Wednesday, June 29, 2011

Pulmonary Gas Exchange (BAGIAN 4)

Bookmark and Share

F. COMPLIANCE (distensibility) (CL):


Paru-paru mempunyai sifat visco elastis :


1. Compliance (sifat mengembang dari paru paru).
2. Elastance (elastic resistance), rentan terhadap pengembangan paru pengukurannya pada saat aliran udaraberhenti(expirasi).
3. Vicance (rintangan sepanjang jalan nafas).

Dahulu digunakan istilah elastisitas paru menurun, saat ini tak dipakai lagi, seharusnya compliance menurun dan elastance meninggi.


Yang dimaksud dengan compliance sebenarnya hubungan antara tekanan dan perubahan volume paru.


Setiap kenaikan tekanan 1 cm H2O berapa liter pertambahan volume paru disebut compliance paru.


Yang dinyatakan dalam L/cm H2O, bervariasi untuk tiap orang dan tiap keadaan pada orang yang sama,pada orang muda nilai normalnya =0,2 L/cm H2O artinya tiap kenaikan tekanan 1 cm H2O akan bertambah volume paru sebesar 200 cc. Compliance dinding thorax  (Ccw) (Chest wall compliance) besarnya juga 0,2 L/ cm  H2O.
          
Total compliance bisa dihitung dengan rumus :

                  1 / CT   =   1 / CL    +    1 / Ccw
                  1 / CT   =   1 / 0,2   +  1 / 0,2
                       CT   =   0,1

Jadi diperlukan tekanan 1 cm H2O untuk mendorong 100 cc udara kedalam paru.


Static compliance sehubungan dengan elastic resistance diukur waktu menahan nafas tanpa memandang faktor flow sedangkan dinamic compliance (non elastic resistance) diukur selama bernafas spontan.

Non elastic resistance terdiri dari 2 komponen utama :

1.Viscous resistance terdiri dari paru dan dinding dada.(20 %)
2.Airflow resistance tergantung terutama pada airway, pattern dan  flowrate.(70-80%)

Oleh sebab compliance punya hubungan erat dengan FRC dinyatakan sebagai spesific compliance. 


Spesific compliance  =  Compliance ( L/cm H2O)  : Volume paru pada FRC.


Normal = 0,5 L/cm H2O. Ratio ini sama untuk dewasa, anak dan neonatus.


Compliance paru sangat tergantung pada elastisitas paru dan volume paru sebelum diregang.


Selama anestesi compliance paru menurun mekanisme yang pasti belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang mungkin menyokong keadaan ini, antara lain :

1.Posture


Kebanyakan pasien yang di anestesi posisinya telentang yang dapat menurunkan volume
paru dan akibatnya compliance paru menurun.


Pada akhir expirasi diaphragma agak flaccid dan posisinya ditentukan oleh perbedaan tekanan antara rongga abdomen dan pleura.


Pada posisi head down, tengkurap, atau posisi gall blader/kidney akan memperhebat penurunan lebih lanjut compliance thorax.

2. Ventilatory pattern


Respirasi yang dangkal biarpun teratur akan menurunkan compliance paru secara progresif baik pada manusia maupun  pada binatang. Ini bisa dikembalikan ke normal dengan over inflasi.
 
3. Perubahan pulmonary blood flow


Shunting dapat menurunkan compliance paru.

4. Distribusi gas inspirasi


Perubahan pattern dari distribusi gas inspirasi atau artficial ventilasi dapat berpengaruh.


The Work of breathing adalah  kerja untuk mengatasi elastic recoil paru dan frictional resistance dari gas flow melalui airway, atau tekanan total yang diperlukan untuk memaksa sejumlah udara masuk kedalam paru, nilai normal = 0,5 kgm/menit.


Ini bisa meningkat 5-10 kali bila ada penyakit paru dan jantung. Diperkirakan konsumsi O2 untuk work of breathing 2% dari total konsumsi O2 seluruh tubuh. Pada respiratory distress syndrome konsumsi O2 bisa meningkat lebih dari 30% dari total konsumsi O2 tubuh.


Pada waktu istirahat metabolic cost of breathing normal 0,5-1 ml O2/liter ventilasi. Dengan hyperventilasi bisa meningkatkan sampai 3-4 cc O2 / liter ventilasi.

G. Dynamic test of ventilation


Idealnya semua anesthesiologist pada preoperatif melakukan test faal paru untuk semua pasien yang diduga akan berkembang komplikasi pulmonal.


Tetapi tak ada satu test pun yang ideal begitupun untuk lebih cermat lebih baik dilakukan penggabungan berbagai test.

1. MBC (Maximum breathing capacity atau MBV(Maximum breathing ventilation):


Volume udara maksimal yang dinafaskan pasien dalam satu menit. Test ini diperkenalkan oleh Hermansen 1933 direncanakan untuk mengukur kecepatan dan effisiensi pengisian dan pengosongan paru selama pernafasan maksimum dalam 1 menit.


Biasanya diukur dalam 15 detik daan hasilnya dinyatakan flow permenit. Dengan demikian dynamic test bertentangan dengan static test pada penetapan vital capacity.


Dengan bertambahnya umur akan diikuti penurunan MBC dan pasien empysema pulmonum penurunannya sangat menyolok. Demikian juga pada bronchospasm atau obstruksi bronchus.


Test ini juga digunakan untuk mentest efektifitas bronchodilator pada terapi bronchokonstriksi. Dan menurut Courmand dan Richards 1941 sesudah dilakukan reseksi iga ditemui turunnya MBC sebesar 15%.


Test ini sangat melelahkan kurang cocok pada pasien kondisinya jelek. Nilai normal berkisar antara 100-200 L/menit tergantung cara pengukurannya.
MBC sebanding dengan 35x forced expiratory volume pada detik pertama (FEV 1).


Breathing reserve = MBC -  Minute volume

Syarat timbulnya dyspnoe bila ratio breathing reserve (Breathing reserve/MBC)<65-70%,sebenarnya dyspnoe tak tergantung oksigen dan pH atau lainnya.

2. Forced expiratory volume (FEV)


Volume udara yang dikeluarkan sekuat-kuatnya dalam detik pertama sesudah inspirasi maximum.


Nilai ini dinyatakan sebagai ratio FEV/VC.


Bisa dibedakan apakah kelainan paru berupa obstruktif atau restriktif.(kapasitas ventilasi yang tidak sempurna), pasien diminta inspirasi semaksimal mungkin kemudian expirasi sekuat dan secepat mungkin yang ia mampu kedalam spirometer dan jumlah total gas yang diexpirasikan setelah waktu tertentu dicatat. Interval waktu pengukuran jumlah
udara yang diexpirasikan 0, 5, 1 ,2 ,3 detik pertama, tetapi biasanya pada detik pertama (FEV 1,0) volume ini disebut sebagai presentase dari Forced Vital Capacity (FVC).


Pada orang normal 83% VC seharusnya diexpirasikan pada detik pertama, batas minimal normal kira-kira 70%, sedangkan pada bronchitis chronica 50%.


Dengan vitaloparagraph bisa diukur sekaligus VC dan FEV 1,0.


Bila tak ada resistensi terhadap  airflow atau gerakan dada yang terbatas FEV 1,0 akan turun seimbang dengan penurunan VC.


Pada penyakit paru restrictif seperti pulmonary fibrosis semua lung volume menurun.


Walaupun flow mungkin menurun tetapi sebanding dengan penurunan lung volume sehingga ratio FEV 1.0/FVC tetap normal.

3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) :


Sesudah inspirasi maksimum pasien disuruh expirasi sekuat mungkin dan mximum flow rate dari udara diukur. 


Pengukuran bisa dibuat dengan pneumotachograph atau alat khusus seperti Wright flow meter. Batas normal PEFR 450-700 L/menit pada pria dewasa dan 400-500 L permenit  pada wanita dewasa bervariasi menurut umur dan berat badan.


PEFR biasanya 4-5x MBC. Nilai rendah FEV 1,0 dan PEFR biasanya disebabkan naiknya resistensi air flow dalam conducting airway umpama bronchospasm, asthma bronchiale atau bronchitis chronica. Beberapa pasien kelihatan VC menurun walau FEV 1.0 dan PEFR normal. Bila alat tak tersedia untuk mengukur beratnya lesi obstruktif kita dapat lakukan test sederhana dimana pasien diminta bernafas dalam kemudian mengexpirasi sekuat mungkin melalui mulutnya, bila selesai paling lama 3 detik bisa dikatakan normal.

4. Bronchospirometry


Fungsi masing-masing paru dapat diteliti secara terpisah dengan bronchospirometri,keuntungan,alat ini dibandingkan test lain dapat mengukur ventilasi dan oksigen uptake
pada saat sama.


Pada orang normal diharapkan 55% dari ventilasi dan konsumsi O2 dilakukan oleh paru kanan dan 45% oleh paru kiri.


Test ini sangat berguna bila dipakai untuk menetapkan fungsi salah satu paru kalau pneumectomy atau lobectomy dari sisi yang bertentangan dipertimbangkan.

5. Jalan udara inspirasi didistrubsikan ke alveoli mungkin dipengaruhi perubahan lokal dalam resistensi airway atau elastisitas paru.


Metode paling sederhana mendeteksi distribusi ventilasi abnormal dengan mempelajari eliminasi N2 dari alveoli bila bernafas dengan 100% O2. 


Pasien diminta menghirup O2 100% selama 7 menit, pada  akhir waktu ini konsentrasi N2 dalam udara alveolar diukur
dengan nitrogen meter, bila konsentrasi N2 > 2% dianggap ada distribusi abnormal dari paru. Harus diingat rate of N2 yang dikeluarkan dapat juga dipengaruhi oleh tidal dan minute volume dan FRC

6. Match test :


Berhasil atau tidaknya menghembus kertas tipis yang berjarak 15 cm dari mulut pasien yang membuka lebar, dengan syarat bibir tak boleh ikut bersama.


Bila pasien bisa melakukannya dianggap ventilasinya cukup. Terutama untuk pasien yang dipersiapkan untuk thoracotomy atau laparatomy.


Bila gagal melakukannya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

7. Auskultasi diatas trachea selama forced expirasi :


Bila didengar suara pernafasan > 6 detik kemungkinan ada obstruktif bila kurang dari 5 detik hampir dapat dikatakan tidak ada obstruksi pada jalan nafas.

8. Cara sederhana :


Pasien bernafas dengan O2 100% selama 3 menit tentukan tensi dan nadi. Kemudian bernafas dengan O2 21% selama satu menit, kemudian tentukan tensi dan nadi. Bila tensi
dan nadi naik >10% berarti ventilasi tak adekuat karena ada retensi CO2.

Bersambung

0 comments:

Post a Comment

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...