Friday, May 6, 2011

Anestesi Pada Cedera Kepala (BAGIAN 2)

Bookmark and Share

PREMEDIKASI  


Cukup memberikan anti kolinergik untuk mencegah sekresi yang berlebihan tidak perlu memberikan sedasi yang mungkin membuat depresi respirasi yang akan meningkatkan PaCO2 apalagi obat-obat narkotik.


Glicopirolate tampaknya terpilih sebagai anti sekresi oleh karena sedikit pengaruhnya pada jantung.


INDUKSI


Induksi yang ideal adalah menghindari kenaikan tekanan darah maupun kenaikan ICP. Untuk itu hindari hal-hal yang menimbulkan rasa nyeri (pemasangan infus, pengisapan lendir, manipulasi daerah trauma).


Batuk dan mengejan harus dicegah karena dapat merangsang simpatis menaikkan tekanan darah, ICP, udem, dan herniasi otak. Posisi harus telentang netral, kepala head up setinggi 20-30% mencegah obstruksi vena besar di leher.


Pre oksigenasi 100% untuk mencapai SaO2 100% 
Narkotik (terpilih fentanil 1-4 ug/kg BB iv sebelum pentotal untuk menjaga stabilisasi kardiovaskuler).


Narkotik yang lain menimbulkan vasodilatasi serebral.


Pentothal  obat induksi pilihan asal tidak ada kontra indikasi karena mampu menurunkan CBF dan ICP.


Lidocain 1,5 mg/kg BB iv 1-3 menit sebelum intubasi dapat mencegah kenaikan tekanan darah dan ICP.


Dalam hal penthotal ada kontra indikasi, pilihan etomidate maupun propofol merupakan alternatif yang baik.


Vecuronium & recuronium merupakan relaxant pilihan oleh karena effek pada kardiovaskular stabil dan efek pada ICP minimal.


Succinilkholine bisa menaikkan CBF dan ICP, kemungkinan hiperkalemia, jangan diberikan pada cedera kepala akut 6-12 jam setelah kejadian, recuronium merupakan alternatif.
Pancuronium tidak dianjurkan karena efek hipertensinya dapat menaikkan CBF dan ICP dimana penderita cedera kepala akut ada gangguan auto regulasi.


Atracurium bila mungkin dihindari karena melepaskan histamin dan metabolit laudanosin yang dimilikinya dapat menimbulkan kejang-kejang pada binatang percobaan.


PEMELIHARAAN ANESTESI


Penggunaan inhalasi isoflurane and sevoflurane cukup terpilih berdasarkan autoregulasi tetap baik sampai 1,5 MAC dan respon terhadap CO2 tetap baik sampai 2,8 MAC.
Menurunkan CMR 02 sampai 50% sehingga punya efek proteksi otak. 


Kenaikan ICP oleh isoflurane 1% mudah dilawan dengan hipokapnia dan barbiturat. 


Sevoflurane, efek neuro hemodinamiknya seimbang dengan isoflurane hanya induksi dengan pemulihannya lebih cepat.


Halothan kontra indikasi absolut pada CKB karena mensensititasi myokard gampang aritmia padahal penderita CKB akut, kadar katekolanin meningkat.


Disamping itu kenaikan ICP oleh karena halothan tidak bisa dikounter dengan hiperventilasi walaupun sudah hipokarbi.
Tambahan lagi antoregulasi hilang pada => I MAC halothan dan menetap sampai periode pasca bedah. Odem otak akan diperburuk oleh halothan karena merusak BBB dan Blood-CSF Barriere. 


Enflurane tidak dianjurkan dalam bedah syaraf oleh karena autoregulasi hilang pada 1MAC, dapat menimbulkan kejang EEG pada dosis moderat (1,5-2) MAC dimana CMRO2 akan meningkat berapa ratus persen dan akan meningkatkan CBF dimana kenaikan ICP akan berakhir 3 jam setelah obat dihentikan.


N20 harus dipertimbangkan untung ruginya oleh karena 60% N2O dapat meningkatkan CBF krg lebih 100% dengan meningkatkan CMRO2 krg lebih 20% dan hindari pemakaiannya bila ada aerocele atau resiko emboli udara terutama bila disertai kerusakan sinus nervosa atau bila sinus tulang kontak dengan udara.


Penggunaan relaxant secara kontinu tampaknya lebih baik dari pada intermittent untuk mencegah gerakan tiba-tiba penderita selama berlangsungnya operasi bisa menaikkan ICP drastis dapat digunakan vecuronium 0,1 mg/ kgBB/jam.


Hipertensi ringan tak perlu diterapi kecuali MAP>130 mmHg dicoba dengan isoflurane dosis rendah bila kurang respons berikan esmolol, propanolol atau labetalol.


Penggunaan nitroglizerin maupun nitroporuside tak dianjurkan karena merupakan vasodilator serebral dapat menaikkan ICP.


Kejadian aritmia intraoperatif terutama disebabkan hiper adrenegik sentral, bolus lidocain (1-1.5) mg/kg BB iv dan titrasi (1-4) mg/menit mungkin bisa menetralisir. Namun demikian setiap mengkoreksi hipertensi atau aritmia sebaiknya faktor hipoksia/hiperkarbia perlu dipikirkan lebih dahulu.


Hipotensi intra operatif segera terapi dengan cairan bila kurang respon baru diberi vasopressor.


Penggunaan cairan pada dasarnya mencegah hipovolemia, hipervolemia, hipoosmoler, hiperglikemia.


NaCl 0.9 % merupakan cairan terpilih dimana osmolaritasnya 300 mosm/1 sementara ringer laktat hipo osmolar (273 mosm/1) sebaiknya dibatasi untuk mencegah hipo osmoler yang akan meningkatkan udem serebri.


Untuk mempertahankan volume intravaskular koloid adalah alternatif karena dapat menyerap air mengekspansi volume kardiovaskular.


Tampaknya hetastarch cukup baik, harganya murah, satu liternya dapat meningkatkan 750cc volume intravaskular tetapi dibatasi maksimal 20ml/kg BB/ hari untuk mencegah gangguan koagulasi mempengaruhi fungsi faktor VIII.


POST OPERATIF


Bila penderita sadar dan bernapas spontan adekwat, bisa dilakukan extubasi. Pengisapan lendir dan extubasi sendiri akan menyebabkan penderita batuk, mengejan dan merejan cukup potensial menaikkan ICP & memperburuk udem serebri yang ada.


Hal ini bisa dikurangi dengan pemberian likodain (1-1.5) mg/kg BB intravena tiga menit sebelum extubasi.
Bila CGS < 8 atau adanya  trauma leher dan dada mungkin intubasi tetap dipertahankan untuk diventilasi di ICU untuk menjaga & proteksi jalan napas.


Perlu diberi sedasi atau narkotik dosis kecil mengurangi iritasi endotrakeal pada jalan napas.


Posisi heard up 20-30% agar drainase vena serebral lancar terutama penderita dengan ventilasi tekanan positif atau PEEP atau pasien dengan CVP yang tinggi.


Hindari posisi Tredelenburg, kepala hiperfleksi, hiperektensi atau rotasi akan membendung vena besar leher dapat menaikkan ICP.


Hiperventilasi kadang diperlukan untuk mengendalikan ICP tetapi harus hati-hati bisa menyebabkan vasokonstriksi serebral dengan akibat menurunnya perfusi otak.


Bila diperlakukan lama maka hipokapnik ventilasi digunakan tidak lebih dari 24 jam selanjutnya digunakan normokapnik ventilasi untuk mencegah kronik hipokarbi.


Penggunaan hipokapnik lebih dari 24 jam menimbulkan gangguan asam basa, kemampuan menurunkan ICP dalam keadaan darurat akan hilang.


Hipertensi pasca bedah dapat menimbulkan perdarahan kembali akibat bekuan darah belum kuat.


Bila tekanan darah melampaui batas autoregulasi (MAP > 150mmHg) akan menyebabkan rusaknya BBB, odem interstitiel dan meningkatnya ICP. 


Tetapi harus dilakukan terapi bila MAP > 130-140 mmHg dan semua penyebabnya seperti hipopksia, hiperkarbi, hiportermi dan ovelood cairan, serta nyeri dikoreksi baru diberikan anti hipertensi.


Naiknya tekanan darah karena PaCo2 meningkat, diperlukan untuk mempertahankan CPP bila diberi anti hipertensi akan memperburuk perfusi otak.


Prinsip pemberian cairan harus dipertahankan dry untuk mencegah exaserbasi odem serebri, tetapi punya resiko bila CPP tak adekwat akan memperluas kerusakan otak.


Untuk itu cegah terjadi overhidrasi namun tak perlu takut pemberian cairan.


Kontrol elektrolit(K,Na) akibat diuretik harus segera dikoreksi.


Kadar gula darah dikendalikan tak lebih dari 150mg% bila lebih dari 200mg% harus diterapi dengan insulin.


Hiperglikemia akan menambah asidosis otak karena meningkatnya asam laktat.Glukosa hanya diberikan bila ada hipoglikemia.


Kadang-kadang sesudah 48 jam ICP tetap meninggi kemungkinan besar disebabkan odema serebri yang luas.


Retriksi cairan, loop dan osmotik diuretik merupakan tindakan awal, bila tak respon baru lakukan ventilasi kendali dan barbiturat.


Pasien yang dirawat di ICU diperlukan pengaturan suhu tubuh, bronkial toilet,pengendalian kejang dan proteksi otak.


Cegah hipertermia karena setiap kenaikan suhu,akan menaikkan konsumsi oksigen.


Hipotermia dianjurkan untuk untuk mengurangi kebutuhan oksigen dan melindungi otak namun hanya cukup sampai 35 derajat celcius dengan mengatur suhu ruangan oleh karena ditakuti penyulit menggigil, gangguan elektrolit, perubahan kardiovaskular dan renal.


Menggigil akan menaikkan konsumsi oksigen lebih kurang 400%.


Bronkial toilet seharusnya dilakukan dalam keadaan tersedasi untuk megurangi iritasi jalan nafas yang dapat menaikkan ICP.


Untuk pengendalian kejang dapat digunakan phenitoin(dilantin),benzodiazepin/barbiturat atau lidokain.


Ini penting diatasi karena kejang dapat menaikkan ICP, hipertensi sampai perdarahan otak, hipoksia dan rusaknya sel otak.


Dosis permulaan phenitoin 5-20 mg/kg intravena,dengan kecepatan maksimal pemberian 50 mg/menit, untuk mencegah efek samping kardiovaskular seperti hipotensi,aritmia sampai henti jantung.


Diazepam diberikan dengan dosis 5- 10 mg intravena(0,3 mg/kg) sementara thiopental dengan dosis (1-4)mg/kg intravena.


Proteksi otak dengan jalan mempertahankan supply oksigen, hemodinamik yang baik dan stabil, ICP yang rendah dan kimia darah berimbang.


Kebutuhan oksigen dengan menurunkan suhu tubuh, pemberian obat-obatan yang menurunkan CMRO2 seperti barbiturat atau etomidat.


Kesimpulan :


Intervensi yang cepat dan tepat baik prabedah maupun selama dan sesudah pembedahan dalam mencegah terjadinya cedera otak sekunder sangat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala akut.


Hipoksia dan hipotensi hipovolemia harus segera dideteksi dan dikoreksi karena sebagai penyebab berkembangnya cedera otak sekunder.


Mobilisasi penderita harus extra hati hati karena CKB disertai cedera leher kurang lebih 20%.


Hindarkan posisi tredelenburg,hiperfleksi,hiperekstensi maupun rotasi kepala cenderung memperburuk cedera leher dan menaikkan ICP.


Bila ICP > 20 mmHg harus segera diterapi.


Hiperventilasi untuk menurunkan ICP dalam 24 jam pertama jaga jangan sampai PaCO2 <35 mmHg,karena telah terjadi penurunan CBF sebesar 50% akan memperburuk perfusi otak.


Hipertensi hanya diterapi kalau MAP>130 mmHg karena hipertensi ringan merupakan kompensasi untuk mempertahankan CBF.


Prinsip pemberian cairan cegah hipovolemia,hipervolemia,hipoosmolar dan hiperglikemia.


Kadar gula darah sebaiknya jangan melebihi 150mg% kalau >200mg% segera dikoreksi dengan insulin.


Larutan glukose hanya diberikan kalau ada hipoglikemia.


Keterangan singkatan yang terlampir :


ICP   =  Intra Cranial Pressure   CBF= Cerebral Blood Flow
CBV  =  Cerebral Blood Volume  CPP =Cerebral Perfusion Pressure
MAP  =  Mean Arterial Pressure  CKB =Cedera Kepala Berat
GCS  =   Glasgow Coma Scale      SDH = Subdural  Hematom
CMRO2 = Cerebral Metabolic Rate for 02.


Rujukan :


1. Braumann: Acute Management of Head Injury;Balliere s Clinical Anesthesiology International Practice and Research, Baliere Tindall,Philldelphia,Toronto.


2. Bisri T, Himendra W : Neuroanestesia,edisi 2,Bandung 1997.


3. Bisri T :Pengelolaan Perioperatif Cedera Kepala Akut,edisi 2, Bandung,1999.


4. Duriex ME : Anesthesia for head trauma;Stone JD,Sperry JR; The Neuroanesthesia Handbook,Mosby,St Louis,1996.


5. Marshall M : Neurosurgical and Neurological Emergencies in Neuro Anesthesia, Edward Arnold Publisher 1st edit,London,1974.

0 comments:

Post a Comment

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...