Tuesday, August 30, 2011

Perawatan Masa Pulih Sadar/Pasca Anestesi (BAGIAN 1)

Bookmark and Share

MATERI KULIAH PROGRAM LATIHAN PERAWAT  ICU/CCU RUMAH SAKIT TELOGOREDJO SEMARANG
dr  Abdul Lian   RS Telogorejo Semarang


Pendahuluan :  


Perawatan pada masa pemulihan paska anestesi dilakukan di ruang pulih sadar (recovery room) dan dalam kondisi tertentu dilanjutkan di ruang unit intensif.


Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka sepanjang hari dan pengamatan secara intensif dilakukan didalamnya.


Ini penting dimaklumi bahwa selama masa pulih sadar penyulit pasca operasi /anestesi sering terjadi malah lebih sering kekerapannya dibandingkan masa induksi maupun durante operasi.


Hal ini bisa dimengerti karena pada masa transisi tersebut kesadaran penderita belum pulih secara sempurna sehingga kecenderungan terjadi sumbatan jalan nafas lebih besar ditambah lagi reflex perlindungan seperti reflek batuk, muntah maupun menelan belum mantap kemungkinan terjadi aspirasi sangat riskan dimana pengaruh obat anestesi dan trauma pembedahan masih belum hilang yang masih mengancam status respirasi dan kardiovaskular penderita.


Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda vital penderita merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang tidak diinginkan.


Keterlambatan dalam mendeteksi terjadinya penyulit membuat langkah tindakan yang diambil menjurus ke arah yang sia sia belaka, disinilah letak peranan perawat intensif yang sangat menentukan keberhasilan upaya penyelamatan penderita gawat darurat.

SASARAN :


Yang ingin dicapai adalah mengurangi bila mungkin mencegah berkembangnya penyulit yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan kematian atau perluasan penyakit yang sudah ada.

Contoh : 


Penderita yang semula keadaan umumnya baik tiba-tiba meninggal karena obstruksi jalan nafas oleh lidahnya sendiri karena posisi kepala yang tidak benar.

SYARAT :


Untuk mencapai sasaran yang diinginkan perlu dipertimbangkan :
a.Kondisi ruangan yang mantap   
   Jarak dari ruang bedah dekat dan bebas hambatan 
   (penghematan waktu dalam kecepatan mengambil 
    tindakan).
    Penerangan yang cukup sehingga setiap perubahan segera 
    cepat terlihat. 
    Kebersihan setaraf kamar bedah mencegah kontaminasi 
    dan perlengkapan/fasilitas yang sempurna.

b.Kondisi personal yang adekuat/cukup :
   Terampil dalam bidang gawat darurat. 
   Jumlahnya cukup, minimal satu perawat untuk tiga 
    penderita bila banyak penderita yang kritis diharapkan 
    satu perawat untuk dua penderita atau bila perlu untuk 
    satu penderita, bila mungkin perawat cadangan selalu 
    dipersiapkan.

Perlengkapan :


Makin sempurna perlengkapan yang tersedia makin baik hasil yang dicapai asal kualitas pengelolaannya juga baik terutama dedikasinya.

Alat resusitasi :
- Air viva ( Ambu bag ) harus tersedia untuk dewasa/anak 
  dan bayi untuk memberi nafas bantu bila diperlukan.
  Pipa oro faring ( Guedel airway) atau nasofaring.
  Pipa oro/naso faring berbagai ukuran, untuk membebaskan 
  jalan nafas terutama karena sumbatan oleh lidah yang 
  jatuh kebelakang menutup faring pada pasien tidak sadar 
  sekaligus mempermudah pembersihan lendir dimulut 
 /rongga faring tanpa membuka mulut pasien dan mencegah 
  lidah tergigit bila pasien kejang.


Untuk penderita obese(gemuk) tampaknya pipa nasofaring lebih terpilih. Pipa oro faring yang terlalu panjang malah bisa menutup glottis sedang bila terlalu pendek maka pangkal lidah lebih menyumbat, untuk itu ukuran masing-masing orang harus disesuaikan.


Pipa orofaring yang terbaik bila digigit pasien tak akan menutup saluran udara. Hati-hati penderita setengah sadar dengan kondisi hipoksia/hiperkarbia cenderung terjadi vagal reflek berupa spasmolaring bila jalan nafas dirangsang baik oleh pengisapan lendir atau pemasangan pipa oro/naso
faring.Bila terjadi spasmo laring berikan ventilasi bantu dengan pemberian 0ksigen 100%.

Pipa (oro dan naso) trakea :


Dipasang bisa lewat mulut atau hidung( lebih lunak dan lobang distal bentuk ellips).
Ukuran sesuaikan dengan umur, postur biasanya diameter kelingking pasien.


Penting untuk : 


- membebaskan jalan nafas
- memberikan nafas bantu baik manual maupun ventilator
- mempermudah membersihkan jalan nafas (bronchial 
  toilet)memberikan hiperventilasi untuk terapi tekanan 
  intra kranial.

Ventilator :
Alat bantu nafas otomatis menghemat tenaga personil.
Pemasangan alat ini memerlukan keterampilan dalam menentukan settingnya.

Defibrilator:
Penting untuk terapi kasus ventrikel fibrillasi atau tachycardi.

Cairan infus dan infus set:
Terutama cairan kolloid,kristaloid /elekrolit.


Cairan dextrose 5% tak mendapat tempat dalam resusitasi karena akan dihidrolisa gulanya sementara tinggal air yang akan memasuki sel otak yang memperberat odem otak akibat hipoksianya sendiri.


Pemasangan infus sebaiknya dilengan untuk mengurangi bahaya phlebitis apalagi untuk jangka panjang.


Untuk keperluan transfusi jarum infus diameter besar  lebih menguntungkan karena bila  tetesan cepat dibutuhkan dalam kondisi shock hypovolemia. Bandingkan bila infus ditinggikan dua kali maka kecepatan infus tetesan infus akan dua kali lipat sementara bila diameter jarum infus
dua kali lebih besar maka kecepatan tetesan infus bisa 16x lipat.


Dalam keadaan darurat vena jugularis externa boleh dipilih bila vena perifer lainnya kollaps.


Elektrocardioskop:


Untuk memantau aktifitas listrik jantung terutama keadaan aritmia sehingga terapinya lebih terarah sesuai dengan jenis aritmianya.


Sumber oksigen :


Tabung atau sentral.


Setiap penderita tak sadar harus diberi oksigen.
Cara menggunakannya sesuai dengan alat yang tersedia dan besarnya konsentrasi tergantung kebutuhan penderita.
Bahaya keracunan oksigen perlu dipertimbangkan dalam pemberian oksigen konsentrasi tinggi,dalam waktu yang lama namun harus punya prinsip bila konsentrasi tinggi diperlukan jangan takut memberikannya asal dipantau dengan baik,karena biarlah paru jadi kaku sebab kelebihan oksigen daripada otak jadi bubur karena kekurangan oksigen.


Saturasi oksigen darah dipantau untuk mengetahui ada
nya hipoksia secara dini sebab cyanosis adalah gejala
hipoksia yang berat.


Alat penghisap lendir :


Mesin penghisap
Kateter penghisap steril
Sarung tangan steril
Penghisap lendir untuk mulut harus dipisahkan dengan penghisap untuk lendir dihidung karena disamping kurang manusiawi juga resiko infeksi tinggi.


Alat pemeriksaan rutin :


Tensimeter,termometer,stetoskop,Hb meter,senter dan gelas ukuran untuk mengukur produksi urine.
Alat lain sebagai tambahan tapi penting adalah :
Vena sectie set,tracheostomi set,bronchoscope,humidi
fier,sonde lambung dan kateter urin.


Obat darurat :


Paling utama adalah adrenalin,sulfas atropin,natrium bikarbonas dan calcium chlorida.


Yang penting berikutnya adalah :


Vasopressor(epedrine,noradrenalin,metaraminol),cardiotonika(dopamin,dobutamin,cedilanid),antiaritmia(lidokain), 
bronchodilator(aminopilin),antikejang(penthotal,diazepam,phenytoin),anti histamin(delladril),corticosteroid(cortison asetat,dexamethason,methylprednisolon),analgetik(morfin,pethidin,fentanil) dan pelemas otot.


Perlengkapan umum :


Minimal dua telepon dan call system.
Selimut panas dan dingin.
Kereta pengangkut pasien post operasi minimal satu setengah kali jumlah kamar operasi.


bersambung

Sunday, August 28, 2011

Reseptor Opioid Dan Ketergantungan Obat (BAGIAN 2)

Bookmark and Share

AFINITAS DAN KEMANJURANNYA : 


Bergantung pada afinitas reseptor opioid yang berlainan dapat menimbulkan efek samping yang berbeda atau berbeda pula dalam mudahnya naloxon mengantagonis kerja opioid tersebut.


Dari penelitian ternyata kebanyakan opioid tidak begitu berbeda afinitasnya terhadap jenis reseptor. 


Kecuali bufrenorfin semuanya menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap reseptor Mu(OP3) sedangkan terhadap kappa(OP2) hanya moderat dan kemanjurannya tinggi.


Afinitas kemanjuran petidin dan fentanil sama dengan morfin biarpun obat ini sedikit lebih aktif terhadap reseptor K(OP2).


Pentazosin afinitasnya moderat tidak manjur terhadap reseptor Mu (OP3) (antagonis) tetapi afinitas rendah dan sangat manjur terhadap reseptor K(OP2) jadi merupakan analgesik reseptor K(OP2).


Bufrenorfin mempunyai afinitas lebih tinggi terhadap reseptor K(OP2) daripada reptor Mu (OP3). Kemanjurannya rendah dan merupakan agonis parsial.


Meth kefamid satu analog enkefalin lebih kuat dari morfin pada pemberian secara parenteral,bereaksi terhadap reseptor delta(OP1) dan Mu(OP3) dan menunjukkan toleransi menyilang terhadap morfin.

Naloxon adalah antagonis murni dari reseptor  Mu(OP3)
kappa(OP22) dan delta(OP1). 


Diperlukan dosis dua kali lebih besar untuk memblok reseptor kappa(OP2) daripada reseptor Mu(OP3) dan dosis 20x untuk memblok reseptor delta(OP1).

RESEPTOR,TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN :


Toleransi adalah fenomena pemakaian obat secara kronis sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih besar. 


Toleransi dapat timbul pada semua pasien yang memakai
narko analgesik lebih dari 1-2 minggu.


Tanda pertama timbulnya toleransi adalah menurunnya efek analgetik yang efektif. 


Toleransi bisa terjadi oleh sebab bawaan dan didapat.


Toleransi bawaan adalah berkurangnya sensitivitas tubuh terhadap obat yang diturunkan secara genetik, sedangkan toleransi yang didapat bisa disebabkan proses farmakokine
tik dan farmakodinamik.


Pemberian obat berulang akan menimbulkan perubahan distribusi dan metabolisme obat sehingga terjadi penurunan konsentrasi obat dalam darah dan selanjutnya penurunan konsentrasi obat direseptor obat, atau perubahan densitas reseptornya.


Karakteristik toleransi terhadap opiat adalah penurunan intensitas dan durasi analgesi ,euforia,sedasi dan efek lain yang diakibatkan depressi SSP dan peningkatan dosis letal rata-rata. Toleransi terhadap mual muntah sedasi,euforia dan depresi nafas terjadi secara cepat sedangkan toleransi terhadap konstipasi dan miosis adalah minimal.


Ketergantungan fisik adalah kecenderungan terjadinya sindroma abstinensia(withdrawal)(putus obat) bila dosis obat dikurangi secara tiba tiba atau bila diberikan antagonis opiat. 


Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik terhadap agonis opiat belum diketahui pasti.


Pemakaian kronis obat narkotik dapat menyebabkan kelainan SSP berupa bertambahnya jumlah reseptor opiat yang menjadi aktif diotak sesuai dengan jumlah opiat yang ada dalam darah.


Dengan PET Scan (Positron Emission Tonografi) dapat diketahui topografi struktur otak yang mengandung reseptor opiat dan kaitannya dengan efek obat pada tubuh.


Dengan PET Scan dapat pula diketahui bahwa penggunaan opiat secara kronis dapat merangsang penambahan jumlah reseptor opiat diotak.


Jumlah reeptor yang banyak ini mengakibatkan timbulnya craving (Sugesti,rasa rindu pada narkotik). 


Pemakaian opiat yang terus menerus akan menimbulkan kerusakan sistem keseimbangan alami opiat endogen yang dihasilkan otak yang pada gilirannya menyebabkan kelainan SSP berupa distres fisis dan aspek sekunder psikologis.


Telah diketahui bahwa sel noradrenergik lokus Sereleus (LS) (Nucleus pigmentosus) yang berada didasar ventrikel IV adalah satu sistem noradrenergik utama otak yang berperan dalam respons stress perilaku seseorang.


Tampaknya hiperaktifitas sel LS merupkan faktor penting yang berperan dalam proses ketergantungan, toleransi dan gejala putus obat pada manusia dan binatang (Resmich & Romussen)


Pada struktur dan fungsi membran sel LS banyak dijumpai reseptor spesifik dan klonidin. 


Bila opiat dan klonidin berikatan dengan reseptornya dimembran sel khususnya komplex protein GI(inhibisi) maka akan menghambat enzim siklase adenilat sehingga produksi cAMP dan protein kinase berkurang,hal ini mengakibatkan saluran ion kalium terbuka sekaligus menutup saluran ion natrium sehingga aktivitas seluler terhambat.


Bila opioid dipakai secara kronis maka sel sel LS beradaptasi terhadap opiat dengan menaikkan jumlah cAMP dan protein kinase intra sel sehingga sel menjadi aktif kembali dan menunjukkan toleransi terhadap pemberian  berikutnya.


Jadi opiat dikeluarkan dari reseptor dengan cara memberi antagonis (naloxon,naltreon) maka sel-sel LS menjadi hiperaktif dan banyak melepaskan hormon stress nor adrenalin otak yang akan memicu gejala putus obat (withdrawal) dikenal dengan istilah Cold Turkey oleh karena spasmo dari otot otot polos rambut (merinding).


Bagaimana proses adaptasi sel sel LS bisa terjadi pada penggunaan opiat kronis belum sepenuhnya diketahui, diduga adanya neuropeptida kolesistokinin dan N metil D Aspartat(NMDA) sebagai reseptor glutamat yang berperan sebagai sistem neurotransmitter anti opiat yang menimbul
kan toleransi opiat.


Pengaruh positif penggabungan reseptor glutamat metabo
tropik group I dan fosfodilinisitol hidroksil(mungkin juga reseptor sigma) cenderung menaikkan aktifitas protein kinase C (PKC) bersama-sama fosforilisasi reseptor opiat Mu (OP3) (proses desensitisasi ) dan peningkatan arus masuknya ion Ca melalui hubungan saluran ion dan resptor NMDA.


Kemungkinan lain adalah pengaruh negatip penggabungan reseptor glutamat metabotropik grup II dan III dan produksi cAMP memberi kontribusi peningkatan cAMP.


Berdasarkan analisis ligan radio isotop seperti Naloxon H3,fentanil isotiosinat,diinditifikasi adanya reseptor pada permukaan limposit dan makrofag/monosit manusia. 




Diketahui fungsi makrofag antara lain mensekresi sitokin interleukin I(II-I) sebagai substansi aktif pengatur fungsi tubuh penting melalui hormon pelepas kortikotropin maupun sel LS dalam sirkuit saraf komplex yang nengatur suhu badan,makanan,pola tidur dan perilaku seseorang.


Morfin sendiri dapat menghambat proliferasi makrofag sehingga dapat dipahami kekurangan sitokin interleukin( II-I) akan menimbulkan gangguan terhadap respons stress melalui mekanisme seperti diatas. 


Jadi ketergantungan obat merupkan gangguan fisiologi yang meliputi desensitisasi dan penambahan reseptor Mu desensitisasi reseptor asam amino glutamat bahkan termasuk supressi sistem imun sitokin II-I.


Dalam hal ketergantungan dan toleransi tampaknya ada perbedaan antara masing-masing reseptor opioid. 
Pada reseptor Mu agonis selalu memudahkan toleransi dan ketergantungan, pada reseptor K toleransi ada tetapi ketergantungan kurang menonjol,sementara  reseptor delta agonis juga kurang ketergantungan.

RINGKASAN :


Opiat seperti obat lainnya dalam mekanisme kerjanya haruslah bergabung dengan reseptornya. 


Dengan tehnik PET Scan dapat diketahui topografi struktur otak dan kaitannya dengan efek obat dalam tubuh dan dapat diketahui juga penggunaan kronik opiat/opioid merangsang pertumbuhan jumlah reseptor Mu diotak. 


Pertambahan jumlah reseptor aktif diotak merupakan kelainan primer pada pencandu narkotik. Desensitisasi reseptor merupakan faktor penting timbulnya toleransi dan ketergantungan obat. Dalam hal ketergantungan dan toleransi ada perbedaan masing masing reseptor.


Manipulasi reseptor opiat berperan penting dalam terapi ketergantungan obat.

RUJUKAN :
1. Stoelting Robert K: Pharmacology and Physiology in 
    Anestetic Practice ;Philadelphia JP Lippincott Co :1991

2. Collins Vincent : Opioid and Narcotic drug in Physiologic 
    and Pharmacological Bases of Anesthesia ;Pensylvania; 
    William & Wilkins 1996.

3. Santoso O.S : Analgesik Narkotik dalam Farmakologi dan 
    Terapi ed2 Bagian Farmakologi Faked UI,1980.

4. Mulyono I dkk : Opiat reseptor, efek klinis dan toleransi, 
    Anestesiologi Indonesia vol1 No.1 tahun 2000.

5. Nizar R : Tinjauan proses ketergantungan obat,   
    Anestesiologi Indonesia,vol 1 No.1 tahun 2000.

6. Djaya Smith N : Cara kerja analgetika pada analgesia epidural dalam Simposium Penanggulan nyeri pada persalinan, Paket 1 Jakarta 1986.

Reseptor Opioid Dan Ketergantungan Obat (BAGIAN 1)

Bookmark and Share

Abdul Lian dr.SpAn
Bagian Anestesiologi Faked Undip Semarang


Pendahuluan:


Among the remedies which has it pleased almighty God to give men to relieve has suffering ,no one is so universal and so efficacious as opium(Sydenhans).


Walaupun telah ditemukan berbagai jenis obat analgetik lain, opiat tetap merupakan pilihan utama sebagai terapi nyeri. Namun diperkirakan lebih kurang 2 juta penduduk Indonesia dari semua tingkat golongan terutama usia produktif telah terjerumus mengkonsumsi dan menjadi korban ketergantungan narkoba.


Salah satu jenis ketergantungan obat yaitu ketergantungan zat opiat (morfin, heroin, methadon) yang mengakibatkan gangguan fisik dan psikis.


Menurut Weisman ketergantungan obat, primer adalah problema neurologi, yang mengakibatkan problema psikologi sekunder.


Ada korelasi antara reseptor opioid, kecanduan dan mekanisme dan segala penyakitnya. Manipulasi reseptor opioid  berperan dalam kasus ketergantungan opiat yang merupakan metode penyembuh ketergantungan obat dekade terakhir ini.

OPIUM, OPIAT DAN OPIOID :


Opium adalah getah papaver somniferum yang telah dikeringkan yang banyak ditemukan di Turki dan India. 
Tepung opium terdiri dari berbagai unsur tetapi unsur farmakologi aktif adalah alkaloid (25 jenis ) yang pertama kali diisolasi oleh Sturner (1803).


Alkaloid yang diperoleh dari opium dapat digolongkan kedalam dua grup yaitu grup fenantren dan benzili isoquinolin. Morfin adalah alkaloid utama grup fenantren sedangkan papaverin mewakili isoquoinolin.


Pengaruh narkotik tergantung cincin nitrogen tertiair dan potensinya (analgesi,hipnosis, depressi nafas), tergantung pada gugus hidroksil fenolik struktur inti fenantren, dimana terbukanya cincin fenantren akan menghilangkan efek narkotik.


Sedangkan gugus hidroksi alkoholik berhubungan dengan stimulasi susunan saraf pusat(SSP) yang mengkounter efek depressi dari gugus fenolik.


Bila atom H pada gugusan fenolik diganti maka efek analgetik narkotik dan depressi nafas akan menurun sebaliknya bila atom H pada gugusan hidroksil alkoholik diganti umpama dengan acetil maka efek narkotik dan depressi nafas akan meningkat.

Opiat adalah obat yang diperoleh dari alkaloid opium umpama morfin. Opioid adalah zat zat yang sifatnya mirip morfin berikatan dengan reseptor spesifik. Opioid yang diisolasi dari berbagai struktur otak dimana reseptor opiat ada disebut opioid endogen (endorfin berasal dari endogen dan morfin).


Opioid eksogen adalah opioid yang disintese/ semi sintesis seperti heroin ,metadon,petidin. 


Opioid endogen adalah antara lain met dan leuenkefalin, dinorfin dan alfa,beta,gamma dan delta endorfin. 


Semua endorfin sama aktif dengan morfin kecuali beta endorfin (5-10) kali lebih poten dari morfin.

Endorfin terutama ditemukan di hipotalamus yang berfungsi analgesia, euforia dan perubahan tingkah laku.


Sementara yang ditemukan dihipopisa berfungsi mengatur vasopresin,prolaktin dan hormon pertumbuhan. 


Beta endorfin dilepas kedalam ventrikel III dari axon yang berasal dari hipotalamus melalui Liquor Cerebro Spinalis (LCS) menuju medulla spinalis dan dapat mensupresi hantaran nyeri di substansia glatinosa. 


Metionin dan leusin enkefalin, 2 macam zat yang diisolasi oleh Hughes (1975) dalam flipotrofin hipopise, mirip dengan pentapeptida yang memiliki khasiat seperti morfin. 


Enkefalin tersebar luas pada batang otak,substansia abu-abu dan substansia glatinosa medulla spinalis dan saluran pencernaan, bekerja sebagai neuromodulator ketika dilepas disubstansia glatinosa menghambat substansi P dan pelepasan asetilkolin pada otak.


Diketahui bahwa substansi P merupakan neurotransmitter yang menstimulasi reseptor neurokinin(NK-I) pada ujung aferen serabut C dikornu dorsalis medulla spinalis membuka pintu gerbang masuknya ion calsium menggeser ion magne
sium dari reseptor NMDA sehingga meningkatkan eksitabili
tas sel.
 
Opioid diklasifikasi sebagai agonis,agonis antagonis dan antagonis, ada juga memasukkan agonis parsial. Disebut agonis bila hubungan dengan reseptor dapat menghasilkan efek maksimal yang bergantung dosis yang diberikan (morfin,meferidin,fentanil dan lain lain). Agonis antagonis, opioid yang bekerja sebagai agonis pada satu jenis reseptor dan bersifat antagonis terhadap reseptor lain(pentazocin).


Antagonis adalah opioid yang tidak punya efek pada dosis klinis tetapi dapat berkompetisi menggeser agonis dari reseptornya (Nalokson).


Agonis parsial tidak dapat nenghasilkan efek penuh pada reseptor dan tidak dipengaruhi dosis yang diberikan (bufrenorfin).
                 
KLASSIFIKASI  OPIOID :
=============================================================
AGONIS                         ANTAGONIS                    AGONIS ANTAGONIS      
=============================================================
Morfin                           Nalokson                           Pentazosin         
Meperidin                      Naltrexon                          Butarfanol
Fentanil                                                                                                                           Nalbufin                         Sufentanil                         Bufrenorfin
Penoferidin                                                           Nalorfin
Kodein                                                                  Bremazosin
Metadon                                                                Dezosin
Heroin
Hidromorfin

RESEPTOR OPIOID :


Kita ketahui reseptor obat ialah makromolekul yang umumnya molekul enzim atau komponen fungsional dari sel bisa terletak pada membran sel didalam atau diluar sel. Penggabungan obat dengan reseptor merupakan reaksi permulaan dalam satu rangkaian reaksi yang pada akhirnya menimbulkan efek obat.


Dengan menggambarkan bahwa semua obat harus berga
bung dengan suatu reseptor dulu berbagai fenomena efek obat,seperti hubungan antara dosis dan efek dan antara waktu dan efek lebih mudah dimengerti. 


Bagaimana mekanisme kerja opiat(opioid) sampai menimbulkan efeknya harus ada penggabungan dengan reseptornya.


Pada tahun 1954 Becket dan Casey memulai konsep farmakologi tentang adanya tempat ikatan spesifik opioid yang kemudian disebut reseptor opioid.


Martin Cs menemukan tiga macam reseptor opioid pada anjing yaitu reseptor U(Mu),K(Kappa) dan S(Sigma), dimana reseptor U(Mu)(m dari morfin) bertanggung jawab terhadap analgesia supraspinal, euforia, ketergantungan dan depresi nafas terutama terletak pada brain stem/thalamus.


Reseptor K(Kappa) (K dari ketocyclazocine) satu analgetik tipe agonis antagonis yang bertanggung jawab terhadap efek spinal analgesi,sedasi,miosis, dan depresi nafas terutama terletak pada kortek serebri.


Reseptor S(Sigma) (S dari SKF 10047) suatu benzomorfan dengan aktifitas yang aneh yaitu eksitasi dan haluksinasi.


Kemudian ditemukan reseptor delta (d dari vasdeferen tikus) yang diaktifkan secara selektif oleh opioid endogen (leu dan met enkefalin) yang bekerja memodulasi reseptor mu. Reseptor epsilon(e dari endorfin) terutama diaktifkan oleh peptida endogen beta endorfin.


Kemudian ditemukan subtipe mu (mu1 dan mu2) dimana reseptor mu1 bertanggung jawab atas analgesia opiat sedangkan mu2 bertanggung jawab terhadap depresi nafas, bradikardi dan ketergantungan opiat.


Tetapi kloning reseptor mu tidak berhasil menunjukkan adanya reseptor subtipe mu1 dan mu2. 


Reseptor mu, kappa dan delta merupakan reseptor yang terlibat dalam mekanisme antinosiseptif dengan opioid yang diberikan secara sistemik atau secara lokal pada permukaan medulla spinalis,terletak di medulla spinalis terutama di substansia glatinosa (lamina I &V) dan akar dorsalis.


Sedangkan distribusi yang lebih luas dan diffus berada dalam substansia abu abu diseluruh medulla spinalis sesuai tempat berakhirnya serabut C di medulla spinalis. 


Perbandingan distribusi reseptor kappa,mu,dan delta dalam medulla spinalis adalah 50%,40% & 10%.


Reseptor opioid tersebar di SSP dari konsentrasi paling tinggi sampai paling rendah adalah globus palidus, substansia abu-abu periakuaduktal, medial thalamus, amigdala,area pontine,medulla oblongata,caudatus, putamen,lateral thalamus, hipothalamus ,cerebellum 
dan girus hipokampus.


Menurut Jacquet ada dua reseptor utama di SSP :


1.Reseptor endorfin yang punya affinitas streospesifik untuk 
   opiat yang memediasi efek analgesi dan katatoni dan 
   sensitif terhadap naloxon dikenal sebagai reseptor mu.

2.Reseptor yang punya afinitas non streospesifik untuk 
   opiat berhubungan dengan explosive motor behaviour 
   tetapi insensitif terhadap naloxon oleh Lord dan Kosterlitz 
   dikenal sebagai reseptor delta.

Reseptor endorfin punya affinitas terhadap morfin dan endorfin bila ditempati opiat akan menginhibisi aktifitas reseptor kedua.


Bila tidak diduduki opiat atau diduduki antagonis maka akan muncul explosive behaviour seperti sindroma abstinensia.


Reseptor delta punya afinitas terhadap hormon adrenokor
tikotropin peptida, pemakaian adreno kortikotropin keda
lam substansia abu-abu perakuadektal akan menimbulkan sindrome abstinensia.


Untuk menyeragamkan klassifikasi reseptor opiat sejak tahun 1997,International Union of Pharmacology (Unphar) telah mengklassifikasikan reseptor opiat sebagai OP1(untuk delta),OP2(untuk K) dan OP3(untuk Mu).


bersambung

Wednesday, August 24, 2011

Mati Otak (Brain Death)

Bookmark and Share

dr Abdul lian SpAn KNA
Bagian Anestesiologi Faked Undip Semarang


Pendahuluan :
Otak orang dewasa yang beratnya 2% dari berat badan,dilayani sirkulasi darah 15% dari kardiak output dan membutuhkan oksigen 20% dari konsumsi oksigen seluruh tubuh atau lebih kurang 3,3 ml O2 /100 gram otak menit yang dikenal dengan istilah laju metabolik otak untuk O2(CMRO2) dimana (55-60)% nya digunakan untuk mempertahankan intergritas seratus milyard neuron otak berupa homeostasis,mempertahankan perbedaan ion,stablitas membran,
aktifitas mitokondria dan pengeluaran CO2,sementara (40-45)% nya digunakan untuk fungsi neuron berupa pembentukan dan penghantaran impuls. Tergantung pada aliran darah otak(CBF),oksigen dan glukose.


Sumber energi otak sebagian besar diperoleh dari glukose sedangkan sumber yang lain ialah hidroksi butirat dan aceto asetat.Ketidak mampuan perfusi otak karena penurunan CBF dibawah kritis untuk memenuhi pasokan oksigen dan nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan intregritas metabolisme dan fungsi neuron yang merupakan dasar kerusakan otak yang dikenal dengan iskemia cerebri dengan konsekwensi mulai dari transsient ischemic attack( TIA) sampai terjadi mati otak.


Penurunan CMRO2 sampai 2,0 cc/100 gram otak/menit  berakibat koma sedangkan penurunan CMRO2 sampai dibawah sepertiga normal bisa menyebabkan brain stem death (mati batang otak).


Yang termasuk batang otak adalah medulla oblongata,pons,thalamus,hipothalamus,retikular aktivating system,basal ganglia,limbik system tetapi yang utama adalah medulla oblongata dan pons dimana terletak pusat
pernafasan dan sirkulasi, kesadaran dan nukeus syaraf kranial.

MATI BATANG OTAK (MBO):
Yang dimaksud mati dewasa ini adalah mati batang otak walaupun jantung masih berdenyut dan respirasi dengan ventilator masih dipertahankan.
Dahulu definisi kematian adalah apnoe(henti nafas) dan circulatory arrest(henti sirkulasi) dimana aktivitas cerebral terhenti sebentar (reversible) masih mungkin dilakukan cardiopulmonary dan brain resusitasi kemungkinan fungsi otak kembali normal, kematian seperti ini disebut Clinical death(mati klinis).
Bila mati klinis berlanjut tanpa resusitasi akan terjadi nekrosis seluruh jaringan tubuh dimulai dari otak, disebut biological death (mati biologis).
Sedangkan sosial death (mati sosial) (persistent vegetative state)(sindroma apalika) menggambarkan kerusakan otak yang irreversible dimana pasien tetap tak sadar /tidak responsif tetapi mempunyai EEG yang masih aktif dan beberapa reflek masih utuh.


Cerebral death(mati cerebral) dimana cerebrum mengalami nekrosis terutama neocortical.
Brain death (total brain death)(mati otak total) adalah mati cerebral dengan nekrosis sisa otak lainnya (cerebellum,midbrain dan brain stem).(otak kecil,otak tengah dan batang otak).
Harus dibedakan brain death dengan severe neurological dysfunction dimana masih ada menetap sedikit aktifitas otak,biasanya kita bagi dua golongan:


1.Locked in Syndrome (paralytic akinesia)(cerebrospinal 
   dysconection)
   Dalam keadaan ini : Mental awareness(+).
                                  Cranial nerve dysfunction (+)
                                  Voluntary muscle movement (-)
   umpama : lesi medulla-pontine.
               
2.Apalic syndrome :
   Depressi awareness yang dalam depressi EEG sampai 
   isoelektrik.
   Fungsi brainstem masih berlangsung atau bisa 
   ditimbulkan.


Untuk itu baik fungsi cortical maupun brainstem harus diteliti dengan kriteria yang ditetapkan dalam menentukan brain death.
Yaitu yang ditetapkan oleh Presbyterian University Hospital Pittsburg.
Kriteria untuk menentukan diagnosis MBO (mati batang otak).
Pasien yang diobservasi harus di rumah sakit,dengan dua kali pemeriksaan.
Klinik dimana jarak (interval) kedua pemeriksaan tidak kurang dari dua jam dilakukan oleh minimal 2 ahli yang mendapat kompetensi (neurologist,neuro surgeon atau intensivist) bersama atau terpisah.

A. Koma dengan sebab yang ditetapkan,dan tidak adanya 
    induced hipotermia dan obat-obat yang bersifat 
    depressant.
   Jika ada indikasi pemeriksaan ethanol darah,dan 
   toksikologi harus dilakukan dan temperatur tubuh juga 
   dicatat.

B. Tidak dijumpai gerakan otot spontan,tanda-tanda sikap 
    abnormal (decerebrasi&decorticasi) atau menggigil 
    dalam keadaan tanpa muscle relaxant (pelemas otot) 
    atau obat sedatif.

C. Cranial reflexes & responses:(minimal lima reflex 
    negatif).
1. Tak ada respons reflex cahaya pupil ini disamarkan oleh 
    obat antikolenergik.
2. Tak ada cornea reflex.
3. Tak ada respons terhadap stimulus sakit yang hebat 
    seperti tekanan pada supra orbital.
4. Tak ada respons terhadap stimulus jalan nafas bagian 
    atas dan bawah umpama pharyngeal atau penghisapan 
    endotracheal.
5. Tak ada respons okular bila telinga diirigasi dengn 50 cc 
    air es (tak ada gerakan mata)(reflexoculovestibular). 
    Hal ini bisa disamarkan oleh obat ototoksik,penekan 
    vestibular.
6. Tak ada gerakan bola mata bila kepala diputar(reflex 
    oculocephalic).

D. Tak ada gerakan nafas spontan selama tiga menit 
     bila ventilator dilepas dan PaCO2 > 50 Torr pada akhir 
     test apnoe dalam hal ini tanpa pelemas otot, tak 
     dilakukan bila ICP tinggi.
     Jika pada riwayat penyakit pasien mempunyai keter
     gantungan pada stimulus hipoksia untuk pernafasan 
     umpama pada penderita COPD (Chronic Obstructive 
     Pulmonary Diseases) maka PaO2 pada akhir test harus < 
     50 Torr. Jadi dicatat PaO2 dan PaCO2 pada akhir test 
     apnoe.

Test apnoe : 
a. Pre oksigenasi selama 10 menit dengan O2 100% untuk 
    mencegah hipoksia.
b.Beri CO2 5% dalam 95% selama 5 menit berikutnya untuk 
   menjamin PaCO2 awal 40 torr.
c.Ventilator dilepas, insuflasi O2 6L/menit via kateter 
   lewat karina selama sepuluh menit,untuk mencegah 
   hipoksia, agar tak terjadi kerusakan organ.
   Test ini diulang dengan selang waktu 25- 40 menit, untuk 
   mencegah kesalahan pengamatan.

E.Gambaran EEG yang isoelektris :
   Dengan minimal tehnik pencatatan yang telah ditetapkan 
   bisa terjadi atas pengaruh sedatif encepfalitis,trauma 
   otak atau anoksia atau hipotermia yang dalam.

F. Kegagalan menaikkan heart rate (kecepatan denyut 
    jantung) dengan pemberian 1-2 miligram Sulfas atropin 
    intra vena setelah lima menit atau kenaikan tak lebih 
    5x/menit.

Penetapan diagmosis MBO perlu untuk menentukan sikap kita dalam mempertahankan atau mengakhiri tindakan resusitasi gawat darurat.       
Bila diagnose MBO sudah pasti maka pasien dinyatakan meninggal dengan sertifikat kematian. Walau jantung masih berdenyut, tidak diperlukan persetujuan keluarga untuk membuat sertifikasi kematian.
Tetapi bila pasien telah menyatakan dirinya sebagai donor organ sebelum kematiannya maka setelah onset braindeath resusitasi terus dilakukan sampai organ tubuh pasien dikeluarkan untuk mempertahankan keawetan organ, tetapi kontra indikasi bila dijumpai beberapa keadaan tertentu, dibahas dalam management resusitasi untuk transplantasi organ.
Setelah MBO cardiac death (mati jantung) sekunder biasanya terjadi setelah 72 jam sejak MBO tetapi kadang kadang walau jarang bisa sampai satu bulan. Ini karena merupakan efektor autonom yang bekerja tanpa pengaruh syaraf pusat dalam waktu terbatas.
Sikap kita ventilator dihentikan biarkan saja sampai circulasi berhenti sendiri.

Mati jantung adalah henti jantung yang irreversible dimana EKG isoelektris selama minimal 30 menit, (intractable electric asystole) walaupun terapi CPR telah optimal. 
Tidak ada pulsasi tetapi ada EKG complex (mechanical asystole tanpa electric asistole) bukanlah tanda irreversibelity cardiac.
Selama aktifitas EKG berlangsung kita harus bersikap bahwa masih ada waktu untuk memulihkan circulasi spontan.
Sebenarnya aktifitas EKG bisa berlangsung setelah beberapa menit terjadi henti jantung tanpa resusitasi atau berjam-jam selama CPR dilakukan.
Selama CPR dengan dada tertutup tanpa monitoring EKG tak bisa dibuktikan adanya henti jantung yang irreversible oleh karena ventrikel fibrilasi mungkin ada dan ventrikel fibrilasi selalu mungkin reversible. Ada beberapa kasus ventrikel fibrilasi setelah CPR berjam-jam disertai defibrilasi pulih kembali kesadarannya.

Bila telah dilakukan CPR ditemukan sirkulasi spontan,reaksi pupil positif respirasi spontan, gerakan spontan ini menunjukkan adanya oksigenasi serebral.
Bila pupil tetap dilatasi tanpa reaksi,tanpa respirasi spontan selama 1-2 jam,walaupun sirkulasi spontan sudah dicapai, ini menunjukkan kerusakan otak yang hebat walaupun tidak selalu disertai mati batang otak.
Perlu diketahui pupil dilatasi /fixed bisa dijumpai diluar mati otak yaitu kontussio serebri,perdarahan intra kranial,pemberian katekolamin waktu resusitasi atau overdosis obat-obat hipnotik.


Secara kasar pasien yang sadar dalam waktu sepuluh menit sesudah sirkulasi spontan akan pulih kembali dengan fungsi otak yang normal,tetapi setelah 6-12 jam sejak sirkulasi spontan dilakukan penekanan yang kuat pada sudut mandibula, tanpa respons nyeri, tanpa Doll eyes,biasanya pasien akan menderita kerusakan otak yang permanent
(Bates).
Bila fasilitas EEG,monitor gas darah tak ada maka angiografi karotid yang menunjukkan tidak ada flow intrakranial alternatif yang dapat diterima sebagai bukti adanya MBO.

Pada tahun 1988 IDI mengeluarkan pernyataan berkaitan kapan seorang dinyatakan mati.
a.Bila pernafasan spontan dan jantung telah pasti 
   berhenti,setelah dilakukan CPR optimal.

b. Bila telah dipastikan terjadi MBO, tetapi pada CPR 
    darurat dimana tidak mungkin menentukan MBO maka 
    seorang dapat dinyatakan mati bila :


1. Ditemukan tanda-tanda mati jantung.
2. Setelah dimulai CPR pasien tetap tidak sadar, tidak 
    muncul nafas spontan, reflex muntah negatif serta pupil 
    tetap dilatasi,selama lebih 30 menit kecuali pasien 
    hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau 
    anestesi umum.

Check list untuk diagnose klinis dari brain death menurut Medical Center of Pittsburgh University dalam menerbitkan sertifikasi kematian :
I.Tidak adanya cofounding factors :
A.Tekanan darah sistolik > 90 mmHg tanpa vasopressor dan 
    perfusi perifer adekuat.
B. Suhu tubuh > 32 derajat C dibawah 32 C EEG bisa 
    isoelektris.
C. Tanpa obat mendepressi CNS 
    (anestetik,narkotik,sedatif,alkohol).
    Kadar sedatif tidak > subterapetik, kadar alkohol tak >= 
    100 mg%. Bila curiga lakukan test toksikologi. 
    Tak menggunakan pelemas otot, bisa membuat apnoe 
    atau gerakan(-). 
D.Tidak ada uremia,meningo ensefalopati,hepato 
    ensefalopati atau metaboilik ensefalopati bila ada harus 
   diambil EEG untuk menentukan brain death.

II. Absen fungsi serebral dan batang otak
A. Tak ada reflex batang otak termasuk test apnoe.
B. Tak ada responsivity dan reseptivity dari serebral.
   1.Tak respons terhadap stimulus nyeri (penekanan supra 
      orbital).
   2.Tak ada gerakan otot spontan, deserebrate rigidity atau 
      decorticasi atau kejang.
   3.Tak ada reflex cahaya pupil(fixed)(paling penting)
      (takperlu dilatasi atau equal)
   4.Tak ada reflex kornea (kelemahan facial sebelumnya 
      bisa bikin reflex kornea negatif).
   5 Tidak ada reflek batuk dan menelan (tak respons 
      terhadap stimulus jalan nafas atas dan bawah) dengan 
      menyedot faring atau trakea, via pipa trakeal.( test 
      n.vagus dan glossopharyngeal).
   6Tak ada reflex okulosefalik dengan memutar kepala arah 
     kesisi kontralateral tidak ada gerakan bola mata, tak 
     boleh dilakukan pada fractur cervical.
7. Tak ada reflex okulo vestibular (meninggikan kepala 30 
    derajat, lakukan irigasi 50 cc air es kedalam saluran 
    telinga luar tidak ada gerakan bola mata boneka.(test 
    labirinth)
8. Tidak ada peningkatan denyut jantung kalaupun ada tak 
     lebih dari lima kali permenit sesudah 5 menit diberikan 
     0,04 mg/kg atropin iv.  
     Sebagai tes fungsi n vagus dimana atropin sebagai 
     vagolitik.
     Dicatat denyut jantung sebelum dan sesudah test 
     atropin.
9. Apnoe pada saat PaCO2 > 60 mmHg merupakan stimulus 
    paling kuat untuk merangsang pusat nafas minimal 30 
    detik.
    Dicatat PaCO2 dan PaO2 pada akhir test apnoe.

III .Test untuk mengkonfirmasi diagnose brain death (confirmatory test) evaluasi fungsi neuron atau sirkulasi darah intra kranial.
A.EEG adanya elektro serebral silence, lebih dari 30 menit.
   Test ini dilakukan bila ada encefalopati, penyebab koma 
   tidak tahu atau global iskemia sudah berlangsung 24 jam 
   atau paling sedikit satu pemeriksaan tidak dilakukan atau 
   test apnoe tidak bisa dilakukan takut terjadi henti 
   jantung.


B.Cerebral arteriografi (4 pembuluh darah serebral) tidak 
   dijumpai sirkulasi darah intrakranial, test ini dilakukan 
   kalau pasien hipotermia berat,mendapat  CNS depressant, 
   alkohol atau pelemas otot.

IV.Komentar :
Semua hasil pemeriksaan telah memenuhi kriteria MBO walaupun jantung masih berdenyut.

Sertifikasi kematian :                       
Setelah mempertimbangkan hal-hal diatas dengan ini kami menyatakan kematian atas nama,jenis kelamin,umur,dan alamat,tanggal dan jam meninggal,ditanda tangani oleh dua orang dokter.               
Langkah selanjutnya memberi tahu keluarganya akan dihentikan bantuan hidup yang ujungnya sia-sia bukan berarti membiarkan mati.                 
Bila keluarga sudah menerima tentang kematian otak maka ventilator,monitor dan infus di stop,dilakukan oleh petugas yang merawat, biarkan sampai jantung berhenti sendiri.
Bila akan dilakukan transplantasi organ minta persetujuan tertulis dari keluarga. 
Bila setuju maka teruskan bantuan utama untuk mencegah injury organ.

Kontroversi MBO :                                  
Ada bukti-bukti menunjukkan residual neuron function yang bisa bertahan walaupun telah dinyatakan semua kriteria telah dipenuhi untuk diagnose MBO. 
Termasuk berlanjutnya produksi hormon hipofise/hipotalamus dan bertahannya suhu tubuh tetap normal walaupun pada angiografi 4 pembuluh darah serebral tidak ada tanda-tanda sirkulasi intrakranial.
Masih ada spontanous depolarisation bisa ditest dengan menempatkan elektrode lebih dalam meskipun EEG cortex isoelectric silence.
Adanya enviromental responsiveness dibuktikan dengan naiknya tekanan darah dan kecepatan denyut jantung sebagai respons pembedahan selama organ procurement diduga respons terhadap stimulus komponen extra kranial dari ANS.
Namun hal ini bisa terjadi sebab definisi MBO adalah hilangnya permanent semua fungsi neuron terpadu bukan kematian semua cell.

Ringkasan :
Kriteria MBO yang digunakan sejak 1968 di Universitas Pittsburgh termasuk ketiadaan total, aktivitas serebrum dan batang otak pada dua pemeriksaan klinis dengan interval minimal dua jam,tanpa depresan CNS,pelumpuh otot dan hipotermi. Diantara dua pemeriksaan klinis dilakukan perekaman EEG dengan atau tanpa stimulasi suara,dengan pembesaran dua mikrovolt per mm menunjukkan rekaman isoelektrik selama minimal 30 menit.

Tidak terdapatnya pernafasan spontan selama 3 menit dimana PaCO2 harus >50 torr untuk penderita COPD yang memerlukan hipoksia untuk pernafasan maka PaO2<50 torr untuk ini perlu analisa gas darah.

Reflex dan respons saraf otak termasuk reflex pupil harus tak ada. 


Laju jantung tak boleh meningkat selama pemberian atropin iv.


Semua aktivitas batang otak tidak ada kecuali aktivitas sumsum tulang karena neuron sumsum tulang belakang masih hidup setelah mati otak.


Bila fasilitas EEG atau BGA tidak ada, maka angiografi untuk memastikan tidak ada perfusi intrakranial sebagai alternatif.


Namun bila pemeriksaan laboratorium juga tak ada maka pemeriksaan klinis saja mencukupi.


Persetujuan keluarga tidak perlu untuk sertifikasi mati otak dan dua dokter minimal menanda-tangani sertifikat kematian pasien.


KEPUSTAKAAN :
1.Safar Pieter; Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation, 
   Published by Asmund S.Laerdal,Stavanger,Norway,1984.

2 Albin,Maurice : Brain death and vegetative state;Text 
   Book of Neuroanesthesia with neurosurgical and 
   Neuroscienceperspective,The MC Graw Hill Company, 
   Newyork, Sanfransisco,Toronto,Sydney,1977

3 GurningEJK; Brainstem death and Management of organ 
   Donor, Text Book of Neuro anesthesia and Critical Care, 
   edited by Menon K, Matta F. Greenwich Medical Media 
   Ltd., London.2000.

4 Grenvik et all; Cessation of theraphy in terminal illness 
   and braindeath; Critical Care Medicine vol.6 no.4 
   Augt,1978.

5.Pernyataan IDI tentang mati, Cermin Dunia Kedokteran, 
   no.57,1989.

6. Safar P, Resusitasi paru jantung otak,terjemahan IAAI 
    Jakarta,Agustus,1984.

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More