One way valve bekerja atau tidak ?


Mendalamkan anestesi dalam kondisi hipoksia atau hiperkarbia mengundang bencana depressi yang lebih besar baik terhadap otak maupun cardio vascular.

bersambung

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More