Brain failure(gagal otak) adalah diagnose baru dalam dunia kedokteran, menurut International Classification of Diseases tahun 2003 ,edisi 9 menyatakan istilah failure dikaitkan dengan diagnosis cardiac,cardiorenal,cardio
vascular,hepatorenal,congestive heart,hepatic,renal failure tetapi tidak dikenal istilah brain failure.(1)
Menurut David Weissman,brain failure adalah hilangnya secara progressif daya ingat(memori),menentukan sikap
kemampuan bicara, ambulasi,kontrol bowel/bladder dan proteksi airway.(1)
Istilah yang lebih baru dalam literatur, brain failure merupakan sindrom spesifik ditandai dengan delirium diruang rawat intensif, juga dikenal sebagai intergrative brain failure atau acute brain failure.(6)
Penelitian Elly et all melaporkan 83% kelompok pasien ICU
mengalami delirium dengan karakteristik gangguan kesa
daran dan kognitif (memori,disorientasi),kurangnya per
hatian/kewaspadaan dan mungkin disertai agitasi sifatnya fluktuatif dan onsetnya akut.(6)
Sedasi adalah proses menenangkan,tujuan utama sedasi adalah meringankan kecemasan, ketidaknyamanan pasien untuk mempermudah perawatan dan pengobatan karena banyak faktor yang mendukung timbulnya stress fisik mau
pun psikis pada pasien kritis di ICU.(2)
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri atau stimulus mengganggu Nyeri akan mencetuskan stress respons
yang berpengaruh jelek terhadap pasien antara lain:
Respons neuroendokrin:
-meningkatnya tiroksin,glukokortikoid,aldosteron,
angiotensin dan growth hormon.
Pespons simpato adrenal:
-meningkatnya katekolamin
-meningkatnya kerja jantung,konsumsi oksigen.
Melemahkan respirasi:
-batuk tak efektif,retensi sputum,atelektasis,
menurunnya ventilasi alveolar dan FRC.
Immobilsasi karena nyeri:
-meningkatnya resiko deep vein thrombosis(DVT).
-meningkatnya stasis intestinal.
Terganggunya waktu tidur:
-Berkembangnya psikosis ICU.
Pasien ICU bisa mengalami tak nyaman atau nyeri oleh karena penyakitnya sendiri, prosedur invasif maupun trauma.(3)
Pengelolaan nyeri yang efektif adalah penting dalam pengelolaan sedasi dan meningkatkan kenyamanan pasien,cepatnya penyembuhan dan menurunkan komplikasi penyakitnya.
Kombinasi sedasi dan analgesia yang efektif dapat mengu
rangi stress respons pada pasien kritis.
Semua pasien kritis berhak mendapatkan sedasi dan anal
gesi yang cukup.
STRESS RESPONS :
Respons tubuh terhadap stress dengan melepaskan stress hormon(kortisol dan katekolamin)
Stressor adalah apapun yang menyebabkan stress respons bisa berupa stress fisik atau psikis keduanya menyebabkan respons yang sama.
Stress respons merupakan bagian dari reaksi sistemik yang meliputi pengaruh yang luas terhadap endokrinologik,
immunologik dan hematologik(4)
Banyak faktor yang menyebabkan stress respons antara lain adalah:(3)
Kecemasan dan ketakutan terhadap yang berkaitan penya
kitnya(dyspnoe,batuk yang berlebihan), lingkungannya (monitor,penerangan,suara terus menerus,suhu).(3.6)
Nyeri (tindakan invasif,post operatif,penyakitnya).
Tidak nyaman(immobilisasi,intubasi,modes ventilasi tak sinkron dengan pernafasan fisiologis,paralisis dengan relaksan tetapi dengan sedasi yang tak adekuat,tak bisa berkomunikasi,tidur terganggu,ketergantungan pada orang lain ,haus dan kelaparan).
Kondisi hipotermia,hipertermia,hipovolemia,hipoksia dan
sepsis merupakan faktor meningkatkan stress respons.
RESPONS ENDOKRIN:(4,5)
Stressor akan menstimulasi hipotalamus mengaktifkan hipotalamik-pituitari-adrenal sistem dimana neuron neurosekretori hipotalamus melepaskan hormon(releasing hormone) menduduki reseptor spesifik pada hipopise mengatur pembebasan hormon yang diproduksi.
Stress respons terhadap pembedahan ditandai dengan meningkatnya sekresi hormon hipopise dan aktivasi sistem saraf simpatis melepaskan adrenalin dan noradrenalin yang berperan dalam fight and flight respons.
Perubahan sekresi hormon hipopisa mempengaruhi sekresi hormon dari target organ.Umpama pelepasan hormon corticotropin dari hipopisa anterior menstimulir sekresi cortisol dari cortex adrenal.
Cortisol mempengaruhi metabolisme karbohidrat,lemak dan protein.
Meningkatkan pemecahan protein dan glukoneogenesis dalam liver.Menghambat pemakaian glukose oleh sel sehingga kadar gula darah meningkat.
Cortisol mempermudah lipolisis yang meningkatkan pro duksi prekursor glukoneogenik dari pemecahan trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak.
Cortisol juga punya sifat anti imflamasi dengan mengham
bat akumulasi makrophage dan neutopil masuk kearea inflamasi dan mengganggu sintesis mediator inflamasi terutama prostaglandin.
Cortisol juga meningkatkan produksi katekolamin.
Vasopressin arginin disekresi dari hipopisa posterior mempengaruhi fungsi ginjal sebagai hormon anti diuretik sedangkan pada pancreas meningkatkan sekresi glukagon tetapi menurunkan sekeresi insulin.
Keseluruhan pengaruh metabolisme akibat perubahan hormonal ini adalah katabolisme yang meninggi yang memobilisir substrat untuk penyediaan energi dan meka
nisme menahan air dan garam untuk mempertahankan
volume cairan tubuh dan homeostasis kardiovaskular.
Tujuan stress respons untuk melindungi fungsi tubuh kalau
prosesnya singkat tetapi bila berlarut larut akan merusak
neuron otak.
SEDASI DAN ANALGESIA:(2,6,7)
Suatu keadaan dimana memungkinkan toleransi pasien
terhadap prosedur yang kurang menyenangkan sementara
fungsi kardiorespirasi stabil,dan kemampuan merespons
secara penuh perintah verbal dan stimulasi rabaan.
Sasaran sedasi berbeda pada masing masing pasien dan
berubah sesuai dengan perkembangan penyakit apakah
membaik atau memburuk.
Ada tiga alasan utama mengapa sedasi dan analgesi yang
adekuat diperlukan pada pasien kritis:
Pertama sedasi dan analgesi menjamin level optimal kete
nangan pasien terutama dapat istirahat/tidur yang cukup.
Kedua dapat menurunkan stress respons(meredam respons
autonomik,menurunkan konsumsi oksigen) dan ketiga mempermudah prosedur diagnostik,terapeutik dan perawatan pasien.
Banyak cara membantu pasien tanpa obat(non farmakolo
gik sedasi)untuk mentolerir kondisinya selama perawatan di ICU,antara lain berbicara bersama pasien menenangkan hatinya,lingkungan yang menyenangkan,menghindarkan tekanan pada bagian tubuhnya,perawatan mulut mengu
rangi perasaan haus,immobilisasi yang tidak terlalu ketat semuanya sangat penting untuk memberikan kenyamanan pada pasien.
Management nyeri yang adekuat dan tambahan analgesia
untuk mengatasi nyeri akibat intervensi pemasangan moni
tor invasif,pengisapan lendir pipa trakea dan lain lain.
Ventilasi mekanik sangat baik ditolerir jika assisted mode
yang dipilih dan sinkron dengan respirasi pasien seperti
BIPAP(biphasic positive airway pressure).
Untuk ventilasi jangka panjang alternatif lebih menyenang
kan adalah trakeostomi dibandingkan intubasi orotrakeal.
Bila memakai pelemas otot haruslah cukup sedasi mence
gah kecemasan pasien karena bangun dan tidak bisa bergerak.
Biasanya bila pasien ditanya sesudah meninggalkan ICU ma
ka jawabanya adalah cemas dan nyeri merupakan faktor
pengganggu yang paling banyak.
PENILAIAN SEDASI YANG ADEKUAT:
Menentukan cukup tidaknya sedasi agak sulit karena sifat
nya subjektif,padahal ini penting secara rutin dilakukan
di ICU untuk mencegah bahaya kurangnya dan berlebihnya
tingkatan sedasi yang meningkatkan morbidity bahkan mor
tality pasien pasien di ICU.(6)
Kurangnya tingkat sedasi(under sedation) akan menimbul
kan efek yang tak diinginkan seperti meningkatnya produk
si katekolamin endogen dengan akibat naiknya laju
jantung,tekanan darah dan konsumsi oksigen myokardium dengan resiko iskemia atau infarct myokard dan menurun
nya volume paru,sulit batuk,retensi sputum ,atelektasis,
menurunnya motilitas lambung/usus/meteorismus,retensi
urine,tak bisa bergerak menyebabkan DVT(deep vein thrombosis),spasmomuskuloskletal,tak bisa tidur dan
mungkin berkembangnya gangguan post traumatic stress(skuele mental) yang memerlukan terapi jangka panjang sesudah pulang.
Sementara kelebihan tingkat sedasi(oversedation)beresiko
depressi pernafasan,mempermudah sinkron ventilator teta
pi memperpanjang proses weaning sedangkan pasien
tanpa intubasi cenderung hiperkarbia,hipoksia sampai henti nafas.
Padahal tidak ada monitor yang peka untuk depresi nafas
pasien yang tanpa intubasi yang mendapat suplementasi oksigen .Dalam kondisi seperti ini,parameter untuk depressi nafas hanya respiratory pattern dan tingkat kesadarannya.
Laju nafas dan End tidal CO2 via kanula nasal bukanlah mo
nitor dipercaya menunjukkan depressi pernafasan.
Sedangkan pulse oximeter adalah detektor yang tak akurat dan terlambat menentukan depressi pernafasan ketika ada peninggian konsentrasi oksigen inspirasi.
Lebih dari 25 tahun yang lalu telah dimulai usaha mengon
trol kedalaman sedasi yang tepat sama pentingnya dengan
mengontrol hemodinamik,keseimbangan cairan dan elek
trolit ,parameter oksigen dan metabolik.
Banyak teknik yang digunakan mengevaluasi tingkatan sedasi namun umumnya kurang dipercaya.
Beberapa skala sedasi objektif seperti Ramsay Sedation Scale(RSS) dan Sedation Agitation Scale(SAS) telah dibuat.
Skala skoring Ramsay paling tua dan banyak digunakan namun belum dianggap valid untuk menilai sedasi secara objektif.(2,7)
Ramsay sedation scale:(2)
Level 1:pasien sadar,cemas dan gelisah atau keduanya.
2:pasien sadar,koperatif,orientatif dan tenang.
3:pasien tidur,respon hanya terhadap perintah
lisan.
4:pasien tidur,respon cepat terhadap ketukan
ringan di glabella atau stimulus suara yang keras.
5:pasien tidur,respons yang lamban terhadap
ketukan ringan diglabella atau stimulus suara
yang keras.
6:pasien tidur,tidak respons terhadap terhadap
ketukan ringan diglabella atau stimulus suara
keras.
Level 2 atau 3 biasanya menunjukan skala sedasi yang ideal.
Kekurangan RSS tergantung pada kemampuan pasien merespons stimulus yang tak menyakitkan dengan demikian RSS tak bisa menilai pasien yang mendapat pelemas otot.
Pada level 1 tak ada ketentuan tingkat agitasinya dan kedalaman tidurnya pada level 6 tak bisa dibedakan koma
yang dalam atau dalam kondisi general anestesi yang ringan.
Riker Sedation Agitation Scale adalah skala pertama yang
terbukti terpercaya pada pasien dewasa krtitis. Untuk menilai tingkat kesadaran dan agitasi pasien terdiri dari 7 item.
Nilai Uraian Definisi
7 Agitasi berbahaya Mencabut pipa
trakeal,infus,kate
ether,melawan staff.
6 Sangat agitatif Ribut terus walau
sering diingatkan,
perlu dibatasi ge
rakannya dan
menggigit pipa
trakeal.
5 Agitatif Gelisah dan agitasi
tetapi tenang bila
diperintah lisan.
4 Tenang,koperatif Tenang,mudah diba
ngunkan,mengikuti
perintah.
3 Tersedasi Sulit bangun, tapi
mudah bangun bila
distimulus dengan
lisan atau goyang
an tetapi tidur lagi
2 Sangat tersedasi Bangun dengan
stimulus fisik tetapi
tidak berkomuikasi
maupun ikut perin
tah.
1 Tak bisa bangun Minimal atau tidak
respons walaupun
stimulus nyeri,tak bi
sa komunikasi atau
ikut perintah.
Level 3 atau 4 menunjukkan tingkat sedasi yang ideal.
Richmond Agitation Sedation Scale(RASS) merupakan alat
menilai sedasi dan agitasi terpercaya dewasa ini:(7,8).
Nilai Istilah Deskripsi
+4 Combative Melawan,menyerang,bengis
membahayakan staff.
+3 Sangat agitatif Agressif,mencabut pipa tra
keal dan kateter.
+2 Agitatif Melawan ventilator, gerakan
tanpa tujuan.
+1 Gelisah Cemas tetapi gerakan tak
begitu agressif.
0 Tenang,waspada
-1 Mengantuk Tak begitu awas,tetapi
tetap terbangun(mata
membuka/menatap)
terhadap stimu suara
>= 10 detik.
-2 Sedasi ringan Cepat bangun dengan
mata menatap dengan
stimulasi suara <10 detik.
-3 Sedasi sedang Gerakan dan mata membu
ka terhadap stimulus sua
ra tapi mata tak menatap
-4 Sedasi dalam Tak respons terhadap su
ara,tak ada gerakan atau
mata membuka terhadap
stimulasi fisik.
-5 Tak bisa dibangunkan Tak ada respons terhadap
stimulus suara & fisik.
Prosedur penilaian sedasi menurut RASS:(8)
1.Amati pasien
a.Pasien penuh perhatian,gelisah atau agitasi(skor 0-4)
2.Kalau tak perhatian, panggil nama pasien, suruh membu
ka mata dan melihat ke yang bicara :
b.Pasien terbangun dengan mata membuka dan mena
tapi yang bicara agak lama (skor -1 )
c.Pasien terbangun ,membuka mata dan menatap yang
bicara tetapi tak bertahan lama.(skor -2)
d.Pasien bergerak merespons terhadap stimulus suara
tetapi tanpa tatapan mata.(skor-3)
3.Kalau tidak ada respons terhadap stimulasi verbal, maka
pasien distimulir dengan menggoyang bahu dan atau
menggosok gosok dadanya.
e.Pasien bergerak merespons stimulasi fisik.(skor -4)
f. Pasien tak respons terhadap stimulus apapun.
Note: Skor (-2,-3 dan -4) menunjukkan sedasi ringan, sedang dan dalam.
System skoring untuk mengukur kedalaman sedasi yang
kurang subjektif dan lebih mendekati :
Respons Level dari respons Skor sedasi
Buka mata spontan 4
perintah lisan 3
rangsang nyeri 2
tak membuka 1
Batuk spontan kuat 4
spontan lemah 3
kalau disedot 2
Tak ada batuk 1
Respons motorik Mengikut perintah 4
Gerakan bertujuan 3
Gerakan tanpa tujuan 2
Tak ada respons 1
Respirasi tanpa intubasi 5
spontan, terintubasi 4
mentriger ventilator 3
bernafas melawan ventilator 2
tak ada usaha respirasi 1
Tingkatan sedasi:ditentukan dari jumlah angka dari
masing masing ketegori.
bangun 17
tidur 14- 16
sedasi ringan 11- 13
sedasi sedang 8 - 10
sedasi dalam 5 - 7
teranestesi 4
Penilaian terhadap nyeri yang paling akurat adalah lapor
an pasien sendiri kalau pasien komunikatif.(8)
Penilaian nyeri sebaiknya meliputi penyebab(yang membe
ratkan atau meringankan),intensitas,lokasi,sifat dan lama
nya nyeri.(3)
VAS (visual analogue scale) adalah instrumen yang sering
digunakan untuk menilai intensitas nyeri yang berkisar
antara tanpa nyeri sampai nyeri tak tertahankan.(3,7)
Pasien menunjukkan intensitas nyerinya diantara
0 mm(tak nyeri) dan 100 mm(sangat nyeri), lebih dari 30mm ditetapkan melampaui nyeri moderate.(7)
Penilaian nyeri juga bisa digunakan NRS(numering rating
scale) dimana pasien menunjukkan nilai nyeri yang dirasa
kannya secara lisan atau menulis keluhannya pada NRS
satu nomor diantara 0(tak ada nyeri) sampai 10 (sangat
nyeri),lebih mudah memakainya daripada VAS dengan de
mikian lebih disukai untuk populasi geriatri yang cende
rung meningkat insiden perubahan neurologik dan rendahnya ketajaman visus,pasien dengan kelainan neurologik juga untuk anak kecil.(3,7)
Namun vailiditasnya terbatas karena dipengaruhi oleh sen
sasi lainnya umpama pasien yang sangat depressi atau
cemas dilaporkan, level nyeri yang lebih tinggi dibanding
kan dengan pasien tanpa depressi atau cemas.(7)
Pasien yang nonkomunikatif seperti sakit kritis,teranestesi
atau mendapat relaksan mungkin BPS(behavioral physiolo
gical scales)(behavior pain scale) dan CPOT(critical care pain observation toll) yang berdasarkan observasi tingkah
laku pasien(expressi wajah,gerakan tubuh,tegangan otot
dan sinkron/tidak dengan ventilator) dan indikator fisio
logi (laju jantung,tekanan darah,laju nafas sebagai alternatif penilaian nyeri.(3,7,8)
Penilaian terhadap tidur yang paling baik adalah laporan
pasien sendiri oleh karena polysomnography bukanlah
alat ukur yang mudah dilakukan pada pasien kritis bila
pasien tak mungkin melaporkan maka laporan observasi
sistematis oleh perawat tentang waktu tidur pasien telah
terbukti menjadi alat ukur yang absah.
bersambung
0 comments:
Post a Comment