Tuesday, July 31, 2012

Sedasi Analgesia Pada Pasien Gagal Otak (BAGIAN 2)

Bookmark and Share

FARMAKODINAMIK DAN FARMAKOKINETIK PADA PASIEN KRITIS:(2)
Pemakaian berbagai jenis obat pada pasien kritis cenderung menimbulkan interaksi obat yang tak diharapkan.
Kebanyakan obat diberi intravenous dan punya index terapi yang sempit.
Obat juga berpengaruh pada organ failure dimana farmakodinamik dan 
farmakokinetik obat diubah oleh penyakit yang mendasarinya.
Hemodialisis,ventilasi mekanik dan plasmaparesis turut mempengaruhi 
sifat obat itu sendiri kesemuanya menyulitkan penggunaan obat termasuk analgetik dan sedatif.
Akibatnya respons klinik pasien sering tak bisa diprediksi bersamaan 
perbedaan masing masing individu pasien dan variabelitas pasien yang
sama bisa berubah selama perjalanan penyakitnya.
Brain failure selalu merupakan bagian dari MOF(multi organ failure) memerlukan pertimbangan khusus dalam pemberian obat sedatif maupun analgetik. 
Kita ketahui bahwa stress faktor baik infeksi(sepsis) mau
pun non infeksi(trauma tissue yang luas,iskemia/hipoksia)
akan mencetuskan SIRS(systemic inflamatory response syndrome).Pelepasan mediator sistemik  mempengaruhi pe
rubahan hemodinamik(vasodilatasi,depressi myokardium,
redistribusi aliran darah),perubahan mikrovaskular(keru
sakan endothel,mikroemboli,AV shunting). 
Akibatnya menurunkan distribusi oksigen menimbulkan
hipoksia sellular yang berujung dengan multiorgan dys
function syndrome.
Termasuk didalamnya kegagalan renal(renal failure) (menurunnya clearance obat atau metabolit aktif/inaktif)
Gagal hepar(liver failure) dimana menurunnya hepatic
clearance terjadi akumulasi obat yang dimetabolisir oleh hepar dan meningkatnya fraksi obat bebas.
Sistem cardiovaskular(redistribusi cardiac output kejantung
dan otak terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam otak
dan jantung,tetapi penurunan konsentrasi obat dalam 
plasma karena meningkatnya air tubuh akibat permeabilitas
kapiler yang meningkat .
Brain encephalopathy(brain failure) karena uremic,hepatic ,
hipoxic dimana sensitivitas reseptor sedatif dan analgesik meningkat.
Untuk kasus liver failure sebaiknya frekuensi pemakaian
obat dan kecepatan infus dikurangi dan dititrasi teliti.
Obat yang mengalami metabolisme extrahepatik lebih ter
pilih seperti propofol dan remifentanil .
Bila disertai renal failure obat obat yang ditransformasi men
jadi metabolit aktif seperti morfin,petidin,diazepam hanya
digunakan dengan hati hati.lebih disukai obat yang kerjanya
singkat dimetabolisir jadi metabolit inaktif dan non toksis.
Tampaknya propofol dan fentanyl dan remifentanil terpilih sebagai sedasi maupun analgesia yang aman.
Pada brain failure seharusny  dosis obat dikurangi dan ditit
rasi dengan teliti karena kepekaan reseptor sedatif dan analgesik meningkat.
Pemberian peroral sebaiknya dihindarkan karena telah ter
jadi kerusakan intergrasi intestinal sehingga tak bisa dipre
diksi effektifitasnya.
Pemberian secara intravena lebih disukai disamping mula
kerja singkat juga paling mungkin diprediksi,mudah diberi
kan di ICU bisa injeksi bolus,kontinu infusion,nurse cont
rolled analgesia dan patient controlled analgesia kalau pasien kooperatif.

STRATEGI TERAPI ANALGESIA/SEDASI_
Sasaran adalah mencapai sedasi/analgesia yang ideal
Pasien nyaman dan nyeri terkontrol
Tidur pasien normal
Meredam respons autonomik
Mempermudah terapi dan perawatan pasien
Mencegah agitasi dengan segala resikonya
Menurunkan konsumsi oksigen
Sinkron ventilator dengan pernafasan pasien.

Dengan menggunakan sedatif/analgetik yang ideal:
Cepat onset dan recovery
Kurang/tidak ada akumulasi
Mudah dititrasi mencapai level yang dikehendaki.
Stabil hemodinamik
Minimal depressi pernafasan
Menurunkan CMRO2 dan mempertahankan penyediaan
oksigen keotak.
Menurunkan ICP tanpa menurunkan CPP
Mempertahankan autoregulasi otak dan reaktivitas cereb
rovascular terhadap CO2.
Mempunyai effek amnesia,anxiolisis,hipnosis dan analgesia.
Tak menutup penilaian status dan komplikasi neurologi.
Tak ada toleransi atau withdrawal
Mudah komunikasi dengan pasien
Biaya tak terlalu mahal.

Namun beberapa keadaan diperlukan sedasi yang dalam dan terapi paralisis seperti:(2)
Tekanan intrakranial meninggi:
               -untuk menurunkan CMRo2
               -mencegah batuk dan mengejan
               -menurunkan ICP
Komplians paru yang jelek untuk mentolerir  ventilasi buatan.
Krisis oksigenasi:untuk menurunkan konsumsi oksigen
dan kesulitan sinkronisasi dengan ventilator.
Tetanus atau kejang kejang non stop walau telah diberi dosis besar antikonvulsant.
Hyperpireksia untuk mengurangi  hiperventilasi dan pembentukan panas lebih lanjut.

Pola menentukan sedasi dan analgesia yang rasional:(7)
Kemungkinan pasien kritis ,komunikatif/non komunikatif:
Bila komunikatif:dengan nyeri ,nilai dengan VAS/NRS.
Selanjutnya beri opioid target VAS<30/NRS<3.
Kemudian nilai kembali sesudah 10-15 menit sesuaikan opioid .Ulangi penilaian sesudah 10-15 menit bila VAS tetap<30/NRS<3 lalu nilai kembali VAS/NRS minimal tiap 
4 jam kecuali malam.
Bila tanpa nyeri  maka singkirkan semua penyebab tidak
nyaman, nilai dengan sedation scale beri sedatif yang waktu bangunnya singkat ,lalu nilai kembali dengan skala sedasi 
minimal tiap 4 jam kecuali malam atau wake up test tiap
24 jam sesuaikan sedative dan opioid
Bila non komunikatif dan agitasi maka nilai dengan sedation
scale singkirkan semua penyebab agitasi beri opioid untuk
mengurangi agitasi kemudian nilai kembali sesudah 10 sam
pai 15 menit sesuaikan opioid ,nilai kembali sesudah 10-15
menit beri sedatif waktu bangun singkat,lalu nilai kembali dengan sedation scale minimal tiap 4 jam kecuali  malam atau wake up test tiap 24 jam selanjutnya sesuaikan sedatif dan opioid.
Bila non komunikatif dengan nyeri behaviour nilai dengan
behavioral pain scale  beri opioid untuk mengurangi agitasi
nilai ulang sesudah 10-15 menit,sesuaikan opioid nilai ulang
sesudah 10-15 menit,beri sedatif waktu bangunnya singkat
selanjutnya nilai dengan sedation scale minimal tiap 4 jam
kecuali malam atau wake up test tiap 24 jam dan akhrirnya sesuaikan  sedatif dan opioid.
Bila pasien koma nilai dengan Glasgow coma scale dan sedation scale,pertimbangkan wake up test nilai secara teratur minimal tiap 4 jam.
1.Sedation scale umpamanya Richmond Agitation Sedation
   Scale(RASS)
2.Behavioal pain scale termasuk expressi wajah,upper limb
    behaviour dan komplians dengan ventilasi.
3.Visual analogue scale/Numeric rating scale,tanpa nyeri
     =0,nyeri tak tertahankan=10( NRS)  atau 100(VAS).
4. Penyebab ketidak nyamanan pasien yaitu tempat tidur 
      basah,kateter urin macet,mengatur posisi pasien ,mode 
      ventilator tak adekuat.
5. Penyebab agitasi antara lain hipoksia,hipoglikemia,de
     mam,reaksi obat umpama ketamin,drug atau alcohol
     withdrawal.
6. Opioid yang paling sering digunakan adalah morpin dan
     fentanyl.
7. Sedatif paling sering digunakan adalah midazolam dan
     propofol.
8.Penilaian  lebih penting daripada pemilihan khusus anal
    getik dan sedatif.

Perlu diketahui bahwa tak ada satu obatpun yang mempu
nyai sifat ideal seperti tertera diatas namun analgetik uta
ma adalah opioid dan sedatif/hipnotik adalah benzodiaze
pine dan propofol paling biasa digunakan.(2)
Kombinasi beberapa obat tampaknya merupakan strategi
yang lebih effektif disamping dapat menurunkan dosis
masing masing obat juga mengurangi problem akumulasi
obat.(6)

Analgesia dengan opioid:(2,7,8)
Pada pasien kritis, opioids paling sering digunakan untuk
nyeri akut sedangkan untuk nyeri biasa misal karena 
immobilisasi yang lama sangat effektif bila digunakan
NSAID tetapi dengan resiko tinggi dampak buruk terhadap
gastrointestinal dan renal membatasi pemakaiannya pada
kasus kritis.Paracetamol dengan daya analgesi yang lemah digunakan sebagai tambahan opioid analgesia walaupun
belum terbukti memperbaiki outcome.(7)
Tramadol sebagai alternatif opioid bila hemodinamik labil
tetapi effek samping mual/muntah sangat menonjol.(2)
Opioid disenangi karena cepat onset,mudah titrasi,kurang
akumulasi dan murah biayanya.
Tetapi problem yang ditimbulkannya antara lain depressi
nafas,hipomotilitas intestinal,mual muntah,retensi urine
toleransi dan ketergantungan obat memberatkan penyakit
dan memperpanjang masa rawatan.(2,7)
Hemodinamik sedikit dipangaruhi dalam dosis terapi dan
normovolemik namun bila hemodinamik labil berikan mulai
dengan dosis kecil ditingkatkan dengan interval waktu yang
singkat sampai nyeri terkontrol.
Pemberian opiod intravena cepat dan keadaan hipovolemia
cenderung terjadi hipotensi.
Problem nausea dan muntah pada pemberian opioid dengan
infus kontinu dapat dicegah dengan pemberian propilaktis
anti emetik,tampaknya butyrophenon dropridol  25 mcg
untuk dosis  1 mg morpin.(7)

Pasien dengan brain failure (brain injury) apakah opioid 
bisa menaikkan ICP,menurunkan CPP menyebabkan iske
mia otak masih dalam perdebatan.(7)
Dalam penelitian fentanil titrasi(3,0 +-1,7 mcg/kg,n=5),
sufentanil(0,4+-0,1mcg/kg,n=5) aau morpin (0,07+-0,o3
n=5) sampai penurunan MAP maksimal 10% tak ada satu
opioid ini  yang menaikkan ICP.
Sebaliknya fentanyl(3 atau 10 mcg/kg,sufentanil(0,6 atau
1 mcg/kg)dan alfentanil (100 mcg/kg menaikkan ICP dan 
menurunkan CPP lebih kurang 30 mmHg.(7)
Pasien dengan trauma kepala,GCS<=8,pakai ventilator 
berikan opioid sebagai analgesi dan midazolm,barbiturat
atau propofol sebagai sedasi sedangkan GCS>8,bernafas
spontan sebaiknya NSAID sebagai analgesi dan sedasi ri
ngan midazolam atau propofol.

Morpin masih sebagai opiat standard,effektif dan murah.
Mula kerjanya lambat kira kira 20 menit karena kelarutan
lemaknya rendah.Lebih dari 90% dimetabolisir hepar.
Metabolit utamanya morphine 3 glucuronide (m3G) dan
morphine 6 glucoronide(M6G).M3G mungkin inaktif dan
bahkan antianalgesi sementara M6G paling tidak 20 kali
lebih kuat dan durasinya lebih lama daripada morphine.
Pada renal failure,M6G menumpuk hal ini bisa menyebab
kan koma yang lebih lama.(2)
Pada dosis kecil sudah bisa langsung mendepressi pusat
nafas cenderung terjadi penurunan frekuensi pernafasan.
Perlu periksa analisa gas darah bila pH<7,30 dan PaCO2
>50 mmHg pertimbangkan intravena nalokson.(7)

Phenyl piperidines:(2)
Kelompok opioid meliputi petidin,fentanyl,alfentanil ,su
fentanil dan remifentanil merupakan zat sintetis ;potent
u reseptor agonist seperti morpin tetapi farmakokinetik
nya agak berbeda.
Metabolit utama petidin cenderung menyebabkan excita
si CNS ,tak cocok untuk pemakaian jangka lama pada kon
disi renal failure.Dalam dosis analgesi bisa mendepressi
ventilasi tanpa menurunkan frekuensi repirasi sehingga
sulit dideteksi lebih dini akibatnya meningkatkan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi otak.

Fentanil punya potensi 100 kali morpin oleh karena affini
tas yang tinggi terhadap receptor opioid.
Mula kerja yang cepat (2-4 menit) karena kelarutan lemak
yang sangat tinggi sehingga mudah berdiffusi kedalam
CNS.Effeknya menurun sesudah 20 menit karena redistri
busi kedalam jaringan perifer ,durasi aksinya pendek(30-
40 menit) dan punya effek sedasi ringan.(2,8)
Fentanyl dimetabolisir dihepar menjadi nor fentanyl selan
jutnya diekresi lewat urine.Sama dengan morpin zat utama
nya menumpuk dalam keadaan hepatic failure dan metabo
litnya menumpuk dalam keadaan renal failure menyebab
kan delirium toksik akut dan menurunya effek analgesik.
Penumpukan terjadi pada pemakaian lama terutama infus
kontinu dan fentanyl kadang kadang meningkatkan rigidi
tas otot,rigiditas glotis dan kejang terutama bila diberikan dengan cepat dan dosis tinggi waktu induksi anestesi, tapi bisa direverse dengan naloxon(2,8).
Pelepasan histamin lebih sedikit dibandingkan morpin.
Fentanyl meningkatkan potensi benzodiazepine terutama
effek anxiolitiknya tetapi pemberian fentanyl bersamaan
dengan benzodiazepin potensial  terjadi hipotensi dan dep
ressi respirasi yang tak diduga,untuk itu penting memantau
hemodinamik dan ventilasi secara akurat.(8).

Alfentanil:(2)
Mula kerjanya hanya satu menit,effek initialnya berakhir
15 menit oleh karena redistribusinya cepat.
Hampir 99% dimetabolisir dihepar jadi metabolit inaktif.
Hepatic falure yang berat memperpanjang effeknya tetapi
bisanya merupakan obat pilihan pada renal failure.(2).
Tak ada effek kumulatif walaupun diberi infus kontinu.

Remifentanil:(2,3)
Obat yang relatif baru belum begitu luas pemakaiannya
dalam sedasi.Mula kerjanya sekitar 30 detik dan durasi
aksinya sangat singkat sekitar 2-3 menit agak mahal.
Effek samping biasa ditemui depressi nafas,apnoe,hipo
tensi,bradikardi dan rigiditas otot.
Remifentanil dapat memberikan sedasi yang singkat de
ngan suppressi respirasi dan analgesi.yang memungkin
kan cepat sadar,evaluasi dini CNS dan extubasi dini.
Karakteristik ini mungkin lebih disukai pada kasus terten
tu seperti encephalopathy.

Tramadol:(2)
Alternatif analgesia opioid terutama bila sedasi dan hemo
dinamik yang labil tak diinginkan.
Merupakan mu reseptor agonist yang menimbulkan analgesi.
Membebaskan serotonin dan menhambat pengambilan sero
tonin dan noradrenalin yang menyebabkan effek monoami
nergik dengan stimulasi CNS menaikkan tekanan darah dan
laju jantung.Sayangnya effek mual dan muntah dominan.
Diberikan intramuskular  atau intravena dengan bolus inkre
mental 50 mg dengan interval 10-2o menit,sampai nyeri ber
kurang.Dosis pemeliharaan 50-100mg tiap 4-6 jam.

NSAIDs(non steroid anti inflamatory drugs):(2,3)
Berkerja dengan menghambat enzim cyclo-oxygenase yang
menurunkan sintesis prostaglandin menimbulkan effek anti
inflamasi,analgesi dan antipiretik.
Ada dua type cyclo oxygenase.Type 1 adalah enzim konstitutif dan selalu berperan dalam homeostasis ,respon vaskular dan proteksi gastrointestinal,effek samping yang serius adalah akibat effek inhibisinya.
Type 2 adalah inducible enzim dalam sel sel inflamatori dan 
 jika dihambat secara selektif akan menimbulkan effek  anal
 gesia,anti inflamasi dan antipiretik.
 Reaksi buruknya minimal sayangnya semua NSAIDs yang 
 tersedia menghambat baik type 1 maupun type 2 cyclo 
 oxygenase dengan berbagai tingkatan,walaupun kualitas 
 terapetik cukup baik namun side effeknya berupa perda
 rahan gastrintestinal,koagulopati,bronchospasm,toksisitas renal dan supressi sumsum tulang membatasi pemakaian
nya pada penderita kritis.
Tampaknya ketorolac dan tenoxicam diizinkan untuk
 pemakaian intravena.
 Dilaporkan bahwa NSAIDs berkerja sebagai analgetika bila
 diberikan secara intrathecal dimana mekanisme kerjanya 
  tidak hanya menginhibisi sintesis prostaglandin tetapi juga
  mempengaruhi NMDA receptor channel complex.
  Sebaiknya tidak memberikan lewat jalur ini kecuali sesu
  dah terbukti aman lewat penelitian.

  Acetaminophen:(3)
  Diindikasikan untuk pengobatan nyeri ringan atau sedang.
  Bila dikombinasi dengan opioid akan memberikan effek
  analgesik yang lebih besar daripada dosis oipoid yang lebih
  tinggi yang diberikan sendiri.
  Peranan acetaminophen pada pasien kritis hanya untuk  
  mengurangi nyeri ringan atau ketidak nyamanan karena 
  prolonged bed rest atau sebagai antipiretik.
  Hati hati pemakaian yang berlebihan terutama pasien gagal
  hepar  atau malnutrisi dengan cadangan glutation menu
  run,cenderung hepatotoksis.
  Dosisnya sebaiknya tak melebihi 2g/hari untuk pasien 
  malnutrisi atau peminum alkohol yang kronik dan kurang 
  4g/hari untuk kasus yang lain.


  Obat lokal anestetik:  (2)
 Jenis obat lokal anastetik amida seperti bupivakain dan lido
  kain terutama digunakan.Lidokain dengan mula kerja yang
  cepat dan durasinya 1-2 jam sementara bupivakain dengan
  mula kerja sampai 30 menit dan  durasinya 3-6 jam.
  Toksisitas sistemik bisa terjadi dengan komplikasi neurolo
  gik dan kardiovaskular jika dosis aman maksimum dilewati
  2mg/kg untuk bupivakain dan 4mg/kg untuk lidokain tiap
  empat jam terutama pada pasien kritis dengan disfungsi
  multiorgan dimana terjadi perubahan kadar protein plas
  ma dan volume distribusi.
    
   Epidural analgesia:(2)
   Bentuk analgesia paling effektif untuk meringankan nyeri
   postoperatif dan trauma thorax.
   Sayangnya pada beberapa pasien kritis,epidural analgesia
   kontra indikasi karena sepsis dan koagulopati.
   Resiko yang lain adalah infeksi medulla spinalis untuk me
   nguranginya sebaiknya kateter epidural dicabut sesudah
   72 jam.Melakukan regional anestesi sebaiknya pasien 
   sadar koperatif dan tenang untuk mengurangi resiko 
   kerusakan medulla spinalis.
   Komplikasi lokal anestetik berbeda dari opioid.
   Hipotensi postural dan kelemahan motorik adalah 
   bahaya utama.Untuk mengurangi effek samping ini sebaik
   nya kateter epidural ditempatkan dekat level centrum area
   nyeri atau penambahan opioid yang punya effek analgesia
   sinergistik  untuk mengurangi kebutuhan dosis anestetik   
   lokal.Ropivacain tampaknya kurang memblok motorik.
   Epidural opioid meringankan nyeri dengan sedikit hipoten
   si postural,lebih sedikit opioid dibutuhkan daripada dosis
   intravena dan effeknya lebih lama karena aksi langsung
   pada reseptor opioid pada kornu dorsalis medulla spina
   lis.Pasien lebih waspada dan lebih mudah dimobilisasi.
   Agent dengan kelarutan lemak yang lebih besar seperti dia
   morpin,fentanil,alfentanil dan sufentanil kurang berdiffusi
   kearah cephalad.Akan tetapi keuntungan yang diharapkan
   minimalnya resiko depressi respirasi perlu dipertimbang
   kan  karena melemahnya respons CO2 oleh obat obat 
   tersebut.
   Dua fase depressi respirasi yang terlihat dengan epidural
   opioid.Depressi respirasi dini dalam satu jam kelihatan
   akibat absorbsi sistemik.Depressi respirasi lambat terjadi
   dalam 7-24 jam oleh karena penyebaran kecephalad,teru
    tama opioid yang kurang lipid soluble,seperti morfin.
   Sesudah stop morfin atau diamorfin epidural dianjurkan 
   monitor yang ketat sedangkan untuk fentanyl,alfentanil 
   atau sufentanil tak diperlukan monitoring lama.
   Agent lokal anestetik dengan atau tanpa supplementasi
   opioid dapat diberikan sebagai infus kontinu atau 
   inkremental baik sebagai patient controlled analgesia atau 
   bantuan perawat.Keuntungan utama dengan infus 
   kontinu adalah hemodinamik yang lebih stabil.
   Larutan yang dianjurkan adalah 0,1% bupivacain dengan 
   2 microgram/ml fentanyl dengan kecepatan 0-10 ml/jam.
   Jika perlu konsentrasi lokal anestetik dapat dinaikkan jadi
   0,25% atau opioid yang berbeda dapat ditambahkan.
   Banyak tehnik regional yang lain yang kadang kadang bisa
   diberikan pada pasien kritis seperti intercostal block,
   penempatan kateter intrapleural dan peripheral limb 
   blocks.
    
   SEDASI:(2,3)
   Pengurangan nyeri sangat penting namun pasien  membu  
   tuhkan juga anxiolysis,amnesia dan hipnosis kadangkala.
   Pemakaian sedasi dipertimbangkan sesudah nyeri diatasi.
   Benzodiazepin:(2,3)
   Sering digunakan untuk sedasi pasien kritis.
   Terikat spesifik pada gamma aminobutiric acid complex
    (GABA) meningkatkan inhibisi transmisi neuronal.
    Hipnotik,anxiolitik,dan pelemas otot sangat menguntung
    kan pasien yang memerlukan ventilasi mekanik.
    Dan amnesia diperlukan oleh beberapa pasien.
    Antikonvulsant diharuskan untuk terapi kejang.
    Ketergantungan fisik dan psikis bisa terjadi dan penghen
    tian mendadak bisa menimbulkan kegelisahan dan ganggu
    an tidur alami.Seperti halnya kebanyakan sedatif benzo
    diazepin dapat mendepressi kardiovaskular dan respirasi 
    bila diberikan dalam dosis yang berlebihan namun dalam 
   dosis  terapi,effek depressi minimal.
    Infus kontinu harus digunakan secara hati hati sebab 
    akumulasi obat utama atau metabolitnya bisa menyebab
    kan oversedasi yang tidak terduga ini dapat dicegah 
   dengan evaluasi kebutuhan sedasi pasien sesering 
   mungkin dan secara aktif mengatur kecepatan infus
   tetapi dilaporkan toleransi terhadap benzodiazepin
   dalam beberapa jam/hari terapi bisa terjadi dengan me
   ningkatkan dosis seperti dilaporkan pada pemakaian
   midazolam.
   Agitasi pernah terjadi dengan sedasi ringan diduga akibat
   amnesia yang disebabkan obat atau disorientasi.
   Faktor faktor spesifik pasien seperti umur,penyakit yang
   bersamaan,ketergantungan alkohol dan obat lain yang di
   berikan dapat mempengaruhi intensitas dan durasi aktivi
   tas benzodiazepin memerlukan titrasi individual.
   Pasien usia lanjut cenderung clearance benzodiazepin 
   dan metabolit aktifnya yang lebih lambat dan volume
   distribusinya yang lebih besar menyebabkan meman
   jangnya secara nyata masa eleminasi sama halnya de
   ngan dysfungsi hepatik atau renal.
   Induksi atau inibisi aktivitas enzim hepatik atau intes
   tinal dapat merubah metabolisme oksidatif benzodia
   zepin pada umumnya.
   Sebaiknya jika akan menghentikan pemakaian ventilator
   sesudah pemakaian jangka lama ,benzodiazepin distop se
   belumnya sebab bisa menyulitkan dalam penyapihan ven
   tilator.
    
   Midazolam:(2,3)
   Merupakan derivat benzodiazepin yang terpendek durasi
   nya,larut dalam air dapat diberikan lewat intravena tanpa
   iritasi,sangat popular dipakai di ICU.
   Potensi midazolam 3-4x diazepam dan half life eliminasi
   nya 1,5-3 jam ,setelah pemberian intravena ,effek sedasi 
   bisa dicapai dalam waktu 1-5 menit dan durasi aksinya
   kurang dari 2 jam,ini membuat midazolam berguna di
   ICU untuk titrasi sedasi,anxiolisis dan anterograde amne
   sia pada pasien sadar,gelisah dengan hemodinamik labil.
   Dosis infus 0,04-0,2 mg/kg/jam,untuk sedasi untuk agita
   si 1-3mg sebagai iv bolus..
   Dihidroksilasi di hepar menjadi 1 hydroxy midazolam yang
   masih mempunyai 10% aktivitas midazolam dan durasinya
   lebih pendek,dimana akumulasi terjadi pada gagal hepar.
   Kadang kadang midazolam mencapai ceiling effect dimana
   penambahan dosis belum mencapai effek klinik yang di
   inginkan,1-hydroxy glucuroide akumulasi pada gagal renal
   bisa menyebabkan koma.
   Akumulasi dan effek sedasi yang memanjang dilaporkan
   pada pasien kritis yang kegemukan ,kadar albumin rendah
   atau gagal ginjal.Inhibisi terhadap metabolisme midazo
   lam yang signifikan oleh propofol,diltiazem,macrolide 
   antibiotik dan inhibitor  ccytochrome P450 isoenzim 3A4  
   lainnya bisa mempengaruhi durasi effek midazolam.
   Penggunaan rutin antagonist benzodiazepin seperti fluma
   zenil tak disarankan sesudah terapi jangka panjang benzo
  diazepin karena resiko timbulnya symptom putus obat dan
   meningkatnya konsumsi oksigen myocard dengan minimal
   o,5mg flumazenil,tetapi dosis 0,15mg flumazenil biasanya
   sedikit simptom putus obat bila diberikan pada pasien 
  dengan terapi infus midazolam.Namun single low dose 
  disarankan untuk mentest sedasi memanjang sesudah   
   beberapa hari pemakaian benzodiazepin.
  
  Diazepam :(2)
  Mula kerjanya lebih lama dan beberapa sediaan menyebab
  kan thrombophlebitis bisa diberikan lewat vena periper ,du
  rasi aksinya yang panjang dan memproduksi beberapa 
  metabolit aktif sebagian dengan durasi aksinya lebih 
  panjang.Dosis sedasi iv intermitten 0,03-0,1mg/kg.
  Desmethyl diazepam ,metabolit yang kerjanya lebih 
  panjang mempunyai half life diatas 90 jam.
  Akumulasi dengan resiko yang signifikan membuat kurang
  populer pemakaiannya dibandingkan midazolam.

 Lorazepam:(2,3)
 Merupakan intermediate to long acting benzodiazepine 
 yang mempunyai sifat anxiolitik dan sedatif.
 Masa eliminasi half lifenya 12-15 jam sehingga pemberian
 per infus tidak bisa segera dititrasi.
 Produk intermediairnya tak akumulatif dan metabolisme
 nya tak memerlukan  oxidatif hepatik,hanya butuh 
 glukuronidasi sehingga terpilih untuk pasien gagal hepar. 
 Lorazepam 4mg ekuivalen dengan 10 mg diazepam.
 Bisa diberikan peroral,intramuskular atau intravena dan 
 dosis tradisional untuk pasien kritis di ICU 1-2mg/3-4 jam.
 Infus lorazepam sebaiknya dipersiapkan 2mg/ml injeksi  
 dan diencerkan sampai 1 mg/ml atau kurang dan dicampur
 dalam botol gelas walaupun demikian hati hati namun 
 pengendapan bisa saja terjadi sebagai alternatif memakai
 lorazepam yang tak diencerkan dengan bantuan alat PCA.
 Sesudah pemakaian dosis tinggi dan jangka panjang 
 pelarutnya(polyethilen glycol(PEG) atau propylen 
 glycol(PG) dapat menyebabkan reversible acute tubular 
 necrosis,lactic acidosis atau hyperosmolar state.
 Ini bisa terjadi bila dosis lebih dari 18mg/jam berlangsung  
 4 minggu atau dosis lebih dari 25mg perjam  dan terus 
 menerus selama berjam jam /hari.
 Oleh karena mula kerjanya yang lambat membuat 
 lorazepam tak digunakan untuk terapi agitasi akut.

Dexmedetomidin:(9,10.11).
Superselective alpha2 agonist memiliki sifat anxiolytic,
sedative,analgesik dan simpatolitik .
Menghambat pelepasan nociceptive neurotransmitter
seperti substansi P,adenosine atau tryptamine lewat
aksinya dalam locus coeruleus di brainstem menstimuler
langsung @2 reseptor disubstansia glatinosa cornu poste
rior medulla spinalis dan punya effek sinergistik dengan 
opioid reseptor  merupakan dasar peranan analgesinya.
Aktivasi @2 reseptor di CNS juga menghambat aktivitas
simpatik gabungan keduanya menyebabkan sedasi,anxio
lisis an analgesia.Dexmedetomidin memberikan sedasi
tergantung dosis, puncak effeknya dicapai 45-60 menit 
sesudah permulaan infus.Pasien mudah dibangunkan dan
kurang kemungkinan terjadi disorientasi atau tidak koope
ratif dan punya effek sinergistik yang kuat dengan sedatif
atau opioid dengan menurunkan kebutuhan propofol,mida
zolam atau opioid sampai 50-70%.
Pengaruh terhadap respirasi minimal walaupun kadar dalam plasma mencapai 8 ng/ml namun dengan dosis in
fus yang tinggi dapat menghilangkan tonus otot dengan
potensial obstruksi jalan nafas pada pasien tanpa intubasi.
Dimetabolisir hampir seluruhnya dihepar jadi metabolit
inaktif sementara metabolit diekresikan lewat urine(95%)
dan feces(4%).
Tak dianjurkan pada disfungsi hepar tetapi untuk dis
fungsi renal kemungkinan akumulasi metabolit belum
diteliti.
Effek terhadap kardiovaskular sangat predictable ,tanpa 
loading dose ratarata penurunan tekanan darah sistolik 
laju jantung dan curah jantung sebesar 10% dengan dosis
1 microgram/kg/jam.
Walaupun mempunyai sifat simptolisis dengan penurunan
 kadar noradrenalin yang signifikan dalam plasma dan LCS
 namun dextmedetomidin telah terbukti menyebabkan vaso
konstriksi arteri denervasi dan pemakaiannya pada pasien dengan microvascular free flaps dan panyakit cereb
rovaskular sebaiknya dihindarkan.
Penelitian 306 pasien pembedahan jantung yang diberi dex
medetomidin dengan dosis medium 0,49mcg/kg/jam dapat
memberikan sedasi dan analgesia yang adekuat tanpa hipo
tensi atau membutuhkan vasopressor.
Dexmedetomidin paling baik dilarutkan dalam larutan dex
trose 5% aau saline dengan kecepatan infus 0,1 mcg/kg/jam untuk semua berat badan,jika mungkin diberikan lewat jalur terpisah dan diberi tanda DoNot Bolus.
Effek samping termasuk hipotensi,hipertensi,bradikardi,
atrial fibrillasi dan AV block dan kebanyakan effek buruk
ini terjadi selama atau segera sesudah pemberian bolus.
Meniadakan atau mengurangi loading dose dapat menu
runkan effek samping.
Pemakaian dexmedetomidin  lewat 24 jam  dan dosis 
> 1 mcg/kg/jam tidak diizinkan di Australia&NewZealand.
Staff ICU haruslah familiar dengan karakteristik sedasi dex
medetomidin  terutama kondisi sedasi yang mudah diba
ngunkan dimana pasien respon segera dengan stimulus
verbal atau sentuhan ringan kembali cepat tidur semula.
Perlu diingat dexmedetomidin bukanlah sedatif yang dapat 
digunakan dengan segera untuk pasien yang sangat agitatif
 atau combatif tetapi propofol 30-50 mg atau midazolam 
 1-3 mg iv bolus ,bila perlu dosis bisa diulangi.
Semua effek  dexmedetomidin dapat direverse dengan mu
dah dengan memakai @2adrenoceptor antagonist atipame
zole(A-17).

 Beperapa keadaan dimana dexmedetomidin tak direkomen dasikan :
1.Hemodinamik labil dan refrakter:
  a  Tekanan darah sistolik dibawah 90mmHg atau MAP di
       bawah 60 mmHg walaupun telah diberi vasopressor  
       seperti vasopressin >2 units/jam atau noradrenalin
      /adrenalin >0,2mcg/kg/min atau dobutamin >10 mcg
       /kg/min,
   b.Laju jantung kurang dari 55x/menit,bukan karena 
        betablocker.
   c.AV block derajat tinggi tanpa pace maker.

 2.Microvascular free flap prosedur sebab @2 agonist bisa
     menyebabkan vasokonstriksi langsung dan penurunan
     flap blood flow.

 3.Disfungsi hepar yang berat.

 4.Recent acute epilepsy atau aktivitas seizure tak terkon
     trol.

  5.Pasien neurovaskular termasuk pasien baru interven
      si aneurysma cerebral  atau arteriovenous malformation
      terutama pasien dalam 7 hari  mengalami perdarahan 
      subarachnoid baik karena trauma atau pecahnya aneu
      risma spontan atau yang dipertimbangkan resiko tinggi
      terjadinya cerebral vasospasm.
     
  6.Pasien hamil atau sedang menyusui karena dexmedeme
      tomidin menyeberang lewat placenta.


 Kepustakaan: 
 1.Weissman David:Relections:brain Failure Revisited;
      Journal of Palliative  Medicine,volume 7,No 2,2004.

 2. Lerch Conny and Park R.G:Sedation and Analgesia;
      British Medical Bulletin,1999;55(No 1).

 3.Society of Critical Care Medicine and American Society 
     of Health System pharmacist:Clinical Practice Guidlines
     for the Sustained Use of Sedatives and Analgesia in the
     Critically Ill Adult;American Journal Health Syst.Pharm.
     2002;59.

4.Dosborough JP:The Stress response to trauma and surge
    ry;British Journal Anesthesia ,2000 ,vol.85.issue I.

5.Bremmer Douglas J:Traumatic stress:effects on the brain;
    Dialogues in clinical neuroscience,2006,December;

6.Kress P John,Pohlman S Anne,Hall B Jesse:Sedation and
    Analgesia in the Intensive Care Unit;American Journal
    of RTespiratory and Critical Care Medicine ,October 15,
    2002,vol.166 no.8

7Walder Bernhard,Tramer R Martin:Analgesia and sedation
   in critically ill patients;Swiss Med.WKLY,2004.

8.Crippen David:Life threatening brain failure and agitation
    in the intensive care unit;Critical Care 2000,4.

9.Shehabi Yahya,Botha A John et all:Clinical application ,
    the use of dexmedetomidine in intensive care sedation;
    Critical Care & Shock (2010).13.


10.Gertier Ralph,Brown Cleighton H et all:Dexmedetomi
      dine:a novel sedative-analgesic agent;Baylor University
      Medical Center ,2001,january;14(1).

11.Pradeep Bhatia:Dexmedetomidine :A new agent in Anes
     thesia &Critical Care,2002,April,


    

   

Saturday, July 21, 2012

Sedasi Analgesia Pada Pasien Gagal Otak (BAGIAN 1)

Bookmark and Share

PENDAHULUAN :
Brain failure(gagal otak) adalah diagnose baru dalam dunia kedokteran, menurut International Classification of Diseases tahun 2003 ,edisi 9 menyatakan istilah failure dikaitkan dengan diagnosis cardiac,cardiorenal,cardio
vascular,hepatorenal,congestive heart,hepatic,renal failure tetapi tidak dikenal istilah brain failure.(1)
Menurut David Weissman,brain failure adalah hilangnya secara progressif daya ingat(memori),menentukan sikap
kemampuan bicara, ambulasi,kontrol bowel/bladder dan proteksi airway.(1)
Istilah yang lebih baru dalam literatur, brain failure merupakan sindrom spesifik ditandai dengan delirium diruang rawat intensif, juga dikenal sebagai intergrative brain failure atau acute brain failure.(6)
Penelitian Elly et all melaporkan 83% kelompok pasien ICU
mengalami delirium dengan karakteristik gangguan kesa
daran dan kognitif (memori,disorientasi),kurangnya per
hatian/kewaspadaan dan mungkin disertai agitasi sifatnya fluktuatif dan onsetnya akut.(6)


Sedasi adalah proses menenangkan,tujuan utama sedasi adalah meringankan kecemasan, ketidaknyamanan pasien untuk mempermudah perawatan dan pengobatan karena banyak faktor yang mendukung timbulnya stress fisik mau
pun psikis pada pasien kritis di ICU.(2)
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri atau stimulus mengganggu Nyeri akan mencetuskan stress respons 
yang berpengaruh jelek terhadap pasien antara lain:
Respons neuroendokrin:
         -meningkatnya tiroksin,glukokortikoid,aldosteron,
          angiotensin dan growth hormon.
Pespons simpato adrenal:
         -meningkatnya katekolamin
         -meningkatnya kerja jantung,konsumsi oksigen.
Melemahkan respirasi:
         -batuk tak efektif,retensi sputum,atelektasis,
          menurunnya ventilasi alveolar dan FRC.
Immobilsasi karena nyeri:
         -meningkatnya resiko deep vein thrombosis(DVT).
         -meningkatnya stasis intestinal.
Terganggunya waktu tidur:
         -Berkembangnya psikosis ICU.

Pasien ICU bisa mengalami tak nyaman atau nyeri oleh karena penyakitnya sendiri, prosedur invasif maupun trauma.(3)
Pengelolaan nyeri yang efektif adalah penting dalam pengelolaan sedasi dan meningkatkan kenyamanan pasien,cepatnya penyembuhan dan menurunkan komplikasi penyakitnya.
Kombinasi sedasi dan analgesia yang efektif dapat mengu
rangi stress respons pada pasien kritis.
Semua pasien kritis berhak mendapatkan sedasi dan anal
gesi yang cukup.  

STRESS RESPONS :
Respons tubuh terhadap stress dengan melepaskan stress hormon(kortisol dan katekolamin)
Stressor adalah apapun yang menyebabkan stress respons bisa berupa stress fisik atau psikis keduanya menyebabkan respons yang sama.
Stress respons merupakan bagian dari reaksi sistemik yang meliputi pengaruh yang luas terhadap endokrinologik,
immunologik dan hematologik(4)
Banyak faktor yang menyebabkan stress respons antara lain adalah:(3)
Kecemasan dan ketakutan terhadap yang berkaitan penya
kitnya(dyspnoe,batuk yang berlebihan),  lingkungannya (monitor,penerangan,suara terus menerus,suhu).(3.6)
Nyeri (tindakan invasif,post operatif,penyakitnya).
Tidak nyaman(immobilisasi,intubasi,modes ventilasi tak sinkron dengan pernafasan fisiologis,paralisis dengan relaksan tetapi dengan sedasi yang tak adekuat,tak bisa berkomunikasi,tidur terganggu,ketergantungan pada orang lain ,haus dan kelaparan).
Kondisi hipotermia,hipertermia,hipovolemia,hipoksia dan           
sepsis merupakan faktor meningkatkan stress respons.

RESPONS ENDOKRIN:(4,5)
Stressor akan menstimulasi hipotalamus mengaktifkan hipotalamik-pituitari-adrenal sistem dimana neuron neurosekretori hipotalamus melepaskan hormon(releasing hormone) menduduki reseptor spesifik pada hipopise mengatur pembebasan hormon yang diproduksi. 
Stress respons terhadap pembedahan ditandai dengan meningkatnya sekresi hormon hipopise dan aktivasi sistem saraf simpatis melepaskan adrenalin dan noradrenalin yang berperan dalam fight and flight respons.
Perubahan sekresi hormon hipopisa mempengaruhi sekresi hormon dari target organ.Umpama pelepasan hormon corticotropin dari hipopisa anterior menstimulir sekresi cortisol dari cortex adrenal.
Cortisol mempengaruhi metabolisme karbohidrat,lemak dan protein.
Meningkatkan pemecahan protein dan glukoneogenesis dalam liver.Menghambat pemakaian glukose oleh sel sehingga kadar gula darah meningkat.
Cortisol mempermudah lipolisis yang meningkatkan pro duksi prekursor glukoneogenik dari pemecahan trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak. 
Cortisol juga punya sifat anti imflamasi dengan mengham
bat akumulasi makrophage dan neutopil masuk kearea inflamasi dan mengganggu sintesis mediator inflamasi terutama prostaglandin.
Cortisol juga meningkatkan produksi katekolamin.
Vasopressin arginin disekresi dari hipopisa posterior mempengaruhi fungsi ginjal sebagai hormon anti diuretik  sedangkan pada pancreas meningkatkan sekresi glukagon tetapi menurunkan sekeresi insulin.

Keseluruhan pengaruh metabolisme akibat perubahan hormonal ini adalah katabolisme yang meninggi yang memobilisir substrat untuk penyediaan energi dan meka
nisme menahan air dan garam untuk mempertahankan
volume cairan tubuh dan homeostasis kardiovaskular.
Tujuan stress respons untuk melindungi fungsi tubuh kalau
prosesnya singkat tetapi bila berlarut larut akan merusak
neuron otak.

SEDASI DAN ANALGESIA:(2,6,7)
Suatu keadaan dimana memungkinkan toleransi pasien
terhadap prosedur yang kurang menyenangkan sementara
fungsi kardiorespirasi stabil,dan kemampuan merespons
secara penuh perintah verbal dan stimulasi rabaan.
Sasaran sedasi berbeda pada masing masing pasien dan
berubah sesuai dengan perkembangan penyakit apakah
membaik atau memburuk.
Ada tiga alasan utama mengapa sedasi dan analgesi yang
adekuat diperlukan pada pasien kritis:
Pertama sedasi dan analgesi menjamin level optimal kete
nangan pasien terutama dapat istirahat/tidur yang cukup.
Kedua dapat menurunkan stress respons(meredam respons 
autonomik,menurunkan konsumsi oksigen) dan ketiga mempermudah prosedur diagnostik,terapeutik dan perawatan pasien. 

Banyak cara membantu pasien tanpa obat(non farmakolo 
gik sedasi)untuk mentolerir kondisinya selama perawatan di ICU,antara lain berbicara bersama pasien menenangkan hatinya,lingkungan yang menyenangkan,menghindarkan tekanan pada bagian tubuhnya,perawatan mulut mengu
rangi perasaan haus,immobilisasi yang tidak terlalu ketat semuanya sangat penting untuk memberikan kenyamanan pada pasien.
Management nyeri yang adekuat dan tambahan analgesia
untuk mengatasi nyeri akibat intervensi  pemasangan moni
tor invasif,pengisapan lendir pipa trakea dan lain lain.

Ventilasi mekanik sangat baik ditolerir jika assisted mode
yang dipilih dan sinkron dengan respirasi pasien seperti
BIPAP(biphasic positive airway pressure).
Untuk ventilasi jangka panjang alternatif lebih menyenang
kan adalah trakeostomi dibandingkan intubasi orotrakeal.
Bila memakai pelemas otot haruslah cukup sedasi mence
gah kecemasan pasien karena bangun dan tidak bisa bergerak.
Biasanya bila pasien ditanya sesudah meninggalkan ICU ma
ka jawabanya adalah cemas dan nyeri merupakan faktor
pengganggu yang paling banyak.

PENILAIAN SEDASI YANG ADEKUAT:
Menentukan cukup tidaknya sedasi agak sulit karena sifat
nya subjektif,padahal ini penting secara rutin dilakukan
di ICU untuk mencegah bahaya kurangnya dan berlebihnya
tingkatan sedasi yang meningkatkan morbidity bahkan mor
tality pasien pasien di ICU.(6)

Kurangnya tingkat sedasi(under sedation) akan menimbul
kan efek yang tak diinginkan seperti meningkatnya produk
si katekolamin endogen dengan akibat naiknya laju 
jantung,tekanan darah dan konsumsi oksigen myokardium dengan resiko iskemia atau infarct myokard dan menurun
nya volume paru,sulit batuk,retensi sputum ,atelektasis,
menurunnya motilitas lambung/usus/meteorismus,retensi
urine,tak bisa bergerak menyebabkan DVT(deep vein thrombosis),spasmomuskuloskletal,tak bisa tidur dan
mungkin berkembangnya gangguan post traumatic stress(skuele mental) yang memerlukan terapi jangka panjang sesudah pulang.

Sementara kelebihan tingkat sedasi(oversedation)beresiko
depressi pernafasan,mempermudah sinkron ventilator teta
pi memperpanjang proses weaning sedangkan pasien
tanpa intubasi cenderung hiperkarbia,hipoksia sampai henti nafas.
Padahal tidak ada monitor yang peka untuk depresi nafas 
pasien yang tanpa intubasi yang mendapat suplementasi oksigen .Dalam kondisi seperti ini,parameter untuk depressi nafas hanya respiratory pattern dan tingkat kesadarannya.
Laju nafas dan End tidal CO2 via kanula nasal bukanlah mo
nitor dipercaya menunjukkan depressi pernafasan.
Sedangkan pulse oximeter adalah detektor yang tak akurat dan terlambat menentukan depressi pernafasan ketika ada peninggian konsentrasi oksigen inspirasi.

Lebih dari 25 tahun yang lalu telah dimulai usaha mengon
trol kedalaman sedasi yang tepat sama pentingnya dengan
mengontrol hemodinamik,keseimbangan cairan dan elek
trolit ,parameter oksigen dan metabolik.
Banyak teknik yang digunakan mengevaluasi tingkatan sedasi namun umumnya kurang dipercaya.
Beberapa skala sedasi objektif seperti Ramsay Sedation Scale(RSS) dan Sedation Agitation Scale(SAS) telah dibuat.
Skala skoring Ramsay paling tua dan banyak digunakan namun belum dianggap valid untuk menilai sedasi secara objektif.(2,7)


Ramsay sedation scale:(2)
Level 1:pasien sadar,cemas dan gelisah atau keduanya.
         2:pasien sadar,koperatif,orientatif dan tenang.
         3:pasien tidur,respon hanya terhadap perintah 
            lisan.
         4:pasien tidur,respon cepat terhadap ketukan 
            ringan di glabella atau stimulus suara yang keras.
         5:pasien tidur,respons yang lamban terhadap 
            ketukan ringan diglabella atau stimulus suara  
            yang keras.
         6:pasien tidur,tidak respons terhadap terhadap 
            ketukan ringan diglabella atau stimulus suara 
            keras.
Level 2 atau 3  biasanya menunjukan skala sedasi yang ideal.

Kekurangan RSS tergantung pada kemampuan pasien merespons stimulus yang tak menyakitkan dengan demikian RSS tak bisa menilai pasien yang mendapat pelemas otot.
Pada level 1 tak ada ketentuan tingkat agitasinya dan kedalaman tidurnya pada level 6 tak bisa dibedakan koma
yang dalam atau dalam kondisi general anestesi yang ringan.

Riker Sedation Agitation Scale adalah skala pertama yang 
terbukti terpercaya pada pasien dewasa krtitis. Untuk menilai tingkat kesadaran dan agitasi pasien terdiri dari 7 item.

 Nilai                Uraian                        Definisi
   
   7           Agitasi berbahaya           Mencabut pipa 
                                                    trakeal,infus,kate    
                                                    ether,melawan staff.
   6           Sangat agitatif               Ribut terus walau  
                                                    sering diingatkan,    
                                                    perlu dibatasi ge
                                                    rakannya dan 
                                                    menggigit pipa 
                                                    trakeal.
   5           Agitatif                          Gelisah dan agitasi 
                                                     tetapi tenang bila
                                                     diperintah lisan.
   4           Tenang,koperatif             Tenang,mudah diba
                                                      ngunkan,mengikuti     
                                                      perintah.
   3           Tersedasi                         Sulit bangun, tapi 
                                                      mudah bangun bila 
                                                      distimulus dengan
                                                      lisan atau goyang
                                                      an tetapi tidur lagi
                                                       
    2         Sangat tersedasi                Bangun dengan 
                                                      stimulus fisik tetapi
                                                      tidak berkomuikasi
                                                      maupun ikut perin
                                                      tah.
    1          Tak bisa bangun                Minimal atau tidak
                                                      respons walaupun
                                                      stimulus nyeri,tak bi
                                                      sa komunikasi atau
                                                      ikut perintah.

 Level 3 atau 4 menunjukkan tingkat sedasi yang ideal.

 Richmond Agitation Sedation Scale(RASS) merupakan alat
 menilai sedasi dan agitasi terpercaya dewasa ini:(7,8).

Nilai        Istilah                             Deskripsi
 +4        Combative              Melawan,menyerang,bengis          
                                          membahayakan staff.            
                             
 +3        Sangat agitatif        Agressif,mencabut pipa tra
                                          keal dan kateter.
 +2        Agitatif                   Melawan ventilator, gerakan
                                          tanpa tujuan.
 +1        Gelisah                   Cemas tetapi gerakan tak
                                          begitu agressif.
  0         Tenang,waspada           
  
 -1         Mengantuk            Tak begitu awas,tetapi 
                                         tetap terbangun(mata 
                                         membuka/menatap)    
                                         terhadap stimu suara
                                                      >= 10 detik.
 -2        Sedasi ringan          Cepat bangun dengan
                                         mata menatap dengan
                                         stimulasi suara <10 detik.
 -3        Sedasi sedang         Gerakan dan mata membu
                                         ka terhadap stimulus sua
                                         ra tapi mata tak menatap
 -4        Sedasi dalam           Tak respons terhadap su
                                         ara,tak ada gerakan atau
                                         mata membuka terhadap
                                         stimulasi fisik.
 -5   Tak bisa dibangunkan   Tak ada respons terhadap
                                         stimulus suara & fisik.

Prosedur penilaian sedasi menurut RASS:(8)
1.Amati pasien
   a.Pasien penuh perhatian,gelisah atau agitasi(skor 0-4)
2.Kalau tak perhatian, panggil nama pasien, suruh membu
    ka mata dan melihat ke yang bicara :
  b.Pasien terbangun dengan mata membuka dan mena
    tapi yang bicara agak lama (skor -1 ) 
  c.Pasien terbangun ,membuka mata dan menatap yang
    bicara tetapi tak bertahan lama.(skor -2)
  d.Pasien bergerak merespons terhadap stimulus suara
    tetapi tanpa tatapan mata.(skor-3)
3.Kalau tidak ada respons terhadap stimulasi verbal, maka 
    pasien distimulir dengan menggoyang bahu dan atau 
    menggosok gosok dadanya.
 e.Pasien bergerak merespons stimulasi fisik.(skor -4)
 f. Pasien tak respons terhadap stimulus apapun. 

Note: Skor (-2,-3 dan -4) menunjukkan sedasi ringan, sedang dan dalam.  

System skoring untuk mengukur kedalaman sedasi yang
kurang subjektif dan lebih mendekati :
       
  Respons        Level dari respons       Skor sedasi
  
  Buka mata        spontan                            4
                         perintah lisan                    3
                         rangsang nyeri                   2
                         tak membuka                    1

 Batuk               spontan kuat                     4
                        spontan lemah                   3
                        kalau disedot                     2
                        Tak ada batuk                   1
        
Respons motorik    Mengikut perintah           4
                           Gerakan bertujuan          3
                           Gerakan tanpa tujuan      2
                           Tak ada respons              1

Respirasi         tanpa intubasi                      5
                      spontan, terintubasi             4
                      mentriger ventilator             3
                      bernafas melawan ventilator 2
                      tak ada usaha respirasi         1

Tingkatan sedasi:ditentukan dari jumlah angka dari
masing masing ketegori.
                       bangun                                      17
                       tidur                                       14- 16
                       sedasi ringan                           11- 13
                       sedasi sedang                           8 - 10
                       sedasi dalam                            5 - 7
                       teranestesi                                4


Penilaian terhadap nyeri yang paling akurat adalah lapor
an pasien sendiri kalau pasien  komunikatif.(8)
Penilaian nyeri sebaiknya meliputi penyebab(yang membe
ratkan atau meringankan),intensitas,lokasi,sifat dan lama
nya nyeri.(3)

VAS (visual analogue scale) adalah instrumen yang sering
digunakan untuk menilai intensitas nyeri yang berkisar
antara tanpa nyeri sampai nyeri tak tertahankan.(3,7)
Pasien menunjukkan intensitas nyerinya diantara
0 mm(tak nyeri) dan 100 mm(sangat nyeri), lebih dari 30mm ditetapkan melampaui nyeri moderate.(7)

Penilaian nyeri juga bisa digunakan NRS(numering rating
scale) dimana pasien menunjukkan nilai nyeri yang dirasa
kannya secara lisan atau menulis keluhannya pada NRS 
satu nomor diantara 0(tak ada nyeri) sampai 10 (sangat
nyeri),lebih mudah memakainya daripada VAS dengan de
mikian lebih disukai untuk populasi geriatri yang cende
rung meningkat insiden perubahan neurologik dan rendahnya ketajaman visus,pasien dengan kelainan neurologik juga untuk anak kecil.(3,7)
Namun vailiditasnya terbatas karena dipengaruhi oleh sen
sasi lainnya umpama pasien yang sangat depressi atau 
cemas dilaporkan, level nyeri yang lebih tinggi dibanding
kan dengan pasien tanpa depressi atau cemas.(7)

Pasien yang nonkomunikatif seperti sakit kritis,teranestesi
atau mendapat relaksan mungkin BPS(behavioral physiolo
gical scales)(behavior pain scale) dan CPOT(critical care pain observation toll) yang berdasarkan observasi tingkah
laku pasien(expressi wajah,gerakan tubuh,tegangan otot
dan sinkron/tidak dengan ventilator) dan indikator fisio
logi (laju jantung,tekanan darah,laju nafas sebagai alternatif penilaian nyeri.(3,7,8)
Penilaian terhadap tidur yang paling baik adalah laporan 
pasien sendiri oleh karena polysomnography bukanlah 
alat ukur yang mudah dilakukan pada pasien kritis bila
pasien tak mungkin melaporkan maka laporan observasi
sistematis oleh perawat tentang waktu tidur pasien telah
terbukti menjadi alat ukur yang absah.

bersambung

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More