Thursday, June 21, 2012

Pediatric Neuroanesthesia (BAGIAN 5)

Bookmark and Share

PRINSIP TEHNIK ANESTESIA DENGAN ICP MENINGGI :(4,5,6,8)
a.Optimalisasi perfusi otak. 
b.Mencegah iskemia otak.
c.Menghidarkan teknik/obat obatan yang menaikkan ICP.

Ini bisa dicapai dengan cara:(4,8)
ad   a.Menjaga stabilisasi hemodinamik yang optimal 
         dengan mencegah hipertensi dan hipotensi.

ad   b.Membebaskan jalan nafas dan ventilasi kendali 
         untuk menjamin oksigenasi yang adekuat dan 
         hipokarbia.

ad   c.Mencegah faktor faktor yang menaikkan tekanan 
         vena serebral dengan mencegah : 
           a.Batuk, mengejan dan merejan.
           b.Posisi kepala yang nenghalangi aliran vena besar 
              dileher(hiperfleksi,hiperekstensi,rotasi dan head 
              down).
           c.Tekanan pada abdomen dan tahanan pengem
              bangan thorax.
           d. Kanulisasi vena jugularis interna untuk CVP. 
           e. Obat obatan yang menaikkan ICP.

Hipertensi sistemik biasanya disebabkan laringoskopi dan intubasi bisa diredam dengan lidokain intravena waktu induksi tetapi perlu dicatat bahwa pemakaian lidokain 2mg/kg dilaporkan menyebabkan aritmia sampai henti jantung pada pada bayi untuk itu perlu hati-hati dan sebaiknya dengan dosis yang dikurangi.

Tehnik induksi cepat dengan memakai pentotal,atropin dan suksi nilkolin diikuti dengan hati-hati menekan krikoid,dan mannual hiperventilasi direkomendasikan.(5)

Pada bulan oktober 1994 terjadi kontroversi terhadap pemakaian rutin suksinilkolin pada anak.Kontroversi ini berdasarkan beberapa kasus yang dilaporkan dengan hiperkalimia dan henti jantung.
Pada hal telah dibuktikan pemakaian suksinilkolin beratus ribu anak dan bayi dalam kurun waktu tertentu tanpa ditemukan mati karena suksinilkolin.Keuntungan kerjanya yang cepat pada pediatri dan kemampuan calcium mengatasi respons hiperkalemia membuat suksinilkolin berperan penting dalam pengelolaan airway terutama pada anak kecil bahkan lebih lanjut telah terbukti pemakaian pentotal 
bersama suksinilkolin dapat mengurangi penyulit yang
ditimbulkan oleh suksinilkolin.(5)
Penelitian terakhir menunjukkan penekanan krikoid dan ventilasi manual dapat dilakukan tanpa masuknya udara kelambung.Hal ini memberikan proteksi airway anak yang baru makan atau pengosongan lambung yang terlambat sering bersamaan dengan ICP yang meninggi.
Kecepatan mula kerja suksinilkolin mempermudah intubasi dan hiperventilasi dibandingkan dengan kenaikan JCP yang kecil karena suksinilkolin maka pemakaiannya rutin dalam pediatri apalagi dengan lambung penuh.(5)

Anak yang tanpa kateter intravena sebelumnya bisa diberi inhalasi nitrous oxide,oksigen,sevorane dengan konsentrasi yang cukup untuk insersi kateter intravena dan sesudah terpasang maka anestesi inhalasi dihentikan.(6)

Fentaniyl 3-6 mcg/kg dan rokuronium 0,6 mg/kg diberikan
bersama pentotal sesudah hiperventilasi dengan 100% oksigen.Kemudian laring diintubasi setelah reflex laring hilang, dan otot rangka  paralisis tambahkan 2mg/kg pentotal untuk mencegah hipertensi sistemik dan intrakranial waktu intubasi.(6)

Pasien yang hipotensi atau hipovolemi lebih baik mida
zolam atau etomidate sebagai pengganti pentotal.
Anestesia selanjutnya dipertahankan dengan N20,oksigen, 
konsentrasi rendah anestesi inhalasi dan intermitten narcotic, pelemas otot dengan ventilasi mannual/ventilator.
Hindarkan hipoventilasi dan hiperkarbia, anestesi yang dalam kontra indikasi pada anak.
PaCO2 diantara 25 dan 30 mmHg.(6)

Waktu sadar harus mulus tanpa batuk atau mengejan sebab akan menaikkan tekanan darah, ICP dan mengganggu homeostasis.
Pelemas otot dinetralkan dengan neostigmin dan glikopirolat atau edroponium dan atropin.(6)
Bila trakea pasien responsif,hemodinamik stabil dan respira
si spontan adekuat maka diekstubasi dikamar operasi.
Bila setelah pelemas otot dinetralisir dan PaCO2 kembali normal namun belum bisa nafas spontan yang cukup maka bisa diberi naloxon.
Tetapi pasien yang direncanakan tetap diventilasi pasca bedah oleh sebab trauma, odem otak dan status preoperatif yang jelek atau kejadian intraoperatif yang mengancam nyawa maka tetap tidur dan diventilasi positip.(6)
Oksigen dan portable EKG, saturasi oksigen dan monitor hemodinamik dibawa bersama pasien dari kamar operasi kekamar pulih sadar dilanjutkan pemantauannya.
Segera setelah pasien stabil periksa hematokrit, analisa gas darah,elektrolit ,kadar gula darah,osmolaritas serum dan berat jenis urin. Nyeri paska bedah bisa dikontrol dengan dosis kecil narkotik.(6)

KASUS NEUROPEDIATRI KHUSUS:
HIDROSEPALUS:(4,5,6,7,10)
Penumpukan CSF dalam sistem ventrikular yang disebab
kan berbagai proses patologi,paling sering ditemukan pa
da pasien myelomeningocele.(10)
Hidrosepalus akut dimana terjadi penutupan sistem ven
tikular mendadak dengan kurangnya kompensasi untuk
kenaikan volume intrakranial biasa disebabkan perdarahan
intraventrikular pada prematur atau expansi kiste koloid
dalam ventrikel III .(10).
Muntah,dehidrasi,turunnya kesadaran,neurogenic pulmona
ry edema(NPO),koma adalah gejala mengancam nyawa.
Jika terapi yang tepat seperti dekompressi ventrikular tak
segera dilakukan bisa berlanjut dengan hernia brainstem,
berhentinya jantung dan respirasi atau kematian disebab
kan meningkatnya ICP yang hebat.(10)
Hidrosepalus kronis dapat terjadi oleh karena stenosis
aquaduktus kongenital,meningitis dan tumor spinalis.
Gejala yang timbul bertahap antara lain anak rewel,
terlambat mengikuti pelajaran,sakit kepala intermittent,
bicara gagap,kelakuan aneh,bingung,kejang dan inkotinens.
Bila tekanan meningkat nyata periode neonatal terjadi
pelebaran sutura dan membesarnya kepala akan menimbul
problem airway pada neonatus.(10).

Hidrosepalus baik kongenital maupun yang didapat bisa disebabkan oleh salah satu dari 4 proses:(4)
1.Anomali kongenital
2.Neoplasma
3.Peradangan
4.Overproduksi CSF

Klassifikasi hidrosepalus:(7)
Tipe kommunikating dan non kommunikating.
Non kommunikating ada obstruksi CSF sedangkan tipe kommunikating aliran CSF bebas tapi overproduksi CSF atau menurunnya absorbsi CSF.(!0)
I. Overproduksi CSF :
  -Papilloma plexus choroideous
II.Obstruksi aliran CSF :
    A.Obstruksi dalam sistem ventrikular :
    a.Ventrikular lateralis
    b.Ventrikel III
    c.Aquaductus Sylvii (stenosis kongenital,lesi massa)
    d.Ventikel IV
B.Obstruksi dalam ruangan subarachnoid :
    a.Cysternal basalis (Chiari Malformation, post infeksi).
    b.Konveksitas.
III.Menurunnya absorbsi CSF :
    a.Obstruksi pada villi choroidales :
      (sumbatan sel tumor,darah,protein dan bakteri).
    b Obstruksi sinus venosus duralis mayor :
       (thrombus,infeksi    maupun keganasan).
    c.Obstruksi pada sinus venosus ektra kranial (achondro
        plasia).

Penyebab obstruksi CSF yang sering :
a.  Infeksi :       abses,meningitis,ensepalitis.
b.  Neoplasma : astrositoma,ependimoma,papilloma
                        plexus choroideus,oligodendroglioma    
                        medulloblastoma & meningioma.   
 c.  Vaskular :    Arterivenous Malformation,aneurisma.
 d.  Kongenital : Kista arachnoid,kista koloid,ensepalokel
                        Chiari malformasi.

 Diagnosis:(10)
 Pemeriksaan funduskopi:
 Ditemukan papil odem bilateral kalau ICP cukup tinggi.

 Computed Tomography CT):
 Ukuran ventrikel mudah ditentukan dan bisa menunjukkan
 hidrosepalus,odem otak atau lesi massa seperti kista 
 koloid venrtrikel III dan tumor thalamus.
 Bila ada proses neurologi akut maka CTscan adalah urgen.

 Magnetic Resonance Imaging (MRI):
 Bisa melihat dilatasi ventrikel atau lesi massa.

 Transcranial Doppler:
 Metode non invasif untuk menilai hidrosepalus.
 Perubahan serebral vaskular dan CBF.
 Diastolic velocity menurun dan pulsatility index(systolic 
 velocity-diastolic velocity/mean velocity)meningkat.
 Bisa menilai fungsi CSF shunt secara non invasif,dimana
 penurunan pulsality index berkaitan dengan perubahan
 ukuran ventrikel.

Tiga type operasi shunting ventrikular yang dilakukan pada pasien hidrosepalus yaitu ventrikuloperitoneal,atrial dan pleural tetapi yang paling sering adalah shunting ventriku
loperitoneal.Ventrikulo atrial  beresiko endokarditis bila terinfeksi(4,5,6)
Tekanan intrakranial biasanya segera kembali kenormal sesudah dilakukan dekompressi ventrikel.(5)
Revisi kateter ventrikular shunt karena 10% mengalami malfungsi ,terutama karena obstruksi (80% dibagian proksimal), infeksi atau pertumbuhan bayi.(5)

Pertimbangan pra anestesi termasuk :(5)
1.Tingkat kesadaran yang menurun :
    Bisa karena meningkatnya ICP yang memerlukan terapi 
    agresif.
2.Lambung penuh :
  Adanya muntah atau terlambat pengosongan lambung 
  merupakan indikasi rapid squence induksi.
3.Penyakit yang mendampingi :
   Cerebral palsy yang sering terjadi aspirasi.
4.Patofisiologi yang berkaitan dengan umur :
   Problem apnoe, komplian paru yang jelek atau fungsi 
   renal yang belum matang.

Cara induksi tergantung kondisi anak. 
Kalau kenaikan ICP minimal, tak ada mual atau muntah maka induksi dengan masker cukup baik, atau bisa dengan methohexital 30mg/kg via rectal.(4,5)
Bila ada tanda meningkatnya ICP atau lambung penuh maka rapid sequence induction technique lebih terpilih dengan memakai pentotal atau propofol, lidokain,dosis
kecil narkotik dan pelemas otot tanpa depolarisasi.
Lakukan penekanan krikoid,pasien dihiperventilasi dengan tekanan inspirasi puncak yang rendah, intubasi haruslah semulus mungkin tanpa batuk atau merejan untuk 
mencegah kenaikan ICP dengan menambah pentotal dan lidokain.(4,5)

Anestesia biasanya dipertahankan dengan obat inhalasi
N20 dan kadang-kadang suplemen narkotik, hiperventilasi mempertahankan PaCO2 antara 25 dan 30 mmHg. 
Pemakaian narkotik sebaiknya dikurangi atau dihentikan menjelang akhir operasi terutama pada anak dengan gangguan neurologi yang berat sangat sensitif terhadap sedatif dan narkotik.(4)
Penempatan VP shunt biasanya tak disertai hilangnya darah dan cairan rongga ketiga yang bermakna akan tetapi pengeluaran CSF yang mendadak dan banyak akan menyebabkan bradikardi dan hipotensi.(4,7)
Hilangnya cairan karena diuresis oleh obat-obatan atau 
muntah diganti dengan larutan garam seimbang.(4)
Cegah hipotermia yang tak diinginkan karena kepala,dada dan abdomen di expose selama pembedahan.(4,5)
Pada akhir operasi, pelemas otot harus direverse, dan bila hemodinamik stabil, pernafasan spontan adekuat, suhu tubuh >35 derajat C indikasi untuk extubasi. 
Anak yang sebelumnya mual,muntah sebaiknya benar benar sadar dan reflex proteksi kembali normal baru lakukan extubasi untuk mencegah aspirasi.(4,5)
Kebanyakan anak yang membutuhkan VP shunt dengan reflex airway yang lemah untuk itu hati-hati menggunakan analgetik narkotik.Infiltrasi lokal anestetik sebelum penutupan luka operasi dapat mengurangi kebutuhan narkotik secara bermakna.(4,5)

TUMOR INTRAKRANIAL :
Tumor otak intrakranial dibagi berdasarkan lokasinya.
Untuk tujuan pengelolaan anestesi diklassifikasikan atas supratentorial,fossa posterior dan cranioparingioma.(4)

Tumor supratentorial :
Lesi supratentorial hampir separoh dari semua tumor otak pada pediatri ,tumor tumor ini cenderung menekan sistem ventrikular dan menyebabkan obstruktif hidrosepalus(4,5).
Lesi supratentorial lebih sering pada bayi daripada anak sedangkan anak diatas satu tahun 50% pada infraten
torial. Lesi supratentorial 25%-40% terletak pada hemisper dan 15% sampai 20% terletak pada garis tengah.(6)
Frekuensi tumor maligna biasanya dua kali tumor benigna.
Tumor maligna yang sangat sering adalah astrocytoma
(35%),medulla blastoma (18%) dan ependimoma (13%).(6) 

Pertimbangan anestesi :(5)
1.Kenaikan ICP :
   Perkiraan derajat kenaikan ICP lewat pemeriksaan CT 
   scan dan MRI.
2.Lambung penuh :
   Pengosongan lambung yang terlambat pada pasien 
   dengan ICP yang meninggi.
3.Keseimbangan cairan dan elektrolit :
   Bisa berubah oleh kelainan intrakranial dan SIADH.
4.Hubungan patofisiologi dan umur.
5.Posisi :
   Kepala sebaiknya ditinggikan tidak lebih 10 derajat dari 
   horisontal menjamin aliran balik vena besar kepala tak 
   terhalang.

Monitoring :
Pemasangan kateter arterial perlu dipertimbangkan untuk pemantauan hemodinamik dan kimia darah.(4,5)
Pemasangan CVP bila diantisipasi terjadi hilangnya darah yang banyak dan terjadinya emboli udara.(4)
Issue pemasangan CVP adalah kontroversi,karena diameter
terlalu besar buat bayi dan kebanyakan anak dan kurang
akurat menggambarkan volume vaskular terutama posisi
tengkurap.(9)
Kateter urine penting karena pemakaian diuretika dan operasi lama.

Preinduksi :(5)
Pasien dengan tumor yang besar,odem tumor yang bermakna, atau obstruksi CSF dibutuhkan pendekatan anestesi yang mampu mengurangi ICP dan sebagian anak sudah dipasang VP shunt.
Perlu dicatat defisit neurologi pre operasi dan SIADH sering bersamaan dengan proses patologi intrakranial.
Anak mungkin menunjukan hiponatremia,osmolalitas serum yang rendah,osmolalitas urin yang rendah dan oliguri.
Retriksi cairan preoperatif biasanya diperlukan.(5)

Induksi :
Induksi intravena pentotal,lidokain,narkotik dan pelemas otot tanpa depolarisasi, penekanan krikoid dan hiperventilasi dengan tekanan inpirasi rendah untuk mencegah masuknya udara kelambung.(4,5)
Intubasi semulus mungkin dan sebaiknya via nasotrakeal bila ventilasi post operatif diperlukan atau untuk menjamin posisi yang lebih stabil terutama pada bayi.
Pemeliharaan anestesi dengan narkotik,N20,benzodiazepin atau dropridol. 
PaCO2 dipertahankan antara 25-30 mmHg. Isofluran dapat ditambahkan dengan konsentrasi rendah, untuk pelemas otot bisa diberikan pankuronium yang bersifat vagolitik cocok untuk neonatus atau bayi untuk mempertahankan laju jantung.(4)

Pengelolaan cairan :
Pasien dengan ICP tinggi sering dehidrasi setelah pemakaian diuretik osmotik hal ini diperberat dengan perdarahan oleh insisi kulit dan eksisi boneflap, ekspansi volume sering dibutuhkan (4).
Pada anak tanpa kenaikan ICP yang berarti atau hilangnya darah hanya sedikit cukup diganti dengan larutan 
kristaloid.
Untuk mempertahankan volume isoonkotik maka diberikan koloid dengan ratio 1:3 dengan kristaloid.

Putusan untuk extubasi berdasarkan tingkatan intervensi pembedahan, stabilitas selama operasi normalisasi ICP,
umur anak,beratnya defisit neurologi,faktor yang menyu
litkan respirasi proteksi jalan nafas dan suhu tubuh.(4)
Neonatus dan bayi dengan problem kardiopulmonal membutuhkan ventilasi post operatif.
Anak yang lebih besar dengan kelainan neurologi sering dengan reflex airway yang tak adekuat membutuhkan in
tubasi post operatif sampai mampu melindungi airway.(5)
Pemberian narkotik harus hati hati dengan melihat status neurologi pasien dan infiltrasi lokal anestetik waktu penu
tupan luka operasi sangat menurunkan kebutuhan narkotik post operatif.(4)

Pasien yang tak sadar post operatif harus dicurigai dengan ICP yang tinggi atau perdarahan intrakranial.
Kenaikan ICP post operatif biasanya karena hipertensi     sistemik yang tidak terkontrol cukup hanya dengan membuat anak senang, tetapi bila tekanan darah tetap tinggi bisa diberi obat vasoaktif seperti labetalol yang bersifat gabungan alpa dan beta bloker dan biasanya tidak melewati sawar darah otak.(5)
Kejang kadang-kadang terjadi segera post operasi untuk ini ahli bedah biasa memberi propilaktis antikonvulsan preoperatif diteruskan selama post operatif umumnya penobarbital paling sering digunakan dan phenitoin untuk yang tidak respons.(5)

TUMOR FOSSA POSTERIOR :
Lebih sering pada anak daripada dewasa dan setengah dari jumlah tumor otak pada anak dan 50-55% adalah infratentorial.(4,5)
Empat tumor yang biasa adalah medulloblastoma(30%), cerebellarastrocytoma(30%),brainstem glioma(30%),
ependymoma(7%) dan sisanya acoustic neuroma(3%).
Gejala klinis yang sering akibat tumor fossa posterior adalah oleh karena hidrosepalus ditemukan pada 90% anak dengan medulloblastoma dan hampir semua anak dengan cerebellar astrocytoma.(5)

Pertimbangan anestesi:(5)
a.Patofisiologi berkaitan dengan umur.
b.Penilaian ICP :
   Simtomatik hidrosepalus selalu memerlukan VP shunt.
c.Kompressi brainstem :
   Menyebabkan problema kardiopulmonal terutama     
   hipertensi dan hilangnya reflex proteksi airway dan 
   stridor inspirasi,cenderung aspirasi pneumonitis dan 
   sleep apnoe sering bertahan selama post operatif.
d.Lambung penuh :
   Kelainan pada fossa posterior sering melambatkan 
   pengosongan lambung dan menyebabkan regurgitasi 
   waktu induksi.
e.Emboli udara :
   Terutama posisi duduk(30%) dan monitor emboli 
   udara dengan  prekordial Doppler dan pasang CVP 
   untuk menyedot emboli udara.
   Elevasi bone flap bisa merobek sinus transversus,per
   darahan massif dan emboli udara bisa terjadi.(9)
f.Cairan dan elektrolit :
   Pemberian osmotik diuretik preoperatif untuk 
   menurunkan ICP bisa menyebabkan gangguan volume 
   cairan dan elektrolit.
g. Posisi pasien :
    Biasanya 50% posisi pasien tengkurap,ini memerlukan
    perhatian khusus antara lain bebasnya kompressi 
    abdomen dan thorax,perlindungan mata dan penekanan 
    bagian tubuh tertentu serta keamanan posisi dan fiksasi 
    pipa trakea.Kepala biasanya dilindungi dengan Mayfiel     
    head frame.(9)

Induksi dan pemeliharaan anestesi :
Diarahkan dengan mempertahankan CPP dan mencegah kenaikan ICP dan memberikan kedalaman anestesi yang tepat.(4)
Induksi intravena pentotal atau propofol bersama pelemas otot tanpa depolarisasi dan narkotik adalah cukup.(4)
Suksinilkolin bisa diberikan bila ICP tak terlalu tinggi dan hemodinamik stabil. Pipa trakeal lebih baik non kinked dan oral karena via nasal walaupun lebih stabil namun kecenderungan terjadi perdarahan nasal dan infeksi.(5)
Sesudah pensterilan kulit,infiltrasi bupivacain 0,125% dengan epinefrin 1/200.000 sepanjang garis insisi dan anestesi didalamkan dengan fentanil atau isoluran untuk merelaksasikan otak sehingga mengurangi tekanan rekraktor dan mempertahankan CPP.(5)
Pelemas otot diberikan dan hiperventillasi dimana PaCO2 dipertahankan antara 25-30 mmHg,dan ICP bisa dikurangi dengan mannitol dengan didahului furesemide.(4,5)
Selama operasi terutama tumor intramedullary atau brain
stem sebaiknya dimonitor sensory evoked potential(SEP)5.
Nyeri post operatif bisa dikurangi dengan infiltrasi aneste
tik lokal pada saat penutupan luka operasi.

Masa pulih :
Terlibatnya saraf kranial dan odem brainstem sebaiknya pasien tetap terintubasi selama post operatif.(4,5))
Bila mungkin diextubasi dikamar bedah berikan lidokain 0,5-1mg per kg dan dosis kecil narkotik untuk mencegah batuk/mengejan yang bisa menaikkan ICP dan perdarahan ulang.(5)
Hindarkan pemakaian obat yang mempengaruhi sensorium atau pupil supaya tak mengganggu penilaian neurologi.
Pemakaian narkotik harus hati hati dan pasien seharusnya dimonitor terutama adanya depressi respirasi.(4)

bersambung:

0 comments:

Post a Comment

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...