Friday, October 27, 2017
Saturday, August 11, 2012
Pediatric Neuroanesthesia (BAGIAN 6)
CRANIOPARINGIOMA
Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan:
CTscan,MRI,neurooptamologi,neuroendokrinologi dan neuropsikologi.(6)
Frekuensinya 3% dari seluruh tumor intrakranial,6-9% dari tumor pediatri, dan 50% dari tumor yang menempati area sella-chiasmic.
Tumor non glial yang paling sering pada anak terutama anak umur 5-10 tahun, distribusi sex sama pada laki-laki dan perempuan.(5)
Cranioparingioma menyebabkan kerusakan progressif neurologik dan kematian karena terlibatnya struktur suprasellar termasuk hipopisa,hipotalamus dan nervus optikus.(4,6)
Gejala yang timbul tergantung lokasi tumor.
Gejala yang timbul tergantung lokasi tumor.
Bila pada suprasellar menyebabkan sakit kepala dan gangguan endokrin. Tumor retrochiasmatic menimbulkan obstruktif hidrosepalus,hipertensi intrakranial, odem papil dan tumor prechiasmatic menurunkan ketajaman visual
dan atropi optik.(6)
dan atropi optik.(6)
Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan:
CTscan,MRI,neurooptamologi,neuroendokrinologi dan neuropsikologi.(6)
Anak bisa denga hipotiroidism,defisiensi growth hormon & kortikotropin atau diabetes insipidus yang memerlukan pergantian hormon kortikosteroid dan hormon tiroid sebelum operasi.(4,6)
Diabetes insipidus jarang timbul sebelum operasi tetapi beberapa jam sesudah operasi dengan poliuri yang hebat menyebabkan hipovolemia,hipernatremia,hiperosmolality dan osmolalitas urine<200 mosm.(4)
Diuresis diganti dengan cairan intravena sedangkan keseimbangan elektrolit,kadar gula darah dan osmolalitas harus dipertahankan.
Vasopressin diberikan dalam bentuk desmopressin 0,05-0,3 mg/kg/hari intranasal,tetapi bila diberi via intravena dosisnya 1/10 dosis intranasal, seharusnya diberikan saat stadium awal diabetes insipidus(4).
Hidrosepalus dengan ICP yang tinggi kadang terjadi dan memerlukan ventrikulostomi.
Vasopressin diberikan dalam bentuk desmopressin 0,05-0,3 mg/kg/hari intranasal,tetapi bila diberi via intravena dosisnya 1/10 dosis intranasal, seharusnya diberikan saat stadium awal diabetes insipidus(4).
Hidrosepalus dengan ICP yang tinggi kadang terjadi dan memerlukan ventrikulostomi.
Pengangkatan tumor merupakan pengobatan terpilih
dilakukan pada 65% kasus. Akan tetapi selalu disertai insidens yang buruk diantaranya iskemia sekunder akibat kerusakan vaskular otak dan bisa mengganggu perfusi otak pada awal post operatif dan problem jangka panjang termasuk disfungsi lobus frontalis dan late onset epilepsy(5).
dilakukan pada 65% kasus. Akan tetapi selalu disertai insidens yang buruk diantaranya iskemia sekunder akibat kerusakan vaskular otak dan bisa mengganggu perfusi otak pada awal post operatif dan problem jangka panjang termasuk disfungsi lobus frontalis dan late onset epilepsy(5).
Pengangkatan tumor via craniotomi frontalis dan biasanya tehnik pembedahan mikroskopik dan berlangsung lama sedangkan pengelolaan anestesi sama dengan operasi tumor supratentorial.
Komplikasi post operatif antara lain kejang, diabetes insipidus dan hipotermia karena injuri pusat thermoregula
tor pada hipotalamus.(5)
Komplikasi post operatif antara lain kejang, diabetes insipidus dan hipotermia karena injuri pusat thermoregula
tor pada hipotalamus.(5)
Kadar glukosa harus dipantau secara cermat.
Pemberian cairan disamping kebutuhan pemeliharaan ditambah 75% kehilangan urine/jam sebelumnya, berpedoman pada serum elektrolit.
Propilaktis anti kejang disarankan karena bisa terjadi kejang post operasi sebaiknya pasien dirawat di ICU.(4)
ANOMALI SEREBROVASKULAR :
Aneurisma arteri jarang pada anak tetapi arteriovenous
malformation(AVM) sering tidak terdeteksi sampai umur 40-50 tahun dan hanya 18% muncul dibawah umur 15 tahun, bisa kongenital maupun didapat, merupakan tantangan buat neuroanestesiologist terutama bayi dan anak.(4,5)
Insidens yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan sindrom angioplastik (Osler-Weber-Rondu syndrome,heredi
tary hemorrhage telangiectasi,Wyber-Mason syndrome).(6)
Aneurisma dan AVM bawaan merupakan perkembangan abnormal dari jaringan kapiller arteriole menghubungkan sistem arteri dan vena.
Aliran darah melalui sirkuit arteriokapiler dengan resisten si rendah menyebabkan distensi dan dilatasi seluruh sistem vena diotak dan kranium secara progressif.
Beberapa anomali vaskular spesifik pada arteri cerebral
posterior dan vena besar dari Galen biasanya muncul pada periode newborn dengan CHF.
Dilatasi sakular vena Galen mungkin bersamaan dengan hidrosepalus karena obstruksi aquaductus Sylvius.(5)
Lokasi dominan pada anak adalah supratentorial.
Injuri serebral bisa disebabkan salah satu atau lebih: (5)
1.Perdarahan dengan thrombosis dan infark.
2.Kompressi terhadap struktur neural yang berdekatan.
3.Iskemia parenchimal disebabkan oleh pencurian aliran
darah kejaringan bertahanan rendah.
4.CHF dan hipoperfusi
5.Trauma pembedahan dan pengalihan aliran darah.
Pasien AVM bisa membutuhkan embolisasi aliran darah arteri dengan kontrol radiologi,stereotactic radiosurgery sebagai terapi definitif dan klipping pembuluh darah mung
kin dilakukan baik sebagai prosedur satu satunya atau
prosedur lanjutan.(5)
Sasaran ahli anestesi adalah meminimalkan tekanan transmural pada aneurisma untuk mencegah pelebaran atau ruptur aneurisma dimana CPP tetap dipertahankan untuk mencegah iskemia otak.(4)
Pertimbangan spesifik anestesi anak dengan AVM:(4,5)
1.Patofisiologi sebelumnya :
Adakah kenaikan ICP atau bersamaan dengan CHF?
Atau adakah defect bawaan ?
2.Patofisiologi sehubungan umur :
Adakah immaturitas dari sistem organ?
3.Kemungkinan hilang darah yang massif harus diantisipasi
Simptomatologi tergantung umur berapa saat penyakit itu ada.Pada anak yang lebih tua sering bersamaan dengan perdarahan subarachnoid dan intraventrikular.Lebih dari
70% pasien pediatri, AVM sebagai penyebab perdarahan subarachnoid dan 25% gejalanya adalah kejang.(5)
AVM pada neonatus adalah tantangan yang besar sebab sering bersama dengan CHF.
Tahanan rendah AVM menyebabkan overload volume dan gejala gagal jantung kanan, memerlukan inotropik dan intubasi ,ventilasi mekanik sebelum operasi.(4)
Sebagai tambahan monitor rutin,dua kateter intravena ukuran besar terpasang,serta kateter arteri , CVP dan kateter urin penting.
Intervensi pembedahan terhadap satu atau lebih pembuluh darah besar sering menyebabkan emboli udara yang
bermakna untuk itu monitor precordial Doppler adalah essensial.(4)
Prinsip tehnik anestesi ,hindarkan depresi kardiovaskular
dan hipertensi waktu induksi.
Dosis besar pentotal atau propopol,lidokain hindarkan tetapi dosis moderat pentotal,narkotik dan pelemas otot non depolarisasi disarankan serta premedikasi sedatif membantu lancarnya induksi.(4,5)
Pemeliharaan anestesi sama dengan anestesi tumor supratentorial.
Pada pasien AVM lebih disukai normokapni karena hipokapni akan menurunkan CBF kepembuluh darah normal dan menambah aliran ke AVM.(5)
Bila tanpa CHF maka hipotensi terkontrol dapat digunakan saat ligasi AVM, dengan trimethaphan,nitrogliserin dan
nitroprusid.(4,5)
Mempertahankan suhu tubuh normal sangat sulit apalagi transfusi massif diperlukan,untungnya modest hipotermia (34C) dapat memproteksi otak dengan menurunkan CMRO2 tanpa menimbulkan komplikasi post operatif dan bila hipertermia harus diterapi secara agressif.(4)
Vasospamo serebral perlu dideteksi dan dicegah periode post operatif dengan transcranial Doppler sonography dan calcium antagonist sebagai terapi pilihan karena vasospas
mo memperburuk outcome.(5)
Pasien dengan CHF maupun dengan defisit neurologi yang berat sebaiknya tetap tersedasi dan terintubasi dan dira
wat di ICU .
Tak hanya analgetik tetapi terapi antihipertensi diperlu
lukan untuk mencegah kenaikan mendadak tekanan darah yang mencetuskan rebleeding(5).
Pasien aneurisma venous of Galen walaupun jarang tetapi mortalitinya 75% dimana neonatus dengan CHF,makrokra
nia,suara aliran darah terdengar via fontanella anterior dan embolisasi dilakukan sebelum operasi.
Tetapi anak yang lebih tua sering mengeluh seperti migrain tetapi mortalitasnya rendah.(7)
Pengelolaan anestesi termasuk monitoring cardiovaskular yang agressif hindarkan hipotensi dan hipovolemia dan tekanan diastolik yang rendah akan mengganggu perfusi jantung.Saat klipping aneurisma terjadi peningkatan ventrikular afterload secara mendadak dan gagal jantung
memerlukan inoropik dan vasodilator.
N20 dihindarkan karena pengaruh inotropik negatif dan meningkatkan resistensi vaskular pulmonal.(7)
CEDERA KEPALA :
Penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak pada kasus pediatri.
Mortaliti akibat cedera kepala berat pada anak sekitar
9 sampai 38%.(6)
Prognose bergantung pada GCS(Glassgow Coma Scale) dan lamanya koma,untuk anak berumur 3 sampai 11 tahun dengan GCS<8 mortalitas 30% bila diresusitasi lebih awal dirawat secara intensif lebih dari 90% pasien dengan GCS 8 akan pulih dengan baik atau cacat ringan.(6)
Cedera kepala bisa menyebabkan kelainan berupa hematom intrakranial, odema otak dan effek sistemik.(4)
Pada anak lebih sering odem otak diffus daripada hematom intrakranial.
Namun 20-30% cedera kepala anak disertai intrakranial hematom dan 25% adalah epidural hematom yang sering di area parital dan paritotemporal ,disertai sakit kepala yang hebat,lethargi,hemiparesis sampai dilatasi pupil,bila evaku
asi diperlukan haruslah lebih dini.(5)
Cedera kepala berat 20-50% bersamaan trauma diluar kepala seperti leher,dada,abdomen dan extrimitas.
Cedera leher pada anak selalu bersama cedera kepala dan tak menganggu respirasi tetapi hipotensi berat sampai henti jantung.(4)
Perlu dicatat bahwa hipotensi sering terjadi karena hipovolemia akibat perdarahan intra thorax dan abdomen dan harus segera dikoreksi karena sangat krusial menentukan outcome pasien dan status neurologik baru
bisa ditetapkan kalau shock telah diatasi.(4)
Namun laserasi kulit kepala, cukup potensial menimbulkan hipovolemia pada anak dan subdural hematom diffus pada bayi juga bisa hipotensi.
Sering terjadi retensi natrium pada cedera kepala pada anak akibat sekresi abnormal ADH sehingga terjadi dilutional hiponatremia untuk itu lakukan retriksi cairan sebanyak 50% dari kebutuhan normal.
Namun prinsip isovolemi,isoosmolar harus dipertahankan.
Hiperglikemia sering ditemukan hal ini akan memperburuk outcome pasien yang seharusnya normoglikemia.(4)
Kerusakan jaringan otak pada anak bisa juga mengganggu koagulasi oleh sebab pelepasan thromboplastin,aktivasi pathway koagulasi dan penurunan fibrinogen,platelet,
faktor V dan VIII.
Desseminated intravascular coagulation(DIC) dilaporkan terjadi pada sepertiga anak dalam 2 jam setelah cedera otak.Terapi koagulopati dengan mengganti faktor koagu
lasi yang berkaitan.(6)
Neurogenik pulmonari odem(NPO) dilaporkan pada anak dengan lesi fokal pada brainstem didaerah nukleus traktus solitarius disebabkan kenaikan tekanan arteri pulmonal disertai kenaikan permeabilitas kapiler paru.(6)
Diterapi dengan diuretika dan ventilasi tekanan positip dan positve end expiration pressure)(PEEP) sebatas tak menaikkan ICP.
NPO bisa juga terjadi pada injuri cervikal,perdarah
an intraserebral dan subarachnoid,tumor otak terutama lesi brainstem ,kiste koloid dalam ventrikel III,emboli udara serebral,malfungsi shunt ventrikular ,reseksi cerebello pontine tumor dan kejang kejang.(6)
Pembebasan jalan nafas sangat penting untuk mencegah hipoksia namun harus hati hati ,dengan bantuan asisten meluruskan posisi kepala leher diperlukan,untuk menjaga stabilitas servikal, karena kita harus memperlakukan pasien seperti fraktur servikal, sampai dibuktikan tidak ada fraktur servikal.(4)
Fraktur servikal sering pada anak karena ukuran kepala relatif besar,dan otot leher belum sempurna berkembang elastisitas pendukung kepala lebih besar biasanya pada vertebra cervicalis 2 dan 3 selalu bersamaan dengan trauma kepala.
Tehnik anestesia sesuai petunjuk sebelumnya dimana awake intubasi sebaiknya jangan dilakukan,hindarkan hipertensi,hipotensi,batuk,mengejan.
Pentotal baik untuk induksi bila hemodinamik stabil dan etomidat untuk hemodinamik yang labil tetapi ketamin dikontraindikasikan untuk cedera kepala tertutup.(4)
MYELODISPLASIA:
Adalah abnormalitas penyatuan celah neural embrionik
selama bulan pertama gestasi.Kegagalan tabung neural
menutup menghasilkan hernia seperti kantong dari
meningen dan jaringan neural.(4,5,6))
Defect ini termasuk antara lain anencephaly,encephalo
cele, myelomeningococoele dan meningococoele.
Encephalocoele akibat kegagalan penutupan garis tengah
kranium biasanya dioccipital tetapi bisa juga difrontal
dengan prognose lebih baik.
Prognose tergantung derajat herniasi otak yang terjadi
dan terapinya adalah pembedahan.
Spinabifida akibat kegagalan penutupan column vertebra
lis bisa disertai herniasi meningen dan medulla spinalis.
Spinabifida occulta tanpa herniasi meningen dan medulla
spinalis biasanya disertai kelainan kulit seperti nevus dan
rambut didaerah lumbal.
Bila tak dikoreksi bisa menyebabkan gangguan neurologi
dari kantong kemih atau extrimitas inferior ketika anak
bertumbuh,insidennya 10%.
Bila ditemukan nevus dan rambut didaerah lumbal patut
dicurigai spinabifida okulta dan dikonfirmasi dengan MRI.
Spina bifida sistika berupa kantong ditutupi meningen
yang bisa ruptur dan mengeluarkan CSF,20% sebagai
meningococel dan 80% sebagai meningomyelocoele dan
70% didaerah lumbosakral.Lesi saraf bisa sensoris atau
motoris melibatkan kandung kemih dan anus.
Sering disertai kelainan ortopedi(talipes,kiposis,skoliosis)
dan kelainan renal,jantung,visceral dan chromosomal.
Sebanyak 80% bayi dengan kelainan ini disertai obstruktif
hidrosepalus yang sebaiknya dilakukan VP shunt sebelum
operasi.
Karena terbukanya CNS resiko infeksi sangat besar maka
operasi dalam waktu 24-36 jam setelah lahir sangat
membantu mengurang resiko infeksi.Kebanyakan kasus
didiagnose antenatal dan MRI membantu memetakan
lokasinya secara akurat.(4,5,6)
Pertimbangan anestesi:
Kelainan kongenital lain dan defisit neurologi yang
menyertai haruslah diditeksi dan diantisipasi problem
yang ditimbulkannya.
Tujuh puluh lima percent lesi terletak di lumbosakral ,bila
diatas T4 akan menyebabkan paraplegia bila antara L4-S3
mempengaruhi kaki.(5)
Anak dengan cervical encephalocele biasanya dengan
leher pendek dan kaku akan menyulitkan intubasi.
Bayi dengan meningomyelocoele sering hipovolemia
karena evaporasi dari kulit yang defect untuk itu perlu
rehidrasi pre operatif.(4,5)
Bayi diinduksi dalam posisi telentang atau lateral .
Bila myelomeningocele besar maka diberi bantalan busa
dibawah kepala ,bahu,dan kaki untuk melindungi kantong
saraf dari penekanan.(4,5))
Bayi dengan meningocele pada hidung sering terjadi
obstruksi jalan nafas atas dan kesulitan mask ventilasi.(5)
Induksi dilakukan cara standard pentotal dan pelemas
otot beberapa center menganjurkan awake intubasi.
Fiksasi pipa trakeal harus teliti terutama waktu memposi
sikan pasien sering bergeser dan lepas karena sekresi
yang membasahi plester pipa trakea.
Posisi pasien tengkurap, untuk itu dada dan pangkal paha
diganjal untuk membebaskan abdomen terhadap tekanan
untuk mempermudah ventilasi dan paling penting
mengurangi tekanan intraabdominal dan menurunkan
distensi vena untuk mencegah perdarahan hebat dari
plexus epidural.(5)
Dalam melakukan ventilasi mekanik harus hati hati bisa
menimbulkan barotrauma pada bayi dengan paru yang
masih immatur.(5)
Bayi prematur terutama dibawah 32 minggu dan <1500g
resiko tinggi terjadi retinopati,dan injuri paru dengan
terlalu lama menerima oksigen konsentrasi tinggi.(5).
Transfusi jarang diperlukan kecuali meningocele yang
besar.
Hematokriet bayi 50-55% dapat mentolerir hilangnya
darah.(4)
Kebanyakan newborn beresiko apnoe dalam 12 jam perta
ma sesudah anestesia harus dimonitor dengan ketat.(4)
Bayi dengan spinabifida cenderung allergi terhadap latex
hindari pemakaian bahan dari latex.(4)
ANOMALI KRANIUM (SKULL ABNORMALITY):
Anomali tulang kepala yang paling sering ditemui pada
anak adalah craniosynosthesis dan craniofacial dysmor
phism(dimana basis kranii dan sutura facialis juga
terkena). (5,7,9).
CRANIOSYNOSTOSIS:
Adalah akibat fusi sutura kranii yang prematur'
Sutura yang terlibat termasuk korona dextra dan sinistra
(anterior plagiocephaly),metopik(trigonocephaly),sagital
(scaphycephaly),lambdoida dextra dan sinistra(posterior
plagiocephaly),korona bilateral(anterior brachicephaly).
lambdoida bilateral(posterior brachicephaly)(7).
SAGITAL SYNOSTOSIS:
Hampir separoh dari kejadian craniosynostosis diduga pre
disposisi genetik dan pria lebih dominan.
Bentuk kepala lonjong antroposterior(scaphocepahalic),
fontanella anterior mengecil atau hilang.(5)
Kebanyakan perkembangan otak dan pemeriksaan neurolo
gi normal dan biasanya intervensi pembedahan diarahkan
untuk pembebasan sutura yang menyatu pada umur dibawah 6 bulan.(5)
CORONALSYNOSTOSIS:
Meliputi 20% dari seluruh kejadian craniosynostosis bila
unilateral maka kening disisi yang terkena akan mendatar
dan meningginya pinggir orbita ipsilateral sebaliknya kening disisi kontralateral akan menonjol.(5)
Khasnya hidung menyimpang jauh dari sutura yang menyempit.Bilateral coronal synostosis sering bersamaan dengan craniofacial dysmorphism (Apert,Crouzon dan Saethre Chotsen syndrome).
Penyatuan sutura frontoethmoidalis bisa menimbulkan
penyempitan nasal airway(5)
Rekontruksi pada unilateral coronalsynostosis dilakukan di
bawah umur 6 bulan sedangkan pada bilateral synostosis diatas umur 6 bulan,prosedur ini memakan waktu yang lama dan perdarahan yang lebih banyak daripada yang
unilateral.
MULTIPLE SUTURE SYNOSTOSIS:
Kejadiannya 7% dari seluruh kasus craniosynostosis.
Bentuk kepala tergantung pada sutura mana saja yang ter
libat,pada kasus ini diperlukan total rekonstruksi tulang
kepala untuk kosmetik terbaik,dimana posisi pasien teng
kurap dan leher sangat extensi kemungkinan pipa endotra
keal tertarik dan perdarahan yang banyak.(5)
Pertimbangan anestesi:
Termasuk perhatian terhadap :(5,7,9)
1.ICP yang meninggi.
2.Problema airway
3.Hilang darah yang massif.
4.Emboli udara vena.
ad.1.Peninggian ICP berkaitan dengan cepatnya
pertumbuhan otak didalam rongga tengkorak yang
kaku yang bisa terjadi tergantung jumlah sutura yang
terlibat dan berapa cepat problem ini diketahui.(7)
Hidrosepalus ditemukan pada 5-10% pasien dengan
anomali craniofacial mungkin karena stenosis basis
kranii.(7)
Penurunan ICP sangat penting untuk mempermudah
akses intrakranial ke struktur facialis dan mengu
rangi kompressi terutama pada lobus temporalis
yang dapat meneyebabkan odema serebral post ope
ratif hal ini bisa dicapai dengan hiperventilasi dan
osmotik/loop diuretik untuk menurunkan volume
isi intrakranial (6,7)
Induksi anestesi harus mulus,gunakan barbiturat,nar
kotik dan batasi pemakaian inhalasi anestesi.(6)
ad2.Penyempitan nasal airway sering dijumpai padahal
bayi hanya bisa bernafas lewat hidung.
Karena kemungkinan kesulitan intubasi terutama
pada anak dengan anomali facialis dengan man
dibula hipoplasia,leher dan trakea yang immobil,mak
roglossi dan mulut yang sulit dibuka maka sebaiknya
bronchoscope fiberoptik tersedia dan ahli bedah siap
dengan trakeostomi.(5,6).Beberapa anak bisa mento
lerir awake laringoskopi dan fiberoptik intubasi.
Tehnik induksi utama pada kesulitan jalan nafas ada
lah tehnik inhalasi dan assisted ventilasi dapat mem
pertahankan atau mengurangi PaCO2 sehingga bisa
membatasi kenaikan ICP.(5)
Bila bisa dintubasi maka pipa trakea diamankan de
ngan dijahit karena kemungkinan bergeser besar
sekali.Pasien dengan prosedur facial terutama diba
wah orbita sering dengan odem jalan nafas atas
untuk itu sebaiknya pasien tetap terintubasi dan ter
sedasi dan diventilasi selama 24-48 jam post opera
tif dengan subarachnoid drain untuk mengurangi
kebocoran CSF melalui dura sebelum extubasi.(5)
ad3.Walaupun prosedur adalah extradural namun
hilangnya darah bisa massif dan mendadak bila
intervensi pembedahan mengenai sinus venous
mayor.(7)
Kebanyakan operasi craniosynostosis dilakukan pada
bayi berumur antara 2 dan 6 bulan suatu periode
yang bersamaan dengan anemi fisiologi.(5).
Semakin banyak sutura dan semakin tebal tulang
yang direkonstruksi semakin banyak darah yang hi
lang untuk itu cross match darah selalu tersedia di
kamar operasi dan persiapan darah harus ada sebe
lum operasi.Akses intravena harus dijamin lancar
untuk persiapan pergantian cairan/darah dan moni
toring tekanan intra arterial,CVP,produksi urine dan
temperatur otak(timpani dan nasoparing thermistor)
adalah penting.(6)
Bila hilangnya darah sama dengan volume darah efek
tif kemungkinan gangguan pembekuan darah terjadi.
Kehilangan cairan dan elektrolit perlu dievaluasi aki
bat diuresis termasuk SIADH dan diabetes insipidus
karena retraksi otak.(6).
ad4. Ahli anestesi haruslah serius mengamati pasien wak
tu ahli bedah memisahkan sutura yang menyatu dari
sinus sagitalis dimana perdarahan vena yang hebat
dan emboli udara terjadi.Emboli udara vena didetek
si dengan echocardiography dan precordial Doppler
dimana craniectomi pada bayi resiko terjadinya
emboli udara vena sekitar 66-83% yang dapat dimi
nimalisir dengan deteksi dini dengan precordial Dop
pler dan mempertahankan euvolumia.(9)
KEPUSTAKAAN:
1.Smith M Robert: Fundamental differences in Anesthesia
for Infant and Children;4th edition,CV Mosby Company
St Louis,Toronto,London,1980.pp.5-32
2.Steward J David:Outline of Pediatic Anatomy & Physiolo
gy in Relation to Anesthesia in ManualPediatri Anesthe
siology Churchill Livingstone,Newyork,Edinburg and
London,1979 .pp.3-17.
3.Snow C John :Pediatric Anesthesia in Manual of
Anesthesia;Asean Edition,first edit,Little Brown and
Company,Boston,Igaku Shoin Ltd.Tokyo;1997.pp.447-55
4.Yemen A Ferrance:Pediatric Neuroanesthesia ;Stone J
David,Sperry J Richard,Johnson 0 Joul;The Neuroanes
thesia Handbook,Mosby Company,USA,1996.pp.251-73
5.Bissconette B,Amstrong C Derek:Pediatric Neuronaesthe
sia;Albin S Maurice;Textbook of Neuroanesthesia with
Neurosurgical and Neurosciences Perspectives,Mc Graw
Hill USA,1997.pp.1185-1234.
6.Newfield Philippa,Hamid AK Rukaiya:Anesthesia for
Pediatric Neurosurgery; Cottrell E James,Smith S
David;Anesthesia and Neurosurgery;4th edit,Mosby
Inc.USA,2001.pp.501-22.
7.Turner M John,Gilder Fay:Principles of Pediatric
Anesthesia;Matta F Basil,Menon K David;Textbook of
Neuroanesthesia and Critical Care,Greenwich Medical
Media Ltd.Londo 2000.pp.229-38
8.Bisri Tatang :Pediatri Neuroanesthesia ,Bisri T,
Wargadibrata HA Erisurachman;Neuro Anestesia,edisi
2,Faked Unpad,Bandung.1997.pp.187-209
9.Soriano G.Sulpicio,Elredge A Elizabeth,Rockoff A Mark:
Pediatric Neuroanesthesia;Anesthesiology Clinics of
North America;Children's Hospital and Harvard Medical
School,Boston USA;2002.pp.389-404.
10.Hamid A.K Rukaiya,Newfield Philippa:Pediatric Neuro
anesthesia Hidrocephalus:Anesthesiology Clinics of
North America,volume 19,number 2.june2001.pp207-9
Pemberian cairan disamping kebutuhan pemeliharaan ditambah 75% kehilangan urine/jam sebelumnya, berpedoman pada serum elektrolit.
Propilaktis anti kejang disarankan karena bisa terjadi kejang post operasi sebaiknya pasien dirawat di ICU.(4)
ANOMALI SEREBROVASKULAR :
Aneurisma arteri jarang pada anak tetapi arteriovenous
malformation(AVM) sering tidak terdeteksi sampai umur 40-50 tahun dan hanya 18% muncul dibawah umur 15 tahun, bisa kongenital maupun didapat, merupakan tantangan buat neuroanestesiologist terutama bayi dan anak.(4,5)
Insidens yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan sindrom angioplastik (Osler-Weber-Rondu syndrome,heredi
tary hemorrhage telangiectasi,Wyber-Mason syndrome).(6)
Aneurisma dan AVM bawaan merupakan perkembangan abnormal dari jaringan kapiller arteriole menghubungkan sistem arteri dan vena.
Aliran darah melalui sirkuit arteriokapiler dengan resisten si rendah menyebabkan distensi dan dilatasi seluruh sistem vena diotak dan kranium secara progressif.
Beberapa anomali vaskular spesifik pada arteri cerebral
posterior dan vena besar dari Galen biasanya muncul pada periode newborn dengan CHF.
Dilatasi sakular vena Galen mungkin bersamaan dengan hidrosepalus karena obstruksi aquaductus Sylvius.(5)
Lokasi dominan pada anak adalah supratentorial.
Injuri serebral bisa disebabkan salah satu atau lebih: (5)
1.Perdarahan dengan thrombosis dan infark.
2.Kompressi terhadap struktur neural yang berdekatan.
3.Iskemia parenchimal disebabkan oleh pencurian aliran
darah kejaringan bertahanan rendah.
4.CHF dan hipoperfusi
5.Trauma pembedahan dan pengalihan aliran darah.
Pasien AVM bisa membutuhkan embolisasi aliran darah arteri dengan kontrol radiologi,stereotactic radiosurgery sebagai terapi definitif dan klipping pembuluh darah mung
kin dilakukan baik sebagai prosedur satu satunya atau
prosedur lanjutan.(5)
Sasaran ahli anestesi adalah meminimalkan tekanan transmural pada aneurisma untuk mencegah pelebaran atau ruptur aneurisma dimana CPP tetap dipertahankan untuk mencegah iskemia otak.(4)
Pertimbangan spesifik anestesi anak dengan AVM:(4,5)
1.Patofisiologi sebelumnya :
Adakah kenaikan ICP atau bersamaan dengan CHF?
Atau adakah defect bawaan ?
2.Patofisiologi sehubungan umur :
Adakah immaturitas dari sistem organ?
3.Kemungkinan hilang darah yang massif harus diantisipasi
Simptomatologi tergantung umur berapa saat penyakit itu ada.Pada anak yang lebih tua sering bersamaan dengan perdarahan subarachnoid dan intraventrikular.Lebih dari
70% pasien pediatri, AVM sebagai penyebab perdarahan subarachnoid dan 25% gejalanya adalah kejang.(5)
AVM pada neonatus adalah tantangan yang besar sebab sering bersama dengan CHF.
Tahanan rendah AVM menyebabkan overload volume dan gejala gagal jantung kanan, memerlukan inotropik dan intubasi ,ventilasi mekanik sebelum operasi.(4)
Sebagai tambahan monitor rutin,dua kateter intravena ukuran besar terpasang,serta kateter arteri , CVP dan kateter urin penting.
Intervensi pembedahan terhadap satu atau lebih pembuluh darah besar sering menyebabkan emboli udara yang
bermakna untuk itu monitor precordial Doppler adalah essensial.(4)
Prinsip tehnik anestesi ,hindarkan depresi kardiovaskular
dan hipertensi waktu induksi.
Dosis besar pentotal atau propopol,lidokain hindarkan tetapi dosis moderat pentotal,narkotik dan pelemas otot non depolarisasi disarankan serta premedikasi sedatif membantu lancarnya induksi.(4,5)
Pemeliharaan anestesi sama dengan anestesi tumor supratentorial.
Pada pasien AVM lebih disukai normokapni karena hipokapni akan menurunkan CBF kepembuluh darah normal dan menambah aliran ke AVM.(5)
Bila tanpa CHF maka hipotensi terkontrol dapat digunakan saat ligasi AVM, dengan trimethaphan,nitrogliserin dan
nitroprusid.(4,5)
Mempertahankan suhu tubuh normal sangat sulit apalagi transfusi massif diperlukan,untungnya modest hipotermia (34C) dapat memproteksi otak dengan menurunkan CMRO2 tanpa menimbulkan komplikasi post operatif dan bila hipertermia harus diterapi secara agressif.(4)
Vasospamo serebral perlu dideteksi dan dicegah periode post operatif dengan transcranial Doppler sonography dan calcium antagonist sebagai terapi pilihan karena vasospas
mo memperburuk outcome.(5)
Pasien dengan CHF maupun dengan defisit neurologi yang berat sebaiknya tetap tersedasi dan terintubasi dan dira
wat di ICU .
Tak hanya analgetik tetapi terapi antihipertensi diperlu
lukan untuk mencegah kenaikan mendadak tekanan darah yang mencetuskan rebleeding(5).
Pasien aneurisma venous of Galen walaupun jarang tetapi mortalitinya 75% dimana neonatus dengan CHF,makrokra
nia,suara aliran darah terdengar via fontanella anterior dan embolisasi dilakukan sebelum operasi.
Tetapi anak yang lebih tua sering mengeluh seperti migrain tetapi mortalitasnya rendah.(7)
Pengelolaan anestesi termasuk monitoring cardiovaskular yang agressif hindarkan hipotensi dan hipovolemia dan tekanan diastolik yang rendah akan mengganggu perfusi jantung.Saat klipping aneurisma terjadi peningkatan ventrikular afterload secara mendadak dan gagal jantung
memerlukan inoropik dan vasodilator.
N20 dihindarkan karena pengaruh inotropik negatif dan meningkatkan resistensi vaskular pulmonal.(7)
CEDERA KEPALA :
Penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak pada kasus pediatri.
Mortaliti akibat cedera kepala berat pada anak sekitar
9 sampai 38%.(6)
Prognose bergantung pada GCS(Glassgow Coma Scale) dan lamanya koma,untuk anak berumur 3 sampai 11 tahun dengan GCS<8 mortalitas 30% bila diresusitasi lebih awal dirawat secara intensif lebih dari 90% pasien dengan GCS 8 akan pulih dengan baik atau cacat ringan.(6)
Cedera kepala bisa menyebabkan kelainan berupa hematom intrakranial, odema otak dan effek sistemik.(4)
Pada anak lebih sering odem otak diffus daripada hematom intrakranial.
Namun 20-30% cedera kepala anak disertai intrakranial hematom dan 25% adalah epidural hematom yang sering di area parital dan paritotemporal ,disertai sakit kepala yang hebat,lethargi,hemiparesis sampai dilatasi pupil,bila evaku
asi diperlukan haruslah lebih dini.(5)
Cedera kepala berat 20-50% bersamaan trauma diluar kepala seperti leher,dada,abdomen dan extrimitas.
Cedera leher pada anak selalu bersama cedera kepala dan tak menganggu respirasi tetapi hipotensi berat sampai henti jantung.(4)
Perlu dicatat bahwa hipotensi sering terjadi karena hipovolemia akibat perdarahan intra thorax dan abdomen dan harus segera dikoreksi karena sangat krusial menentukan outcome pasien dan status neurologik baru
bisa ditetapkan kalau shock telah diatasi.(4)
Namun laserasi kulit kepala, cukup potensial menimbulkan hipovolemia pada anak dan subdural hematom diffus pada bayi juga bisa hipotensi.
Sering terjadi retensi natrium pada cedera kepala pada anak akibat sekresi abnormal ADH sehingga terjadi dilutional hiponatremia untuk itu lakukan retriksi cairan sebanyak 50% dari kebutuhan normal.
Namun prinsip isovolemi,isoosmolar harus dipertahankan.
Hiperglikemia sering ditemukan hal ini akan memperburuk outcome pasien yang seharusnya normoglikemia.(4)
Kerusakan jaringan otak pada anak bisa juga mengganggu koagulasi oleh sebab pelepasan thromboplastin,aktivasi pathway koagulasi dan penurunan fibrinogen,platelet,
faktor V dan VIII.
Desseminated intravascular coagulation(DIC) dilaporkan terjadi pada sepertiga anak dalam 2 jam setelah cedera otak.Terapi koagulopati dengan mengganti faktor koagu
lasi yang berkaitan.(6)
Neurogenik pulmonari odem(NPO) dilaporkan pada anak dengan lesi fokal pada brainstem didaerah nukleus traktus solitarius disebabkan kenaikan tekanan arteri pulmonal disertai kenaikan permeabilitas kapiler paru.(6)
Diterapi dengan diuretika dan ventilasi tekanan positip dan positve end expiration pressure)(PEEP) sebatas tak menaikkan ICP.
NPO bisa juga terjadi pada injuri cervikal,perdarah
an intraserebral dan subarachnoid,tumor otak terutama lesi brainstem ,kiste koloid dalam ventrikel III,emboli udara serebral,malfungsi shunt ventrikular ,reseksi cerebello pontine tumor dan kejang kejang.(6)
Pembebasan jalan nafas sangat penting untuk mencegah hipoksia namun harus hati hati ,dengan bantuan asisten meluruskan posisi kepala leher diperlukan,untuk menjaga stabilitas servikal, karena kita harus memperlakukan pasien seperti fraktur servikal, sampai dibuktikan tidak ada fraktur servikal.(4)
Fraktur servikal sering pada anak karena ukuran kepala relatif besar,dan otot leher belum sempurna berkembang elastisitas pendukung kepala lebih besar biasanya pada vertebra cervicalis 2 dan 3 selalu bersamaan dengan trauma kepala.
Tehnik anestesia sesuai petunjuk sebelumnya dimana awake intubasi sebaiknya jangan dilakukan,hindarkan hipertensi,hipotensi,batuk,mengejan.
Pentotal baik untuk induksi bila hemodinamik stabil dan etomidat untuk hemodinamik yang labil tetapi ketamin dikontraindikasikan untuk cedera kepala tertutup.(4)
MYELODISPLASIA:
Adalah abnormalitas penyatuan celah neural embrionik
selama bulan pertama gestasi.Kegagalan tabung neural
menutup menghasilkan hernia seperti kantong dari
meningen dan jaringan neural.(4,5,6))
Defect ini termasuk antara lain anencephaly,encephalo
cele, myelomeningococoele dan meningococoele.
Encephalocoele akibat kegagalan penutupan garis tengah
kranium biasanya dioccipital tetapi bisa juga difrontal
dengan prognose lebih baik.
Prognose tergantung derajat herniasi otak yang terjadi
dan terapinya adalah pembedahan.
Spinabifida akibat kegagalan penutupan column vertebra
lis bisa disertai herniasi meningen dan medulla spinalis.
Spinabifida occulta tanpa herniasi meningen dan medulla
spinalis biasanya disertai kelainan kulit seperti nevus dan
rambut didaerah lumbal.
Bila tak dikoreksi bisa menyebabkan gangguan neurologi
dari kantong kemih atau extrimitas inferior ketika anak
bertumbuh,insidennya 10%.
Bila ditemukan nevus dan rambut didaerah lumbal patut
dicurigai spinabifida okulta dan dikonfirmasi dengan MRI.
Spina bifida sistika berupa kantong ditutupi meningen
yang bisa ruptur dan mengeluarkan CSF,20% sebagai
meningococel dan 80% sebagai meningomyelocoele dan
70% didaerah lumbosakral.Lesi saraf bisa sensoris atau
motoris melibatkan kandung kemih dan anus.
Sering disertai kelainan ortopedi(talipes,kiposis,skoliosis)
dan kelainan renal,jantung,visceral dan chromosomal.
Sebanyak 80% bayi dengan kelainan ini disertai obstruktif
hidrosepalus yang sebaiknya dilakukan VP shunt sebelum
operasi.
Karena terbukanya CNS resiko infeksi sangat besar maka
operasi dalam waktu 24-36 jam setelah lahir sangat
membantu mengurang resiko infeksi.Kebanyakan kasus
didiagnose antenatal dan MRI membantu memetakan
lokasinya secara akurat.(4,5,6)
Pertimbangan anestesi:
Kelainan kongenital lain dan defisit neurologi yang
menyertai haruslah diditeksi dan diantisipasi problem
yang ditimbulkannya.
Tujuh puluh lima percent lesi terletak di lumbosakral ,bila
diatas T4 akan menyebabkan paraplegia bila antara L4-S3
mempengaruhi kaki.(5)
Anak dengan cervical encephalocele biasanya dengan
leher pendek dan kaku akan menyulitkan intubasi.
Bayi dengan meningomyelocoele sering hipovolemia
karena evaporasi dari kulit yang defect untuk itu perlu
rehidrasi pre operatif.(4,5)
Bayi diinduksi dalam posisi telentang atau lateral .
Bila myelomeningocele besar maka diberi bantalan busa
dibawah kepala ,bahu,dan kaki untuk melindungi kantong
saraf dari penekanan.(4,5))
Bayi dengan meningocele pada hidung sering terjadi
obstruksi jalan nafas atas dan kesulitan mask ventilasi.(5)
Induksi dilakukan cara standard pentotal dan pelemas
otot beberapa center menganjurkan awake intubasi.
Fiksasi pipa trakeal harus teliti terutama waktu memposi
sikan pasien sering bergeser dan lepas karena sekresi
yang membasahi plester pipa trakea.
Posisi pasien tengkurap, untuk itu dada dan pangkal paha
diganjal untuk membebaskan abdomen terhadap tekanan
untuk mempermudah ventilasi dan paling penting
mengurangi tekanan intraabdominal dan menurunkan
distensi vena untuk mencegah perdarahan hebat dari
plexus epidural.(5)
Dalam melakukan ventilasi mekanik harus hati hati bisa
menimbulkan barotrauma pada bayi dengan paru yang
masih immatur.(5)
Bayi prematur terutama dibawah 32 minggu dan <1500g
resiko tinggi terjadi retinopati,dan injuri paru dengan
terlalu lama menerima oksigen konsentrasi tinggi.(5).
Transfusi jarang diperlukan kecuali meningocele yang
besar.
Hematokriet bayi 50-55% dapat mentolerir hilangnya
darah.(4)
Kebanyakan newborn beresiko apnoe dalam 12 jam perta
ma sesudah anestesia harus dimonitor dengan ketat.(4)
Bayi dengan spinabifida cenderung allergi terhadap latex
hindari pemakaian bahan dari latex.(4)
ANOMALI KRANIUM (SKULL ABNORMALITY):
Anomali tulang kepala yang paling sering ditemui pada
anak adalah craniosynosthesis dan craniofacial dysmor
phism(dimana basis kranii dan sutura facialis juga
terkena). (5,7,9).
CRANIOSYNOSTOSIS:
Adalah akibat fusi sutura kranii yang prematur'
Sutura yang terlibat termasuk korona dextra dan sinistra
(anterior plagiocephaly),metopik(trigonocephaly),sagital
(scaphycephaly),lambdoida dextra dan sinistra(posterior
plagiocephaly),korona bilateral(anterior brachicephaly).
lambdoida bilateral(posterior brachicephaly)(7).
SAGITAL SYNOSTOSIS:
Hampir separoh dari kejadian craniosynostosis diduga pre
disposisi genetik dan pria lebih dominan.
Bentuk kepala lonjong antroposterior(scaphocepahalic),
fontanella anterior mengecil atau hilang.(5)
Kebanyakan perkembangan otak dan pemeriksaan neurolo
gi normal dan biasanya intervensi pembedahan diarahkan
untuk pembebasan sutura yang menyatu pada umur dibawah 6 bulan.(5)
CORONALSYNOSTOSIS:
Meliputi 20% dari seluruh kejadian craniosynostosis bila
unilateral maka kening disisi yang terkena akan mendatar
dan meningginya pinggir orbita ipsilateral sebaliknya kening disisi kontralateral akan menonjol.(5)
Khasnya hidung menyimpang jauh dari sutura yang menyempit.Bilateral coronal synostosis sering bersamaan dengan craniofacial dysmorphism (Apert,Crouzon dan Saethre Chotsen syndrome).
Penyatuan sutura frontoethmoidalis bisa menimbulkan
penyempitan nasal airway(5)
Rekontruksi pada unilateral coronalsynostosis dilakukan di
bawah umur 6 bulan sedangkan pada bilateral synostosis diatas umur 6 bulan,prosedur ini memakan waktu yang lama dan perdarahan yang lebih banyak daripada yang
unilateral.
MULTIPLE SUTURE SYNOSTOSIS:
Kejadiannya 7% dari seluruh kasus craniosynostosis.
Bentuk kepala tergantung pada sutura mana saja yang ter
libat,pada kasus ini diperlukan total rekonstruksi tulang
kepala untuk kosmetik terbaik,dimana posisi pasien teng
kurap dan leher sangat extensi kemungkinan pipa endotra
keal tertarik dan perdarahan yang banyak.(5)
Pertimbangan anestesi:
Termasuk perhatian terhadap :(5,7,9)
1.ICP yang meninggi.
2.Problema airway
3.Hilang darah yang massif.
4.Emboli udara vena.
ad.1.Peninggian ICP berkaitan dengan cepatnya
pertumbuhan otak didalam rongga tengkorak yang
kaku yang bisa terjadi tergantung jumlah sutura yang
terlibat dan berapa cepat problem ini diketahui.(7)
Hidrosepalus ditemukan pada 5-10% pasien dengan
anomali craniofacial mungkin karena stenosis basis
kranii.(7)
Penurunan ICP sangat penting untuk mempermudah
akses intrakranial ke struktur facialis dan mengu
rangi kompressi terutama pada lobus temporalis
yang dapat meneyebabkan odema serebral post ope
ratif hal ini bisa dicapai dengan hiperventilasi dan
osmotik/loop diuretik untuk menurunkan volume
isi intrakranial (6,7)
Induksi anestesi harus mulus,gunakan barbiturat,nar
kotik dan batasi pemakaian inhalasi anestesi.(6)
ad2.Penyempitan nasal airway sering dijumpai padahal
bayi hanya bisa bernafas lewat hidung.
Karena kemungkinan kesulitan intubasi terutama
pada anak dengan anomali facialis dengan man
dibula hipoplasia,leher dan trakea yang immobil,mak
roglossi dan mulut yang sulit dibuka maka sebaiknya
bronchoscope fiberoptik tersedia dan ahli bedah siap
dengan trakeostomi.(5,6).Beberapa anak bisa mento
lerir awake laringoskopi dan fiberoptik intubasi.
Tehnik induksi utama pada kesulitan jalan nafas ada
lah tehnik inhalasi dan assisted ventilasi dapat mem
pertahankan atau mengurangi PaCO2 sehingga bisa
membatasi kenaikan ICP.(5)
Bila bisa dintubasi maka pipa trakea diamankan de
ngan dijahit karena kemungkinan bergeser besar
sekali.Pasien dengan prosedur facial terutama diba
wah orbita sering dengan odem jalan nafas atas
untuk itu sebaiknya pasien tetap terintubasi dan ter
sedasi dan diventilasi selama 24-48 jam post opera
tif dengan subarachnoid drain untuk mengurangi
kebocoran CSF melalui dura sebelum extubasi.(5)
ad3.Walaupun prosedur adalah extradural namun
hilangnya darah bisa massif dan mendadak bila
intervensi pembedahan mengenai sinus venous
mayor.(7)
Kebanyakan operasi craniosynostosis dilakukan pada
bayi berumur antara 2 dan 6 bulan suatu periode
yang bersamaan dengan anemi fisiologi.(5).
Semakin banyak sutura dan semakin tebal tulang
yang direkonstruksi semakin banyak darah yang hi
lang untuk itu cross match darah selalu tersedia di
kamar operasi dan persiapan darah harus ada sebe
lum operasi.Akses intravena harus dijamin lancar
untuk persiapan pergantian cairan/darah dan moni
toring tekanan intra arterial,CVP,produksi urine dan
temperatur otak(timpani dan nasoparing thermistor)
adalah penting.(6)
Bila hilangnya darah sama dengan volume darah efek
tif kemungkinan gangguan pembekuan darah terjadi.
Kehilangan cairan dan elektrolit perlu dievaluasi aki
bat diuresis termasuk SIADH dan diabetes insipidus
karena retraksi otak.(6).
ad4. Ahli anestesi haruslah serius mengamati pasien wak
tu ahli bedah memisahkan sutura yang menyatu dari
sinus sagitalis dimana perdarahan vena yang hebat
dan emboli udara terjadi.Emboli udara vena didetek
si dengan echocardiography dan precordial Doppler
dimana craniectomi pada bayi resiko terjadinya
emboli udara vena sekitar 66-83% yang dapat dimi
nimalisir dengan deteksi dini dengan precordial Dop
pler dan mempertahankan euvolumia.(9)
KEPUSTAKAAN:
1.Smith M Robert: Fundamental differences in Anesthesia
for Infant and Children;4th edition,CV Mosby Company
St Louis,Toronto,London,1980.pp.5-32
2.Steward J David:Outline of Pediatic Anatomy & Physiolo
gy in Relation to Anesthesia in ManualPediatri Anesthe
siology Churchill Livingstone,Newyork,Edinburg and
London,1979 .pp.3-17.
3.Snow C John :Pediatric Anesthesia in Manual of
Anesthesia;Asean Edition,first edit,Little Brown and
Company,Boston,Igaku Shoin Ltd.Tokyo;1997.pp.447-55
4.Yemen A Ferrance:Pediatric Neuroanesthesia ;Stone J
David,Sperry J Richard,Johnson 0 Joul;The Neuroanes
thesia Handbook,Mosby Company,USA,1996.pp.251-73
5.Bissconette B,Amstrong C Derek:Pediatric Neuronaesthe
sia;Albin S Maurice;Textbook of Neuroanesthesia with
Neurosurgical and Neurosciences Perspectives,Mc Graw
Hill USA,1997.pp.1185-1234.
6.Newfield Philippa,Hamid AK Rukaiya:Anesthesia for
Pediatric Neurosurgery; Cottrell E James,Smith S
David;Anesthesia and Neurosurgery;4th edit,Mosby
Inc.USA,2001.pp.501-22.
7.Turner M John,Gilder Fay:Principles of Pediatric
Anesthesia;Matta F Basil,Menon K David;Textbook of
Neuroanesthesia and Critical Care,Greenwich Medical
Media Ltd.Londo 2000.pp.229-38
8.Bisri Tatang :Pediatri Neuroanesthesia ,Bisri T,
Wargadibrata HA Erisurachman;Neuro Anestesia,edisi
2,Faked Unpad,Bandung.1997.pp.187-209
9.Soriano G.Sulpicio,Elredge A Elizabeth,Rockoff A Mark:
Pediatric Neuroanesthesia;Anesthesiology Clinics of
North America;Children's Hospital and Harvard Medical
School,Boston USA;2002.pp.389-404.
10.Hamid A.K Rukaiya,Newfield Philippa:Pediatric Neuro
anesthesia Hidrocephalus:Anesthesiology Clinics of
North America,volume 19,number 2.june2001.pp207-9
Tuesday, July 31, 2012
Sedasi Analgesia Pada Pasien Gagal Otak (BAGIAN 2)
FARMAKODINAMIK DAN FARMAKOKINETIK PADA PASIEN KRITIS:(2)
Pemakaian berbagai jenis obat pada pasien kritis cenderung menimbulkan interaksi obat yang tak diharapkan.
Kebanyakan obat diberi intravenous dan punya index terapi yang sempit.
Obat juga berpengaruh pada organ failure dimana farmakodinamik dan
farmakokinetik obat diubah oleh penyakit yang mendasarinya.
Hemodialisis,ventilasi mekanik dan plasmaparesis turut mempengaruhi
sifat obat itu sendiri kesemuanya menyulitkan penggunaan obat termasuk analgetik dan sedatif.
Akibatnya respons klinik pasien sering tak bisa diprediksi bersamaan
perbedaan masing masing individu pasien dan variabelitas pasien yang
sama bisa berubah selama perjalanan penyakitnya.
Brain failure selalu merupakan bagian dari MOF(multi organ failure) memerlukan pertimbangan khusus dalam pemberian obat sedatif maupun analgetik.
Kita ketahui bahwa stress faktor baik infeksi(sepsis) mau
pun non infeksi(trauma tissue yang luas,iskemia/hipoksia)
akan mencetuskan SIRS(systemic inflamatory response syndrome).Pelepasan mediator sistemik mempengaruhi pe
rubahan hemodinamik(vasodilatasi,depressi myokardium,
redistribusi aliran darah),perubahan mikrovaskular(keru
sakan endothel,mikroemboli,AV shunting).
Akibatnya menurunkan distribusi oksigen menimbulkan
hipoksia sellular yang berujung dengan multiorgan dys
function syndrome.
Termasuk didalamnya kegagalan renal(renal failure) (menurunnya clearance obat atau metabolit aktif/inaktif)
Gagal hepar(liver failure) dimana menurunnya hepatic
clearance terjadi akumulasi obat yang dimetabolisir oleh hepar dan meningkatnya fraksi obat bebas.
Sistem cardiovaskular(redistribusi cardiac output kejantung
dan otak terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam otak
dan jantung,tetapi penurunan konsentrasi obat dalam
plasma karena meningkatnya air tubuh akibat permeabilitas
kapiler yang meningkat .
Brain encephalopathy(brain failure) karena uremic,hepatic ,
hipoxic dimana sensitivitas reseptor sedatif dan analgesik meningkat.
Untuk kasus liver failure sebaiknya frekuensi pemakaian
obat dan kecepatan infus dikurangi dan dititrasi teliti.
Obat yang mengalami metabolisme extrahepatik lebih ter
pilih seperti propofol dan remifentanil .
Bila disertai renal failure obat obat yang ditransformasi men
jadi metabolit aktif seperti morfin,petidin,diazepam hanya
digunakan dengan hati hati.lebih disukai obat yang kerjanya
singkat dimetabolisir jadi metabolit inaktif dan non toksis.
Tampaknya propofol dan fentanyl dan remifentanil terpilih sebagai sedasi maupun analgesia yang aman.
Pada brain failure seharusny dosis obat dikurangi dan ditit
rasi dengan teliti karena kepekaan reseptor sedatif dan analgesik meningkat.
Pemberian peroral sebaiknya dihindarkan karena telah ter
jadi kerusakan intergrasi intestinal sehingga tak bisa dipre
diksi effektifitasnya.
Pemberian secara intravena lebih disukai disamping mula
kerja singkat juga paling mungkin diprediksi,mudah diberi
kan di ICU bisa injeksi bolus,kontinu infusion,nurse cont
rolled analgesia dan patient controlled analgesia kalau pasien kooperatif.
STRATEGI TERAPI ANALGESIA/SEDASI_
Sasaran adalah mencapai sedasi/analgesia yang ideal
Pasien nyaman dan nyeri terkontrol
Tidur pasien normal
Meredam respons autonomik
Mempermudah terapi dan perawatan pasien
Mencegah agitasi dengan segala resikonya
Menurunkan konsumsi oksigen
Sinkron ventilator dengan pernafasan pasien.
Dengan menggunakan sedatif/analgetik yang ideal:
Cepat onset dan recovery
Kurang/tidak ada akumulasi
Mudah dititrasi mencapai level yang dikehendaki.
Stabil hemodinamik
Minimal depressi pernafasan
Menurunkan CMRO2 dan mempertahankan penyediaan
oksigen keotak.
Menurunkan ICP tanpa menurunkan CPP
Mempertahankan autoregulasi otak dan reaktivitas cereb
rovascular terhadap CO2.
Mempunyai effek amnesia,anxiolisis,hipnosis dan analgesia.
Tak menutup penilaian status dan komplikasi neurologi.
Tak ada toleransi atau withdrawal
Mudah komunikasi dengan pasien
Biaya tak terlalu mahal.
Namun beberapa keadaan diperlukan sedasi yang dalam dan terapi paralisis seperti:(2)
Tekanan intrakranial meninggi:
-untuk menurunkan CMRo2
-mencegah batuk dan mengejan
-menurunkan ICP
Komplians paru yang jelek untuk mentolerir ventilasi buatan.
Krisis oksigenasi:untuk menurunkan konsumsi oksigen
dan kesulitan sinkronisasi dengan ventilator.
Tetanus atau kejang kejang non stop walau telah diberi dosis besar antikonvulsant.
Hyperpireksia untuk mengurangi hiperventilasi dan pembentukan panas lebih lanjut.
Pola menentukan sedasi dan analgesia yang rasional:(7)
Kemungkinan pasien kritis ,komunikatif/non komunikatif:
Bila komunikatif:dengan nyeri ,nilai dengan VAS/NRS.
Selanjutnya beri opioid target VAS<30/NRS<3.
Kemudian nilai kembali sesudah 10-15 menit sesuaikan opioid .Ulangi penilaian sesudah 10-15 menit bila VAS tetap<30/NRS<3 lalu nilai kembali VAS/NRS minimal tiap
4 jam kecuali malam.
Bila tanpa nyeri maka singkirkan semua penyebab tidak
nyaman, nilai dengan sedation scale beri sedatif yang waktu bangunnya singkat ,lalu nilai kembali dengan skala sedasi
minimal tiap 4 jam kecuali malam atau wake up test tiap
24 jam sesuaikan sedative dan opioid
Bila non komunikatif dan agitasi maka nilai dengan sedation
scale singkirkan semua penyebab agitasi beri opioid untuk
mengurangi agitasi kemudian nilai kembali sesudah 10 sam
pai 15 menit sesuaikan opioid ,nilai kembali sesudah 10-15
menit beri sedatif waktu bangun singkat,lalu nilai kembali dengan sedation scale minimal tiap 4 jam kecuali malam atau wake up test tiap 24 jam selanjutnya sesuaikan sedatif dan opioid.
Bila non komunikatif dengan nyeri behaviour nilai dengan
behavioral pain scale beri opioid untuk mengurangi agitasi
nilai ulang sesudah 10-15 menit,sesuaikan opioid nilai ulang
sesudah 10-15 menit,beri sedatif waktu bangunnya singkat
selanjutnya nilai dengan sedation scale minimal tiap 4 jam
kecuali malam atau wake up test tiap 24 jam dan akhrirnya sesuaikan sedatif dan opioid.
Bila pasien koma nilai dengan Glasgow coma scale dan sedation scale,pertimbangkan wake up test nilai secara teratur minimal tiap 4 jam.
1.Sedation scale umpamanya Richmond Agitation Sedation
Scale(RASS)
2.Behavioal pain scale termasuk expressi wajah,upper limb
behaviour dan komplians dengan ventilasi.
3.Visual analogue scale/Numeric rating scale,tanpa nyeri
=0,nyeri tak tertahankan=10( NRS) atau 100(VAS).
4. Penyebab ketidak nyamanan pasien yaitu tempat tidur
basah,kateter urin macet,mengatur posisi pasien ,mode
ventilator tak adekuat.
5. Penyebab agitasi antara lain hipoksia,hipoglikemia,de
mam,reaksi obat umpama ketamin,drug atau alcohol
withdrawal.
6. Opioid yang paling sering digunakan adalah morpin dan
fentanyl.
7. Sedatif paling sering digunakan adalah midazolam dan
propofol.
8.Penilaian lebih penting daripada pemilihan khusus anal
getik dan sedatif.
Perlu diketahui bahwa tak ada satu obatpun yang mempu
nyai sifat ideal seperti tertera diatas namun analgetik uta
ma adalah opioid dan sedatif/hipnotik adalah benzodiaze
pine dan propofol paling biasa digunakan.(2)
Kombinasi beberapa obat tampaknya merupakan strategi
yang lebih effektif disamping dapat menurunkan dosis
masing masing obat juga mengurangi problem akumulasi
obat.(6)
Analgesia dengan opioid:(2,7,8)
Pada pasien kritis, opioids paling sering digunakan untuk
nyeri akut sedangkan untuk nyeri biasa misal karena
immobilisasi yang lama sangat effektif bila digunakan
NSAID tetapi dengan resiko tinggi dampak buruk terhadap
gastrointestinal dan renal membatasi pemakaiannya pada
kasus kritis.Paracetamol dengan daya analgesi yang lemah digunakan sebagai tambahan opioid analgesia walaupun
belum terbukti memperbaiki outcome.(7)
Tramadol sebagai alternatif opioid bila hemodinamik labil
tetapi effek samping mual/muntah sangat menonjol.(2)
Opioid disenangi karena cepat onset,mudah titrasi,kurang
akumulasi dan murah biayanya.
Tetapi problem yang ditimbulkannya antara lain depressi
nafas,hipomotilitas intestinal,mual muntah,retensi urine
toleransi dan ketergantungan obat memberatkan penyakit
dan memperpanjang masa rawatan.(2,7)
Hemodinamik sedikit dipangaruhi dalam dosis terapi dan
normovolemik namun bila hemodinamik labil berikan mulai
dengan dosis kecil ditingkatkan dengan interval waktu yang
singkat sampai nyeri terkontrol.
Pemberian opiod intravena cepat dan keadaan hipovolemia
cenderung terjadi hipotensi.
Problem nausea dan muntah pada pemberian opioid dengan
infus kontinu dapat dicegah dengan pemberian propilaktis
anti emetik,tampaknya butyrophenon dropridol 25 mcg
untuk dosis 1 mg morpin.(7)
Pasien dengan brain failure (brain injury) apakah opioid
bisa menaikkan ICP,menurunkan CPP menyebabkan iske
mia otak masih dalam perdebatan.(7)
Dalam penelitian fentanil titrasi(3,0 +-1,7 mcg/kg,n=5),
sufentanil(0,4+-0,1mcg/kg,n=5) aau morpin (0,07+-0,o3
n=5) sampai penurunan MAP maksimal 10% tak ada satu
opioid ini yang menaikkan ICP.
Sebaliknya fentanyl(3 atau 10 mcg/kg,sufentanil(0,6 atau
1 mcg/kg)dan alfentanil (100 mcg/kg menaikkan ICP dan
menurunkan CPP lebih kurang 30 mmHg.(7)
Pasien dengan trauma kepala,GCS<=8,pakai ventilator
berikan opioid sebagai analgesi dan midazolm,barbiturat
atau propofol sebagai sedasi sedangkan GCS>8,bernafas
spontan sebaiknya NSAID sebagai analgesi dan sedasi ri
ngan midazolam atau propofol.
Morpin masih sebagai opiat standard,effektif dan murah.
Mula kerjanya lambat kira kira 20 menit karena kelarutan
lemaknya rendah.Lebih dari 90% dimetabolisir hepar.
Metabolit utamanya morphine 3 glucuronide (m3G) dan
morphine 6 glucoronide(M6G).M3G mungkin inaktif dan
bahkan antianalgesi sementara M6G paling tidak 20 kali
lebih kuat dan durasinya lebih lama daripada morphine.
Pada renal failure,M6G menumpuk hal ini bisa menyebab
kan koma yang lebih lama.(2)
Pada dosis kecil sudah bisa langsung mendepressi pusat
nafas cenderung terjadi penurunan frekuensi pernafasan.
Perlu periksa analisa gas darah bila pH<7,30 dan PaCO2
>50 mmHg pertimbangkan intravena nalokson.(7)
Phenyl piperidines:(2)
Kelompok opioid meliputi petidin,fentanyl,alfentanil ,su
fentanil dan remifentanil merupakan zat sintetis ;potent
u reseptor agonist seperti morpin tetapi farmakokinetik
nya agak berbeda.
Metabolit utama petidin cenderung menyebabkan excita
si CNS ,tak cocok untuk pemakaian jangka lama pada kon
disi renal failure.Dalam dosis analgesi bisa mendepressi
ventilasi tanpa menurunkan frekuensi repirasi sehingga
sulit dideteksi lebih dini akibatnya meningkatkan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi otak.
Fentanil punya potensi 100 kali morpin oleh karena affini
tas yang tinggi terhadap receptor opioid.
Mula kerja yang cepat (2-4 menit) karena kelarutan lemak
yang sangat tinggi sehingga mudah berdiffusi kedalam
CNS.Effeknya menurun sesudah 20 menit karena redistri
busi kedalam jaringan perifer ,durasi aksinya pendek(30-
40 menit) dan punya effek sedasi ringan.(2,8)
Fentanyl dimetabolisir dihepar menjadi nor fentanyl selan
jutnya diekresi lewat urine.Sama dengan morpin zat utama
nya menumpuk dalam keadaan hepatic failure dan metabo
litnya menumpuk dalam keadaan renal failure menyebab
kan delirium toksik akut dan menurunya effek analgesik.
Penumpukan terjadi pada pemakaian lama terutama infus
kontinu dan fentanyl kadang kadang meningkatkan rigidi
tas otot,rigiditas glotis dan kejang terutama bila diberikan dengan cepat dan dosis tinggi waktu induksi anestesi, tapi bisa direverse dengan naloxon(2,8).
Pelepasan histamin lebih sedikit dibandingkan morpin.
Fentanyl meningkatkan potensi benzodiazepine terutama
effek anxiolitiknya tetapi pemberian fentanyl bersamaan
dengan benzodiazepin potensial terjadi hipotensi dan dep
ressi respirasi yang tak diduga,untuk itu penting memantau
hemodinamik dan ventilasi secara akurat.(8).
Alfentanil:(2)
Mula kerjanya hanya satu menit,effek initialnya berakhir
15 menit oleh karena redistribusinya cepat.
Hampir 99% dimetabolisir dihepar jadi metabolit inaktif.
Hepatic falure yang berat memperpanjang effeknya tetapi
bisanya merupakan obat pilihan pada renal failure.(2).
Tak ada effek kumulatif walaupun diberi infus kontinu.
Remifentanil:(2,3)
Obat yang relatif baru belum begitu luas pemakaiannya
dalam sedasi.Mula kerjanya sekitar 30 detik dan durasi
aksinya sangat singkat sekitar 2-3 menit agak mahal.
Effek samping biasa ditemui depressi nafas,apnoe,hipo
tensi,bradikardi dan rigiditas otot.
Remifentanil dapat memberikan sedasi yang singkat de
ngan suppressi respirasi dan analgesi.yang memungkin
kan cepat sadar,evaluasi dini CNS dan extubasi dini.
Karakteristik ini mungkin lebih disukai pada kasus terten
tu seperti encephalopathy.
Tramadol:(2)
Alternatif analgesia opioid terutama bila sedasi dan hemo
dinamik yang labil tak diinginkan.
Merupakan mu reseptor agonist yang menimbulkan analgesi.
Membebaskan serotonin dan menhambat pengambilan sero
tonin dan noradrenalin yang menyebabkan effek monoami
nergik dengan stimulasi CNS menaikkan tekanan darah dan
laju jantung.Sayangnya effek mual dan muntah dominan.
Diberikan intramuskular atau intravena dengan bolus inkre
mental 50 mg dengan interval 10-2o menit,sampai nyeri ber
kurang.Dosis pemeliharaan 50-100mg tiap 4-6 jam.
NSAIDs(non steroid anti inflamatory drugs):(2,3)
Berkerja dengan menghambat enzim cyclo-oxygenase yang
menurunkan sintesis prostaglandin menimbulkan effek anti
inflamasi,analgesi dan antipiretik.
Ada dua type cyclo oxygenase.Type 1 adalah enzim konstitutif dan selalu berperan dalam homeostasis ,respon vaskular dan proteksi gastrointestinal,effek samping yang serius adalah akibat effek inhibisinya.
Type 2 adalah inducible enzim dalam sel sel inflamatori dan
jika dihambat secara selektif akan menimbulkan effek anal
gesia,anti inflamasi dan antipiretik.
Reaksi buruknya minimal sayangnya semua NSAIDs yang
tersedia menghambat baik type 1 maupun type 2 cyclo
oxygenase dengan berbagai tingkatan,walaupun kualitas
terapetik cukup baik namun side effeknya berupa perda
rahan gastrintestinal,koagulopati,bronchospasm,toksisitas renal dan supressi sumsum tulang membatasi pemakaian
nya pada penderita kritis.
Tampaknya ketorolac dan tenoxicam diizinkan untuk
pemakaian intravena.
Dilaporkan bahwa NSAIDs berkerja sebagai analgetika bila
diberikan secara intrathecal dimana mekanisme kerjanya
tidak hanya menginhibisi sintesis prostaglandin tetapi juga
mempengaruhi NMDA receptor channel complex.
Sebaiknya tidak memberikan lewat jalur ini kecuali sesu
dah terbukti aman lewat penelitian.
Acetaminophen:(3)
Diindikasikan untuk pengobatan nyeri ringan atau sedang.
Bila dikombinasi dengan opioid akan memberikan effek
analgesik yang lebih besar daripada dosis oipoid yang lebih
tinggi yang diberikan sendiri.
Peranan acetaminophen pada pasien kritis hanya untuk
mengurangi nyeri ringan atau ketidak nyamanan karena
prolonged bed rest atau sebagai antipiretik.
Hati hati pemakaian yang berlebihan terutama pasien gagal
hepar atau malnutrisi dengan cadangan glutation menu
run,cenderung hepatotoksis.
Dosisnya sebaiknya tak melebihi 2g/hari untuk pasien
malnutrisi atau peminum alkohol yang kronik dan kurang
4g/hari untuk kasus yang lain.
Obat lokal anestetik: (2)
Jenis obat lokal anastetik amida seperti bupivakain dan lido
kain terutama digunakan.Lidokain dengan mula kerja yang
cepat dan durasinya 1-2 jam sementara bupivakain dengan
mula kerja sampai 30 menit dan durasinya 3-6 jam.
Toksisitas sistemik bisa terjadi dengan komplikasi neurolo
gik dan kardiovaskular jika dosis aman maksimum dilewati
2mg/kg untuk bupivakain dan 4mg/kg untuk lidokain tiap
empat jam terutama pada pasien kritis dengan disfungsi
multiorgan dimana terjadi perubahan kadar protein plas
ma dan volume distribusi.
Epidural analgesia:(2)
Bentuk analgesia paling effektif untuk meringankan nyeri
postoperatif dan trauma thorax.
Sayangnya pada beberapa pasien kritis,epidural analgesia
kontra indikasi karena sepsis dan koagulopati.
Resiko yang lain adalah infeksi medulla spinalis untuk me
nguranginya sebaiknya kateter epidural dicabut sesudah
72 jam.Melakukan regional anestesi sebaiknya pasien
sadar koperatif dan tenang untuk mengurangi resiko
kerusakan medulla spinalis.
Komplikasi lokal anestetik berbeda dari opioid.
Hipotensi postural dan kelemahan motorik adalah
bahaya utama.Untuk mengurangi effek samping ini sebaik
nya kateter epidural ditempatkan dekat level centrum area
nyeri atau penambahan opioid yang punya effek analgesia
sinergistik untuk mengurangi kebutuhan dosis anestetik
lokal.Ropivacain tampaknya kurang memblok motorik.
Epidural opioid meringankan nyeri dengan sedikit hipoten
si postural,lebih sedikit opioid dibutuhkan daripada dosis
intravena dan effeknya lebih lama karena aksi langsung
pada reseptor opioid pada kornu dorsalis medulla spina
lis.Pasien lebih waspada dan lebih mudah dimobilisasi.
Agent dengan kelarutan lemak yang lebih besar seperti dia
morpin,fentanil,alfentanil dan sufentanil kurang berdiffusi
kearah cephalad.Akan tetapi keuntungan yang diharapkan
minimalnya resiko depressi respirasi perlu dipertimbang
kan karena melemahnya respons CO2 oleh obat obat
tersebut.
Dua fase depressi respirasi yang terlihat dengan epidural
opioid.Depressi respirasi dini dalam satu jam kelihatan
akibat absorbsi sistemik.Depressi respirasi lambat terjadi
dalam 7-24 jam oleh karena penyebaran kecephalad,teru
tama opioid yang kurang lipid soluble,seperti morfin.
Sesudah stop morfin atau diamorfin epidural dianjurkan
monitor yang ketat sedangkan untuk fentanyl,alfentanil
atau sufentanil tak diperlukan monitoring lama.
Agent lokal anestetik dengan atau tanpa supplementasi
opioid dapat diberikan sebagai infus kontinu atau
inkremental baik sebagai patient controlled analgesia atau
bantuan perawat.Keuntungan utama dengan infus
kontinu adalah hemodinamik yang lebih stabil.
Larutan yang dianjurkan adalah 0,1% bupivacain dengan
2 microgram/ml fentanyl dengan kecepatan 0-10 ml/jam.
Jika perlu konsentrasi lokal anestetik dapat dinaikkan jadi
0,25% atau opioid yang berbeda dapat ditambahkan.
Banyak tehnik regional yang lain yang kadang kadang bisa
diberikan pada pasien kritis seperti intercostal block,
penempatan kateter intrapleural dan peripheral limb
blocks.
SEDASI:(2,3)
Pengurangan nyeri sangat penting namun pasien membu
tuhkan juga anxiolysis,amnesia dan hipnosis kadangkala.
Pemakaian sedasi dipertimbangkan sesudah nyeri diatasi.
Benzodiazepin:(2,3)
Sering digunakan untuk sedasi pasien kritis.
Terikat spesifik pada gamma aminobutiric acid complex
(GABA) meningkatkan inhibisi transmisi neuronal.
Hipnotik,anxiolitik,dan pelemas otot sangat menguntung
kan pasien yang memerlukan ventilasi mekanik.
Dan amnesia diperlukan oleh beberapa pasien.
Antikonvulsant diharuskan untuk terapi kejang.
Ketergantungan fisik dan psikis bisa terjadi dan penghen
tian mendadak bisa menimbulkan kegelisahan dan ganggu
an tidur alami.Seperti halnya kebanyakan sedatif benzo
diazepin dapat mendepressi kardiovaskular dan respirasi
bila diberikan dalam dosis yang berlebihan namun dalam
dosis terapi,effek depressi minimal.
Infus kontinu harus digunakan secara hati hati sebab
akumulasi obat utama atau metabolitnya bisa menyebab
kan oversedasi yang tidak terduga ini dapat dicegah
dengan evaluasi kebutuhan sedasi pasien sesering
mungkin dan secara aktif mengatur kecepatan infus
tetapi dilaporkan toleransi terhadap benzodiazepin
dalam beberapa jam/hari terapi bisa terjadi dengan me
ningkatkan dosis seperti dilaporkan pada pemakaian
midazolam.
Agitasi pernah terjadi dengan sedasi ringan diduga akibat
amnesia yang disebabkan obat atau disorientasi.
Faktor faktor spesifik pasien seperti umur,penyakit yang
bersamaan,ketergantungan alkohol dan obat lain yang di
berikan dapat mempengaruhi intensitas dan durasi aktivi
tas benzodiazepin memerlukan titrasi individual.
Pasien usia lanjut cenderung clearance benzodiazepin
dan metabolit aktifnya yang lebih lambat dan volume
distribusinya yang lebih besar menyebabkan meman
jangnya secara nyata masa eleminasi sama halnya de
ngan dysfungsi hepatik atau renal.
Induksi atau inibisi aktivitas enzim hepatik atau intes
tinal dapat merubah metabolisme oksidatif benzodia
zepin pada umumnya.
Sebaiknya jika akan menghentikan pemakaian ventilator
sesudah pemakaian jangka lama ,benzodiazepin distop se
belumnya sebab bisa menyulitkan dalam penyapihan ven
tilator.
Midazolam:(2,3)
Merupakan derivat benzodiazepin yang terpendek durasi
nya,larut dalam air dapat diberikan lewat intravena tanpa
iritasi,sangat popular dipakai di ICU.
Potensi midazolam 3-4x diazepam dan half life eliminasi
nya 1,5-3 jam ,setelah pemberian intravena ,effek sedasi
bisa dicapai dalam waktu 1-5 menit dan durasi aksinya
kurang dari 2 jam,ini membuat midazolam berguna di
ICU untuk titrasi sedasi,anxiolisis dan anterograde amne
sia pada pasien sadar,gelisah dengan hemodinamik labil.
Dosis infus 0,04-0,2 mg/kg/jam,untuk sedasi untuk agita
si 1-3mg sebagai iv bolus..
Dihidroksilasi di hepar menjadi 1 hydroxy midazolam yang
masih mempunyai 10% aktivitas midazolam dan durasinya
lebih pendek,dimana akumulasi terjadi pada gagal hepar.
Kadang kadang midazolam mencapai ceiling effect dimana
penambahan dosis belum mencapai effek klinik yang di
inginkan,1-hydroxy glucuroide akumulasi pada gagal renal
bisa menyebabkan koma.
Akumulasi dan effek sedasi yang memanjang dilaporkan
pada pasien kritis yang kegemukan ,kadar albumin rendah
atau gagal ginjal.Inhibisi terhadap metabolisme midazo
lam yang signifikan oleh propofol,diltiazem,macrolide
antibiotik dan inhibitor ccytochrome P450 isoenzim 3A4
lainnya bisa mempengaruhi durasi effek midazolam.
Penggunaan rutin antagonist benzodiazepin seperti fluma
zenil tak disarankan sesudah terapi jangka panjang benzo
diazepin karena resiko timbulnya symptom putus obat dan
meningkatnya konsumsi oksigen myocard dengan minimal
o,5mg flumazenil,tetapi dosis 0,15mg flumazenil biasanya
sedikit simptom putus obat bila diberikan pada pasien
dengan terapi infus midazolam.Namun single low dose
disarankan untuk mentest sedasi memanjang sesudah
beberapa hari pemakaian benzodiazepin.
Diazepam :(2)
Mula kerjanya lebih lama dan beberapa sediaan menyebab
kan thrombophlebitis bisa diberikan lewat vena periper ,du
rasi aksinya yang panjang dan memproduksi beberapa
metabolit aktif sebagian dengan durasi aksinya lebih
panjang.Dosis sedasi iv intermitten 0,03-0,1mg/kg.
Desmethyl diazepam ,metabolit yang kerjanya lebih
panjang mempunyai half life diatas 90 jam.
Akumulasi dengan resiko yang signifikan membuat kurang
populer pemakaiannya dibandingkan midazolam.
Lorazepam:(2,3)
Merupakan intermediate to long acting benzodiazepine
yang mempunyai sifat anxiolitik dan sedatif.
Masa eliminasi half lifenya 12-15 jam sehingga pemberian
per infus tidak bisa segera dititrasi.
Produk intermediairnya tak akumulatif dan metabolisme
nya tak memerlukan oxidatif hepatik,hanya butuh
glukuronidasi sehingga terpilih untuk pasien gagal hepar.
Lorazepam 4mg ekuivalen dengan 10 mg diazepam.
Bisa diberikan peroral,intramuskular atau intravena dan
dosis tradisional untuk pasien kritis di ICU 1-2mg/3-4 jam.
Infus lorazepam sebaiknya dipersiapkan 2mg/ml injeksi
dan diencerkan sampai 1 mg/ml atau kurang dan dicampur
dalam botol gelas walaupun demikian hati hati namun
pengendapan bisa saja terjadi sebagai alternatif memakai
lorazepam yang tak diencerkan dengan bantuan alat PCA.
Sesudah pemakaian dosis tinggi dan jangka panjang
pelarutnya(polyethilen glycol(PEG) atau propylen
glycol(PG) dapat menyebabkan reversible acute tubular
necrosis,lactic acidosis atau hyperosmolar state.
Ini bisa terjadi bila dosis lebih dari 18mg/jam berlangsung
4 minggu atau dosis lebih dari 25mg perjam dan terus
menerus selama berjam jam /hari.
Oleh karena mula kerjanya yang lambat membuat
lorazepam tak digunakan untuk terapi agitasi akut.
Dexmedetomidin:(9,10.11).
Superselective alpha2 agonist memiliki sifat anxiolytic,
sedative,analgesik dan simpatolitik .
Menghambat pelepasan nociceptive neurotransmitter
seperti substansi P,adenosine atau tryptamine lewat
aksinya dalam locus coeruleus di brainstem menstimuler
langsung @2 reseptor disubstansia glatinosa cornu poste
rior medulla spinalis dan punya effek sinergistik dengan
opioid reseptor merupakan dasar peranan analgesinya.
Aktivasi @2 reseptor di CNS juga menghambat aktivitas
simpatik gabungan keduanya menyebabkan sedasi,anxio
lisis an analgesia.Dexmedetomidin memberikan sedasi
tergantung dosis, puncak effeknya dicapai 45-60 menit
sesudah permulaan infus.Pasien mudah dibangunkan dan
kurang kemungkinan terjadi disorientasi atau tidak koope
ratif dan punya effek sinergistik yang kuat dengan sedatif
atau opioid dengan menurunkan kebutuhan propofol,mida
zolam atau opioid sampai 50-70%.
Pengaruh terhadap respirasi minimal walaupun kadar dalam plasma mencapai 8 ng/ml namun dengan dosis in
fus yang tinggi dapat menghilangkan tonus otot dengan
potensial obstruksi jalan nafas pada pasien tanpa intubasi.
Dimetabolisir hampir seluruhnya dihepar jadi metabolit
inaktif sementara metabolit diekresikan lewat urine(95%)
dan feces(4%).
Tak dianjurkan pada disfungsi hepar tetapi untuk dis
fungsi renal kemungkinan akumulasi metabolit belum
diteliti.
Effek terhadap kardiovaskular sangat predictable ,tanpa
loading dose ratarata penurunan tekanan darah sistolik
laju jantung dan curah jantung sebesar 10% dengan dosis
1 microgram/kg/jam.
Walaupun mempunyai sifat simptolisis dengan penurunan
kadar noradrenalin yang signifikan dalam plasma dan LCS
namun dextmedetomidin telah terbukti menyebabkan vaso
konstriksi arteri denervasi dan pemakaiannya pada pasien dengan microvascular free flaps dan panyakit cereb
rovaskular sebaiknya dihindarkan.
Penelitian 306 pasien pembedahan jantung yang diberi dex
medetomidin dengan dosis medium 0,49mcg/kg/jam dapat
memberikan sedasi dan analgesia yang adekuat tanpa hipo
tensi atau membutuhkan vasopressor.
Dexmedetomidin paling baik dilarutkan dalam larutan dex
trose 5% aau saline dengan kecepatan infus 0,1 mcg/kg/jam untuk semua berat badan,jika mungkin diberikan lewat jalur terpisah dan diberi tanda DoNot Bolus.
Effek samping termasuk hipotensi,hipertensi,bradikardi,
atrial fibrillasi dan AV block dan kebanyakan effek buruk
ini terjadi selama atau segera sesudah pemberian bolus.
Meniadakan atau mengurangi loading dose dapat menu
runkan effek samping.
Pemakaian dexmedetomidin lewat 24 jam dan dosis
> 1 mcg/kg/jam tidak diizinkan di Australia&NewZealand.
Staff ICU haruslah familiar dengan karakteristik sedasi dex
medetomidin terutama kondisi sedasi yang mudah diba
ngunkan dimana pasien respon segera dengan stimulus
verbal atau sentuhan ringan kembali cepat tidur semula.
Perlu diingat dexmedetomidin bukanlah sedatif yang dapat
digunakan dengan segera untuk pasien yang sangat agitatif
atau combatif tetapi propofol 30-50 mg atau midazolam
1-3 mg iv bolus ,bila perlu dosis bisa diulangi.
Semua effek dexmedetomidin dapat direverse dengan mu
dah dengan memakai @2adrenoceptor antagonist atipame
zole(A-17).
Beperapa keadaan dimana dexmedetomidin tak direkomen dasikan :
1.Hemodinamik labil dan refrakter:
a Tekanan darah sistolik dibawah 90mmHg atau MAP di
bawah 60 mmHg walaupun telah diberi vasopressor
seperti vasopressin >2 units/jam atau noradrenalin
/adrenalin >0,2mcg/kg/min atau dobutamin >10 mcg
/kg/min,
b.Laju jantung kurang dari 55x/menit,bukan karena
betablocker.
c.AV block derajat tinggi tanpa pace maker.
2.Microvascular free flap prosedur sebab @2 agonist bisa
menyebabkan vasokonstriksi langsung dan penurunan
flap blood flow.
3.Disfungsi hepar yang berat.
4.Recent acute epilepsy atau aktivitas seizure tak terkon
trol.
5.Pasien neurovaskular termasuk pasien baru interven
si aneurysma cerebral atau arteriovenous malformation
terutama pasien dalam 7 hari mengalami perdarahan
subarachnoid baik karena trauma atau pecahnya aneu
risma spontan atau yang dipertimbangkan resiko tinggi
terjadinya cerebral vasospasm.
6.Pasien hamil atau sedang menyusui karena dexmedeme
tomidin menyeberang lewat placenta.
Kepustakaan:
1.Weissman David:Relections:brain Failure Revisited;
Journal of Palliative Medicine,volume 7,No 2,2004.
2. Lerch Conny and Park R.G:Sedation and Analgesia;
British Medical Bulletin,1999;55(No 1).
3.Society of Critical Care Medicine and American Society
of Health System pharmacist:Clinical Practice Guidlines
for the Sustained Use of Sedatives and Analgesia in the
Critically Ill Adult;American Journal Health Syst.Pharm.
2002;59.
4.Dosborough JP:The Stress response to trauma and surge
ry;British Journal Anesthesia ,2000 ,vol.85.issue I.
5.Bremmer Douglas J:Traumatic stress:effects on the brain;
Dialogues in clinical neuroscience,2006,December;
6.Kress P John,Pohlman S Anne,Hall B Jesse:Sedation and
Analgesia in the Intensive Care Unit;American Journal
of RTespiratory and Critical Care Medicine ,October 15,
2002,vol.166 no.8
7Walder Bernhard,Tramer R Martin:Analgesia and sedation
in critically ill patients;Swiss Med.WKLY,2004.
8.Crippen David:Life threatening brain failure and agitation
in the intensive care unit;Critical Care 2000,4.
9.Shehabi Yahya,Botha A John et all:Clinical application ,
the use of dexmedetomidine in intensive care sedation;
Critical Care & Shock (2010).13.
10.Gertier Ralph,Brown Cleighton H et all:Dexmedetomi
dine:a novel sedative-analgesic agent;Baylor University
Medical Center ,2001,january;14(1).
11.Pradeep Bhatia:Dexmedetomidine :A new agent in Anes
thesia &Critical Care,2002,April,
Pemakaian berbagai jenis obat pada pasien kritis cenderung menimbulkan interaksi obat yang tak diharapkan.
Kebanyakan obat diberi intravenous dan punya index terapi yang sempit.
Obat juga berpengaruh pada organ failure dimana farmakodinamik dan
farmakokinetik obat diubah oleh penyakit yang mendasarinya.
Hemodialisis,ventilasi mekanik dan plasmaparesis turut mempengaruhi
sifat obat itu sendiri kesemuanya menyulitkan penggunaan obat termasuk analgetik dan sedatif.
Akibatnya respons klinik pasien sering tak bisa diprediksi bersamaan
perbedaan masing masing individu pasien dan variabelitas pasien yang
sama bisa berubah selama perjalanan penyakitnya.
Brain failure selalu merupakan bagian dari MOF(multi organ failure) memerlukan pertimbangan khusus dalam pemberian obat sedatif maupun analgetik.
Kita ketahui bahwa stress faktor baik infeksi(sepsis) mau
pun non infeksi(trauma tissue yang luas,iskemia/hipoksia)
akan mencetuskan SIRS(systemic inflamatory response syndrome).Pelepasan mediator sistemik mempengaruhi pe
rubahan hemodinamik(vasodilatasi,depressi myokardium,
redistribusi aliran darah),perubahan mikrovaskular(keru
sakan endothel,mikroemboli,AV shunting).
Akibatnya menurunkan distribusi oksigen menimbulkan
hipoksia sellular yang berujung dengan multiorgan dys
function syndrome.
Termasuk didalamnya kegagalan renal(renal failure) (menurunnya clearance obat atau metabolit aktif/inaktif)
Gagal hepar(liver failure) dimana menurunnya hepatic
clearance terjadi akumulasi obat yang dimetabolisir oleh hepar dan meningkatnya fraksi obat bebas.
Sistem cardiovaskular(redistribusi cardiac output kejantung
dan otak terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam otak
dan jantung,tetapi penurunan konsentrasi obat dalam
plasma karena meningkatnya air tubuh akibat permeabilitas
kapiler yang meningkat .
Brain encephalopathy(brain failure) karena uremic,hepatic ,
hipoxic dimana sensitivitas reseptor sedatif dan analgesik meningkat.
Untuk kasus liver failure sebaiknya frekuensi pemakaian
obat dan kecepatan infus dikurangi dan dititrasi teliti.
Obat yang mengalami metabolisme extrahepatik lebih ter
pilih seperti propofol dan remifentanil .
Bila disertai renal failure obat obat yang ditransformasi men
jadi metabolit aktif seperti morfin,petidin,diazepam hanya
digunakan dengan hati hati.lebih disukai obat yang kerjanya
singkat dimetabolisir jadi metabolit inaktif dan non toksis.
Tampaknya propofol dan fentanyl dan remifentanil terpilih sebagai sedasi maupun analgesia yang aman.
Pada brain failure seharusny dosis obat dikurangi dan ditit
rasi dengan teliti karena kepekaan reseptor sedatif dan analgesik meningkat.
Pemberian peroral sebaiknya dihindarkan karena telah ter
jadi kerusakan intergrasi intestinal sehingga tak bisa dipre
diksi effektifitasnya.
Pemberian secara intravena lebih disukai disamping mula
kerja singkat juga paling mungkin diprediksi,mudah diberi
kan di ICU bisa injeksi bolus,kontinu infusion,nurse cont
rolled analgesia dan patient controlled analgesia kalau pasien kooperatif.
STRATEGI TERAPI ANALGESIA/SEDASI_
Sasaran adalah mencapai sedasi/analgesia yang ideal
Pasien nyaman dan nyeri terkontrol
Tidur pasien normal
Meredam respons autonomik
Mempermudah terapi dan perawatan pasien
Mencegah agitasi dengan segala resikonya
Menurunkan konsumsi oksigen
Sinkron ventilator dengan pernafasan pasien.
Dengan menggunakan sedatif/analgetik yang ideal:
Cepat onset dan recovery
Kurang/tidak ada akumulasi
Mudah dititrasi mencapai level yang dikehendaki.
Stabil hemodinamik
Minimal depressi pernafasan
Menurunkan CMRO2 dan mempertahankan penyediaan
oksigen keotak.
Menurunkan ICP tanpa menurunkan CPP
Mempertahankan autoregulasi otak dan reaktivitas cereb
rovascular terhadap CO2.
Mempunyai effek amnesia,anxiolisis,hipnosis dan analgesia.
Tak menutup penilaian status dan komplikasi neurologi.
Tak ada toleransi atau withdrawal
Mudah komunikasi dengan pasien
Biaya tak terlalu mahal.
Namun beberapa keadaan diperlukan sedasi yang dalam dan terapi paralisis seperti:(2)
Tekanan intrakranial meninggi:
-untuk menurunkan CMRo2
-mencegah batuk dan mengejan
-menurunkan ICP
Komplians paru yang jelek untuk mentolerir ventilasi buatan.
Krisis oksigenasi:untuk menurunkan konsumsi oksigen
dan kesulitan sinkronisasi dengan ventilator.
Tetanus atau kejang kejang non stop walau telah diberi dosis besar antikonvulsant.
Hyperpireksia untuk mengurangi hiperventilasi dan pembentukan panas lebih lanjut.
Pola menentukan sedasi dan analgesia yang rasional:(7)
Kemungkinan pasien kritis ,komunikatif/non komunikatif:
Bila komunikatif:dengan nyeri ,nilai dengan VAS/NRS.
Selanjutnya beri opioid target VAS<30/NRS<3.
Kemudian nilai kembali sesudah 10-15 menit sesuaikan opioid .Ulangi penilaian sesudah 10-15 menit bila VAS tetap<30/NRS<3 lalu nilai kembali VAS/NRS minimal tiap
4 jam kecuali malam.
Bila tanpa nyeri maka singkirkan semua penyebab tidak
nyaman, nilai dengan sedation scale beri sedatif yang waktu bangunnya singkat ,lalu nilai kembali dengan skala sedasi
minimal tiap 4 jam kecuali malam atau wake up test tiap
24 jam sesuaikan sedative dan opioid
Bila non komunikatif dan agitasi maka nilai dengan sedation
scale singkirkan semua penyebab agitasi beri opioid untuk
mengurangi agitasi kemudian nilai kembali sesudah 10 sam
pai 15 menit sesuaikan opioid ,nilai kembali sesudah 10-15
menit beri sedatif waktu bangun singkat,lalu nilai kembali dengan sedation scale minimal tiap 4 jam kecuali malam atau wake up test tiap 24 jam selanjutnya sesuaikan sedatif dan opioid.
Bila non komunikatif dengan nyeri behaviour nilai dengan
behavioral pain scale beri opioid untuk mengurangi agitasi
nilai ulang sesudah 10-15 menit,sesuaikan opioid nilai ulang
sesudah 10-15 menit,beri sedatif waktu bangunnya singkat
selanjutnya nilai dengan sedation scale minimal tiap 4 jam
kecuali malam atau wake up test tiap 24 jam dan akhrirnya sesuaikan sedatif dan opioid.
Bila pasien koma nilai dengan Glasgow coma scale dan sedation scale,pertimbangkan wake up test nilai secara teratur minimal tiap 4 jam.
1.Sedation scale umpamanya Richmond Agitation Sedation
Scale(RASS)
2.Behavioal pain scale termasuk expressi wajah,upper limb
behaviour dan komplians dengan ventilasi.
3.Visual analogue scale/Numeric rating scale,tanpa nyeri
=0,nyeri tak tertahankan=10( NRS) atau 100(VAS).
4. Penyebab ketidak nyamanan pasien yaitu tempat tidur
basah,kateter urin macet,mengatur posisi pasien ,mode
ventilator tak adekuat.
5. Penyebab agitasi antara lain hipoksia,hipoglikemia,de
mam,reaksi obat umpama ketamin,drug atau alcohol
withdrawal.
6. Opioid yang paling sering digunakan adalah morpin dan
fentanyl.
7. Sedatif paling sering digunakan adalah midazolam dan
propofol.
8.Penilaian lebih penting daripada pemilihan khusus anal
getik dan sedatif.
Perlu diketahui bahwa tak ada satu obatpun yang mempu
nyai sifat ideal seperti tertera diatas namun analgetik uta
ma adalah opioid dan sedatif/hipnotik adalah benzodiaze
pine dan propofol paling biasa digunakan.(2)
Kombinasi beberapa obat tampaknya merupakan strategi
yang lebih effektif disamping dapat menurunkan dosis
masing masing obat juga mengurangi problem akumulasi
obat.(6)
Analgesia dengan opioid:(2,7,8)
Pada pasien kritis, opioids paling sering digunakan untuk
nyeri akut sedangkan untuk nyeri biasa misal karena
immobilisasi yang lama sangat effektif bila digunakan
NSAID tetapi dengan resiko tinggi dampak buruk terhadap
gastrointestinal dan renal membatasi pemakaiannya pada
kasus kritis.Paracetamol dengan daya analgesi yang lemah digunakan sebagai tambahan opioid analgesia walaupun
belum terbukti memperbaiki outcome.(7)
Tramadol sebagai alternatif opioid bila hemodinamik labil
tetapi effek samping mual/muntah sangat menonjol.(2)
Opioid disenangi karena cepat onset,mudah titrasi,kurang
akumulasi dan murah biayanya.
Tetapi problem yang ditimbulkannya antara lain depressi
nafas,hipomotilitas intestinal,mual muntah,retensi urine
toleransi dan ketergantungan obat memberatkan penyakit
dan memperpanjang masa rawatan.(2,7)
Hemodinamik sedikit dipangaruhi dalam dosis terapi dan
normovolemik namun bila hemodinamik labil berikan mulai
dengan dosis kecil ditingkatkan dengan interval waktu yang
singkat sampai nyeri terkontrol.
Pemberian opiod intravena cepat dan keadaan hipovolemia
cenderung terjadi hipotensi.
Problem nausea dan muntah pada pemberian opioid dengan
infus kontinu dapat dicegah dengan pemberian propilaktis
anti emetik,tampaknya butyrophenon dropridol 25 mcg
untuk dosis 1 mg morpin.(7)
Pasien dengan brain failure (brain injury) apakah opioid
bisa menaikkan ICP,menurunkan CPP menyebabkan iske
mia otak masih dalam perdebatan.(7)
Dalam penelitian fentanil titrasi(3,0 +-1,7 mcg/kg,n=5),
sufentanil(0,4+-0,1mcg/kg,n=5) aau morpin (0,07+-0,o3
n=5) sampai penurunan MAP maksimal 10% tak ada satu
opioid ini yang menaikkan ICP.
Sebaliknya fentanyl(3 atau 10 mcg/kg,sufentanil(0,6 atau
1 mcg/kg)dan alfentanil (100 mcg/kg menaikkan ICP dan
menurunkan CPP lebih kurang 30 mmHg.(7)
Pasien dengan trauma kepala,GCS<=8,pakai ventilator
berikan opioid sebagai analgesi dan midazolm,barbiturat
atau propofol sebagai sedasi sedangkan GCS>8,bernafas
spontan sebaiknya NSAID sebagai analgesi dan sedasi ri
ngan midazolam atau propofol.
Morpin masih sebagai opiat standard,effektif dan murah.
Mula kerjanya lambat kira kira 20 menit karena kelarutan
lemaknya rendah.Lebih dari 90% dimetabolisir hepar.
Metabolit utamanya morphine 3 glucuronide (m3G) dan
morphine 6 glucoronide(M6G).M3G mungkin inaktif dan
bahkan antianalgesi sementara M6G paling tidak 20 kali
lebih kuat dan durasinya lebih lama daripada morphine.
Pada renal failure,M6G menumpuk hal ini bisa menyebab
kan koma yang lebih lama.(2)
Pada dosis kecil sudah bisa langsung mendepressi pusat
nafas cenderung terjadi penurunan frekuensi pernafasan.
Perlu periksa analisa gas darah bila pH<7,30 dan PaCO2
>50 mmHg pertimbangkan intravena nalokson.(7)
Phenyl piperidines:(2)
Kelompok opioid meliputi petidin,fentanyl,alfentanil ,su
fentanil dan remifentanil merupakan zat sintetis ;potent
u reseptor agonist seperti morpin tetapi farmakokinetik
nya agak berbeda.
Metabolit utama petidin cenderung menyebabkan excita
si CNS ,tak cocok untuk pemakaian jangka lama pada kon
disi renal failure.Dalam dosis analgesi bisa mendepressi
ventilasi tanpa menurunkan frekuensi repirasi sehingga
sulit dideteksi lebih dini akibatnya meningkatkan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi otak.
Fentanil punya potensi 100 kali morpin oleh karena affini
tas yang tinggi terhadap receptor opioid.
Mula kerja yang cepat (2-4 menit) karena kelarutan lemak
yang sangat tinggi sehingga mudah berdiffusi kedalam
CNS.Effeknya menurun sesudah 20 menit karena redistri
busi kedalam jaringan perifer ,durasi aksinya pendek(30-
40 menit) dan punya effek sedasi ringan.(2,8)
Fentanyl dimetabolisir dihepar menjadi nor fentanyl selan
jutnya diekresi lewat urine.Sama dengan morpin zat utama
nya menumpuk dalam keadaan hepatic failure dan metabo
litnya menumpuk dalam keadaan renal failure menyebab
kan delirium toksik akut dan menurunya effek analgesik.
Penumpukan terjadi pada pemakaian lama terutama infus
kontinu dan fentanyl kadang kadang meningkatkan rigidi
tas otot,rigiditas glotis dan kejang terutama bila diberikan dengan cepat dan dosis tinggi waktu induksi anestesi, tapi bisa direverse dengan naloxon(2,8).
Pelepasan histamin lebih sedikit dibandingkan morpin.
Fentanyl meningkatkan potensi benzodiazepine terutama
effek anxiolitiknya tetapi pemberian fentanyl bersamaan
dengan benzodiazepin potensial terjadi hipotensi dan dep
ressi respirasi yang tak diduga,untuk itu penting memantau
hemodinamik dan ventilasi secara akurat.(8).
Alfentanil:(2)
Mula kerjanya hanya satu menit,effek initialnya berakhir
15 menit oleh karena redistribusinya cepat.
Hampir 99% dimetabolisir dihepar jadi metabolit inaktif.
Hepatic falure yang berat memperpanjang effeknya tetapi
bisanya merupakan obat pilihan pada renal failure.(2).
Tak ada effek kumulatif walaupun diberi infus kontinu.
Remifentanil:(2,3)
Obat yang relatif baru belum begitu luas pemakaiannya
dalam sedasi.Mula kerjanya sekitar 30 detik dan durasi
aksinya sangat singkat sekitar 2-3 menit agak mahal.
Effek samping biasa ditemui depressi nafas,apnoe,hipo
tensi,bradikardi dan rigiditas otot.
Remifentanil dapat memberikan sedasi yang singkat de
ngan suppressi respirasi dan analgesi.yang memungkin
kan cepat sadar,evaluasi dini CNS dan extubasi dini.
Karakteristik ini mungkin lebih disukai pada kasus terten
tu seperti encephalopathy.
Tramadol:(2)
Alternatif analgesia opioid terutama bila sedasi dan hemo
dinamik yang labil tak diinginkan.
Merupakan mu reseptor agonist yang menimbulkan analgesi.
Membebaskan serotonin dan menhambat pengambilan sero
tonin dan noradrenalin yang menyebabkan effek monoami
nergik dengan stimulasi CNS menaikkan tekanan darah dan
laju jantung.Sayangnya effek mual dan muntah dominan.
Diberikan intramuskular atau intravena dengan bolus inkre
mental 50 mg dengan interval 10-2o menit,sampai nyeri ber
kurang.Dosis pemeliharaan 50-100mg tiap 4-6 jam.
NSAIDs(non steroid anti inflamatory drugs):(2,3)
Berkerja dengan menghambat enzim cyclo-oxygenase yang
menurunkan sintesis prostaglandin menimbulkan effek anti
inflamasi,analgesi dan antipiretik.
Ada dua type cyclo oxygenase.Type 1 adalah enzim konstitutif dan selalu berperan dalam homeostasis ,respon vaskular dan proteksi gastrointestinal,effek samping yang serius adalah akibat effek inhibisinya.
Type 2 adalah inducible enzim dalam sel sel inflamatori dan
jika dihambat secara selektif akan menimbulkan effek anal
gesia,anti inflamasi dan antipiretik.
Reaksi buruknya minimal sayangnya semua NSAIDs yang
tersedia menghambat baik type 1 maupun type 2 cyclo
oxygenase dengan berbagai tingkatan,walaupun kualitas
terapetik cukup baik namun side effeknya berupa perda
rahan gastrintestinal,koagulopati,bronchospasm,toksisitas renal dan supressi sumsum tulang membatasi pemakaian
nya pada penderita kritis.
Tampaknya ketorolac dan tenoxicam diizinkan untuk
pemakaian intravena.
Dilaporkan bahwa NSAIDs berkerja sebagai analgetika bila
diberikan secara intrathecal dimana mekanisme kerjanya
tidak hanya menginhibisi sintesis prostaglandin tetapi juga
mempengaruhi NMDA receptor channel complex.
Sebaiknya tidak memberikan lewat jalur ini kecuali sesu
dah terbukti aman lewat penelitian.
Acetaminophen:(3)
Diindikasikan untuk pengobatan nyeri ringan atau sedang.
Bila dikombinasi dengan opioid akan memberikan effek
analgesik yang lebih besar daripada dosis oipoid yang lebih
tinggi yang diberikan sendiri.
Peranan acetaminophen pada pasien kritis hanya untuk
mengurangi nyeri ringan atau ketidak nyamanan karena
prolonged bed rest atau sebagai antipiretik.
Hati hati pemakaian yang berlebihan terutama pasien gagal
hepar atau malnutrisi dengan cadangan glutation menu
run,cenderung hepatotoksis.
Dosisnya sebaiknya tak melebihi 2g/hari untuk pasien
malnutrisi atau peminum alkohol yang kronik dan kurang
4g/hari untuk kasus yang lain.
Obat lokal anestetik: (2)
Jenis obat lokal anastetik amida seperti bupivakain dan lido
kain terutama digunakan.Lidokain dengan mula kerja yang
cepat dan durasinya 1-2 jam sementara bupivakain dengan
mula kerja sampai 30 menit dan durasinya 3-6 jam.
Toksisitas sistemik bisa terjadi dengan komplikasi neurolo
gik dan kardiovaskular jika dosis aman maksimum dilewati
2mg/kg untuk bupivakain dan 4mg/kg untuk lidokain tiap
empat jam terutama pada pasien kritis dengan disfungsi
multiorgan dimana terjadi perubahan kadar protein plas
ma dan volume distribusi.
Epidural analgesia:(2)
Bentuk analgesia paling effektif untuk meringankan nyeri
postoperatif dan trauma thorax.
Sayangnya pada beberapa pasien kritis,epidural analgesia
kontra indikasi karena sepsis dan koagulopati.
Resiko yang lain adalah infeksi medulla spinalis untuk me
nguranginya sebaiknya kateter epidural dicabut sesudah
72 jam.Melakukan regional anestesi sebaiknya pasien
sadar koperatif dan tenang untuk mengurangi resiko
kerusakan medulla spinalis.
Komplikasi lokal anestetik berbeda dari opioid.
Hipotensi postural dan kelemahan motorik adalah
bahaya utama.Untuk mengurangi effek samping ini sebaik
nya kateter epidural ditempatkan dekat level centrum area
nyeri atau penambahan opioid yang punya effek analgesia
sinergistik untuk mengurangi kebutuhan dosis anestetik
lokal.Ropivacain tampaknya kurang memblok motorik.
Epidural opioid meringankan nyeri dengan sedikit hipoten
si postural,lebih sedikit opioid dibutuhkan daripada dosis
intravena dan effeknya lebih lama karena aksi langsung
pada reseptor opioid pada kornu dorsalis medulla spina
lis.Pasien lebih waspada dan lebih mudah dimobilisasi.
Agent dengan kelarutan lemak yang lebih besar seperti dia
morpin,fentanil,alfentanil dan sufentanil kurang berdiffusi
kearah cephalad.Akan tetapi keuntungan yang diharapkan
minimalnya resiko depressi respirasi perlu dipertimbang
kan karena melemahnya respons CO2 oleh obat obat
tersebut.
Dua fase depressi respirasi yang terlihat dengan epidural
opioid.Depressi respirasi dini dalam satu jam kelihatan
akibat absorbsi sistemik.Depressi respirasi lambat terjadi
dalam 7-24 jam oleh karena penyebaran kecephalad,teru
tama opioid yang kurang lipid soluble,seperti morfin.
Sesudah stop morfin atau diamorfin epidural dianjurkan
monitor yang ketat sedangkan untuk fentanyl,alfentanil
atau sufentanil tak diperlukan monitoring lama.
Agent lokal anestetik dengan atau tanpa supplementasi
opioid dapat diberikan sebagai infus kontinu atau
inkremental baik sebagai patient controlled analgesia atau
bantuan perawat.Keuntungan utama dengan infus
kontinu adalah hemodinamik yang lebih stabil.
Larutan yang dianjurkan adalah 0,1% bupivacain dengan
2 microgram/ml fentanyl dengan kecepatan 0-10 ml/jam.
Jika perlu konsentrasi lokal anestetik dapat dinaikkan jadi
0,25% atau opioid yang berbeda dapat ditambahkan.
Banyak tehnik regional yang lain yang kadang kadang bisa
diberikan pada pasien kritis seperti intercostal block,
penempatan kateter intrapleural dan peripheral limb
blocks.
SEDASI:(2,3)
Pengurangan nyeri sangat penting namun pasien membu
tuhkan juga anxiolysis,amnesia dan hipnosis kadangkala.
Pemakaian sedasi dipertimbangkan sesudah nyeri diatasi.
Benzodiazepin:(2,3)
Sering digunakan untuk sedasi pasien kritis.
Terikat spesifik pada gamma aminobutiric acid complex
(GABA) meningkatkan inhibisi transmisi neuronal.
Hipnotik,anxiolitik,dan pelemas otot sangat menguntung
kan pasien yang memerlukan ventilasi mekanik.
Dan amnesia diperlukan oleh beberapa pasien.
Antikonvulsant diharuskan untuk terapi kejang.
Ketergantungan fisik dan psikis bisa terjadi dan penghen
tian mendadak bisa menimbulkan kegelisahan dan ganggu
an tidur alami.Seperti halnya kebanyakan sedatif benzo
diazepin dapat mendepressi kardiovaskular dan respirasi
bila diberikan dalam dosis yang berlebihan namun dalam
dosis terapi,effek depressi minimal.
Infus kontinu harus digunakan secara hati hati sebab
akumulasi obat utama atau metabolitnya bisa menyebab
kan oversedasi yang tidak terduga ini dapat dicegah
dengan evaluasi kebutuhan sedasi pasien sesering
mungkin dan secara aktif mengatur kecepatan infus
tetapi dilaporkan toleransi terhadap benzodiazepin
dalam beberapa jam/hari terapi bisa terjadi dengan me
ningkatkan dosis seperti dilaporkan pada pemakaian
midazolam.
Agitasi pernah terjadi dengan sedasi ringan diduga akibat
amnesia yang disebabkan obat atau disorientasi.
Faktor faktor spesifik pasien seperti umur,penyakit yang
bersamaan,ketergantungan alkohol dan obat lain yang di
berikan dapat mempengaruhi intensitas dan durasi aktivi
tas benzodiazepin memerlukan titrasi individual.
Pasien usia lanjut cenderung clearance benzodiazepin
dan metabolit aktifnya yang lebih lambat dan volume
distribusinya yang lebih besar menyebabkan meman
jangnya secara nyata masa eleminasi sama halnya de
ngan dysfungsi hepatik atau renal.
Induksi atau inibisi aktivitas enzim hepatik atau intes
tinal dapat merubah metabolisme oksidatif benzodia
zepin pada umumnya.
Sebaiknya jika akan menghentikan pemakaian ventilator
sesudah pemakaian jangka lama ,benzodiazepin distop se
belumnya sebab bisa menyulitkan dalam penyapihan ven
tilator.
Midazolam:(2,3)
Merupakan derivat benzodiazepin yang terpendek durasi
nya,larut dalam air dapat diberikan lewat intravena tanpa
iritasi,sangat popular dipakai di ICU.
Potensi midazolam 3-4x diazepam dan half life eliminasi
nya 1,5-3 jam ,setelah pemberian intravena ,effek sedasi
bisa dicapai dalam waktu 1-5 menit dan durasi aksinya
kurang dari 2 jam,ini membuat midazolam berguna di
ICU untuk titrasi sedasi,anxiolisis dan anterograde amne
sia pada pasien sadar,gelisah dengan hemodinamik labil.
Dosis infus 0,04-0,2 mg/kg/jam,untuk sedasi untuk agita
si 1-3mg sebagai iv bolus..
Dihidroksilasi di hepar menjadi 1 hydroxy midazolam yang
masih mempunyai 10% aktivitas midazolam dan durasinya
lebih pendek,dimana akumulasi terjadi pada gagal hepar.
Kadang kadang midazolam mencapai ceiling effect dimana
penambahan dosis belum mencapai effek klinik yang di
inginkan,1-hydroxy glucuroide akumulasi pada gagal renal
bisa menyebabkan koma.
Akumulasi dan effek sedasi yang memanjang dilaporkan
pada pasien kritis yang kegemukan ,kadar albumin rendah
atau gagal ginjal.Inhibisi terhadap metabolisme midazo
lam yang signifikan oleh propofol,diltiazem,macrolide
antibiotik dan inhibitor ccytochrome P450 isoenzim 3A4
lainnya bisa mempengaruhi durasi effek midazolam.
Penggunaan rutin antagonist benzodiazepin seperti fluma
zenil tak disarankan sesudah terapi jangka panjang benzo
diazepin karena resiko timbulnya symptom putus obat dan
meningkatnya konsumsi oksigen myocard dengan minimal
o,5mg flumazenil,tetapi dosis 0,15mg flumazenil biasanya
sedikit simptom putus obat bila diberikan pada pasien
dengan terapi infus midazolam.Namun single low dose
disarankan untuk mentest sedasi memanjang sesudah
beberapa hari pemakaian benzodiazepin.
Diazepam :(2)
Mula kerjanya lebih lama dan beberapa sediaan menyebab
kan thrombophlebitis bisa diberikan lewat vena periper ,du
rasi aksinya yang panjang dan memproduksi beberapa
metabolit aktif sebagian dengan durasi aksinya lebih
panjang.Dosis sedasi iv intermitten 0,03-0,1mg/kg.
Desmethyl diazepam ,metabolit yang kerjanya lebih
panjang mempunyai half life diatas 90 jam.
Akumulasi dengan resiko yang signifikan membuat kurang
populer pemakaiannya dibandingkan midazolam.
Lorazepam:(2,3)
Merupakan intermediate to long acting benzodiazepine
yang mempunyai sifat anxiolitik dan sedatif.
Masa eliminasi half lifenya 12-15 jam sehingga pemberian
per infus tidak bisa segera dititrasi.
Produk intermediairnya tak akumulatif dan metabolisme
nya tak memerlukan oxidatif hepatik,hanya butuh
glukuronidasi sehingga terpilih untuk pasien gagal hepar.
Lorazepam 4mg ekuivalen dengan 10 mg diazepam.
Bisa diberikan peroral,intramuskular atau intravena dan
dosis tradisional untuk pasien kritis di ICU 1-2mg/3-4 jam.
Infus lorazepam sebaiknya dipersiapkan 2mg/ml injeksi
dan diencerkan sampai 1 mg/ml atau kurang dan dicampur
dalam botol gelas walaupun demikian hati hati namun
pengendapan bisa saja terjadi sebagai alternatif memakai
lorazepam yang tak diencerkan dengan bantuan alat PCA.
Sesudah pemakaian dosis tinggi dan jangka panjang
pelarutnya(polyethilen glycol(PEG) atau propylen
glycol(PG) dapat menyebabkan reversible acute tubular
necrosis,lactic acidosis atau hyperosmolar state.
Ini bisa terjadi bila dosis lebih dari 18mg/jam berlangsung
4 minggu atau dosis lebih dari 25mg perjam dan terus
menerus selama berjam jam /hari.
Oleh karena mula kerjanya yang lambat membuat
lorazepam tak digunakan untuk terapi agitasi akut.
Dexmedetomidin:(9,10.11).
Superselective alpha2 agonist memiliki sifat anxiolytic,
sedative,analgesik dan simpatolitik .
Menghambat pelepasan nociceptive neurotransmitter
seperti substansi P,adenosine atau tryptamine lewat
aksinya dalam locus coeruleus di brainstem menstimuler
langsung @2 reseptor disubstansia glatinosa cornu poste
rior medulla spinalis dan punya effek sinergistik dengan
opioid reseptor merupakan dasar peranan analgesinya.
Aktivasi @2 reseptor di CNS juga menghambat aktivitas
simpatik gabungan keduanya menyebabkan sedasi,anxio
lisis an analgesia.Dexmedetomidin memberikan sedasi
tergantung dosis, puncak effeknya dicapai 45-60 menit
sesudah permulaan infus.Pasien mudah dibangunkan dan
kurang kemungkinan terjadi disorientasi atau tidak koope
ratif dan punya effek sinergistik yang kuat dengan sedatif
atau opioid dengan menurunkan kebutuhan propofol,mida
zolam atau opioid sampai 50-70%.
Pengaruh terhadap respirasi minimal walaupun kadar dalam plasma mencapai 8 ng/ml namun dengan dosis in
fus yang tinggi dapat menghilangkan tonus otot dengan
potensial obstruksi jalan nafas pada pasien tanpa intubasi.
Dimetabolisir hampir seluruhnya dihepar jadi metabolit
inaktif sementara metabolit diekresikan lewat urine(95%)
dan feces(4%).
Tak dianjurkan pada disfungsi hepar tetapi untuk dis
fungsi renal kemungkinan akumulasi metabolit belum
diteliti.
Effek terhadap kardiovaskular sangat predictable ,tanpa
loading dose ratarata penurunan tekanan darah sistolik
laju jantung dan curah jantung sebesar 10% dengan dosis
1 microgram/kg/jam.
Walaupun mempunyai sifat simptolisis dengan penurunan
kadar noradrenalin yang signifikan dalam plasma dan LCS
namun dextmedetomidin telah terbukti menyebabkan vaso
konstriksi arteri denervasi dan pemakaiannya pada pasien dengan microvascular free flaps dan panyakit cereb
rovaskular sebaiknya dihindarkan.
Penelitian 306 pasien pembedahan jantung yang diberi dex
medetomidin dengan dosis medium 0,49mcg/kg/jam dapat
memberikan sedasi dan analgesia yang adekuat tanpa hipo
tensi atau membutuhkan vasopressor.
Dexmedetomidin paling baik dilarutkan dalam larutan dex
trose 5% aau saline dengan kecepatan infus 0,1 mcg/kg/jam untuk semua berat badan,jika mungkin diberikan lewat jalur terpisah dan diberi tanda DoNot Bolus.
Effek samping termasuk hipotensi,hipertensi,bradikardi,
atrial fibrillasi dan AV block dan kebanyakan effek buruk
ini terjadi selama atau segera sesudah pemberian bolus.
Meniadakan atau mengurangi loading dose dapat menu
runkan effek samping.
Pemakaian dexmedetomidin lewat 24 jam dan dosis
> 1 mcg/kg/jam tidak diizinkan di Australia&NewZealand.
Staff ICU haruslah familiar dengan karakteristik sedasi dex
medetomidin terutama kondisi sedasi yang mudah diba
ngunkan dimana pasien respon segera dengan stimulus
verbal atau sentuhan ringan kembali cepat tidur semula.
Perlu diingat dexmedetomidin bukanlah sedatif yang dapat
digunakan dengan segera untuk pasien yang sangat agitatif
atau combatif tetapi propofol 30-50 mg atau midazolam
1-3 mg iv bolus ,bila perlu dosis bisa diulangi.
Semua effek dexmedetomidin dapat direverse dengan mu
dah dengan memakai @2adrenoceptor antagonist atipame
zole(A-17).
Beperapa keadaan dimana dexmedetomidin tak direkomen dasikan :
1.Hemodinamik labil dan refrakter:
a Tekanan darah sistolik dibawah 90mmHg atau MAP di
bawah 60 mmHg walaupun telah diberi vasopressor
seperti vasopressin >2 units/jam atau noradrenalin
/adrenalin >0,2mcg/kg/min atau dobutamin >10 mcg
/kg/min,
b.Laju jantung kurang dari 55x/menit,bukan karena
betablocker.
c.AV block derajat tinggi tanpa pace maker.
2.Microvascular free flap prosedur sebab @2 agonist bisa
menyebabkan vasokonstriksi langsung dan penurunan
flap blood flow.
3.Disfungsi hepar yang berat.
4.Recent acute epilepsy atau aktivitas seizure tak terkon
trol.
5.Pasien neurovaskular termasuk pasien baru interven
si aneurysma cerebral atau arteriovenous malformation
terutama pasien dalam 7 hari mengalami perdarahan
subarachnoid baik karena trauma atau pecahnya aneu
risma spontan atau yang dipertimbangkan resiko tinggi
terjadinya cerebral vasospasm.
6.Pasien hamil atau sedang menyusui karena dexmedeme
tomidin menyeberang lewat placenta.
Kepustakaan:
1.Weissman David:Relections:brain Failure Revisited;
Journal of Palliative Medicine,volume 7,No 2,2004.
2. Lerch Conny and Park R.G:Sedation and Analgesia;
British Medical Bulletin,1999;55(No 1).
3.Society of Critical Care Medicine and American Society
of Health System pharmacist:Clinical Practice Guidlines
for the Sustained Use of Sedatives and Analgesia in the
Critically Ill Adult;American Journal Health Syst.Pharm.
2002;59.
4.Dosborough JP:The Stress response to trauma and surge
ry;British Journal Anesthesia ,2000 ,vol.85.issue I.
5.Bremmer Douglas J:Traumatic stress:effects on the brain;
Dialogues in clinical neuroscience,2006,December;
6.Kress P John,Pohlman S Anne,Hall B Jesse:Sedation and
Analgesia in the Intensive Care Unit;American Journal
of RTespiratory and Critical Care Medicine ,October 15,
2002,vol.166 no.8
7Walder Bernhard,Tramer R Martin:Analgesia and sedation
in critically ill patients;Swiss Med.WKLY,2004.
8.Crippen David:Life threatening brain failure and agitation
in the intensive care unit;Critical Care 2000,4.
9.Shehabi Yahya,Botha A John et all:Clinical application ,
the use of dexmedetomidine in intensive care sedation;
Critical Care & Shock (2010).13.
10.Gertier Ralph,Brown Cleighton H et all:Dexmedetomi
dine:a novel sedative-analgesic agent;Baylor University
Medical Center ,2001,january;14(1).
11.Pradeep Bhatia:Dexmedetomidine :A new agent in Anes
thesia &Critical Care,2002,April,