Sunday, August 28, 2011

Reseptor Opioid Dan Ketergantungan Obat (BAGIAN 2)

Bookmark and Share

AFINITAS DAN KEMANJURANNYA : 


Bergantung pada afinitas reseptor opioid yang berlainan dapat menimbulkan efek samping yang berbeda atau berbeda pula dalam mudahnya naloxon mengantagonis kerja opioid tersebut.


Dari penelitian ternyata kebanyakan opioid tidak begitu berbeda afinitasnya terhadap jenis reseptor. 


Kecuali bufrenorfin semuanya menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap reseptor Mu(OP3) sedangkan terhadap kappa(OP2) hanya moderat dan kemanjurannya tinggi.


Afinitas kemanjuran petidin dan fentanil sama dengan morfin biarpun obat ini sedikit lebih aktif terhadap reseptor K(OP2).


Pentazosin afinitasnya moderat tidak manjur terhadap reseptor Mu (OP3) (antagonis) tetapi afinitas rendah dan sangat manjur terhadap reseptor K(OP2) jadi merupakan analgesik reseptor K(OP2).


Bufrenorfin mempunyai afinitas lebih tinggi terhadap reseptor K(OP2) daripada reptor Mu (OP3). Kemanjurannya rendah dan merupakan agonis parsial.


Meth kefamid satu analog enkefalin lebih kuat dari morfin pada pemberian secara parenteral,bereaksi terhadap reseptor delta(OP1) dan Mu(OP3) dan menunjukkan toleransi menyilang terhadap morfin.

Naloxon adalah antagonis murni dari reseptor  Mu(OP3)
kappa(OP22) dan delta(OP1). 


Diperlukan dosis dua kali lebih besar untuk memblok reseptor kappa(OP2) daripada reseptor Mu(OP3) dan dosis 20x untuk memblok reseptor delta(OP1).

RESEPTOR,TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN :


Toleransi adalah fenomena pemakaian obat secara kronis sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih besar. 


Toleransi dapat timbul pada semua pasien yang memakai
narko analgesik lebih dari 1-2 minggu.


Tanda pertama timbulnya toleransi adalah menurunnya efek analgetik yang efektif. 


Toleransi bisa terjadi oleh sebab bawaan dan didapat.


Toleransi bawaan adalah berkurangnya sensitivitas tubuh terhadap obat yang diturunkan secara genetik, sedangkan toleransi yang didapat bisa disebabkan proses farmakokine
tik dan farmakodinamik.


Pemberian obat berulang akan menimbulkan perubahan distribusi dan metabolisme obat sehingga terjadi penurunan konsentrasi obat dalam darah dan selanjutnya penurunan konsentrasi obat direseptor obat, atau perubahan densitas reseptornya.


Karakteristik toleransi terhadap opiat adalah penurunan intensitas dan durasi analgesi ,euforia,sedasi dan efek lain yang diakibatkan depressi SSP dan peningkatan dosis letal rata-rata. Toleransi terhadap mual muntah sedasi,euforia dan depresi nafas terjadi secara cepat sedangkan toleransi terhadap konstipasi dan miosis adalah minimal.


Ketergantungan fisik adalah kecenderungan terjadinya sindroma abstinensia(withdrawal)(putus obat) bila dosis obat dikurangi secara tiba tiba atau bila diberikan antagonis opiat. 


Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik terhadap agonis opiat belum diketahui pasti.


Pemakaian kronis obat narkotik dapat menyebabkan kelainan SSP berupa bertambahnya jumlah reseptor opiat yang menjadi aktif diotak sesuai dengan jumlah opiat yang ada dalam darah.


Dengan PET Scan (Positron Emission Tonografi) dapat diketahui topografi struktur otak yang mengandung reseptor opiat dan kaitannya dengan efek obat pada tubuh.


Dengan PET Scan dapat pula diketahui bahwa penggunaan opiat secara kronis dapat merangsang penambahan jumlah reseptor opiat diotak.


Jumlah reeptor yang banyak ini mengakibatkan timbulnya craving (Sugesti,rasa rindu pada narkotik). 


Pemakaian opiat yang terus menerus akan menimbulkan kerusakan sistem keseimbangan alami opiat endogen yang dihasilkan otak yang pada gilirannya menyebabkan kelainan SSP berupa distres fisis dan aspek sekunder psikologis.


Telah diketahui bahwa sel noradrenergik lokus Sereleus (LS) (Nucleus pigmentosus) yang berada didasar ventrikel IV adalah satu sistem noradrenergik utama otak yang berperan dalam respons stress perilaku seseorang.


Tampaknya hiperaktifitas sel LS merupkan faktor penting yang berperan dalam proses ketergantungan, toleransi dan gejala putus obat pada manusia dan binatang (Resmich & Romussen)


Pada struktur dan fungsi membran sel LS banyak dijumpai reseptor spesifik dan klonidin. 


Bila opiat dan klonidin berikatan dengan reseptornya dimembran sel khususnya komplex protein GI(inhibisi) maka akan menghambat enzim siklase adenilat sehingga produksi cAMP dan protein kinase berkurang,hal ini mengakibatkan saluran ion kalium terbuka sekaligus menutup saluran ion natrium sehingga aktivitas seluler terhambat.


Bila opioid dipakai secara kronis maka sel sel LS beradaptasi terhadap opiat dengan menaikkan jumlah cAMP dan protein kinase intra sel sehingga sel menjadi aktif kembali dan menunjukkan toleransi terhadap pemberian  berikutnya.


Jadi opiat dikeluarkan dari reseptor dengan cara memberi antagonis (naloxon,naltreon) maka sel-sel LS menjadi hiperaktif dan banyak melepaskan hormon stress nor adrenalin otak yang akan memicu gejala putus obat (withdrawal) dikenal dengan istilah Cold Turkey oleh karena spasmo dari otot otot polos rambut (merinding).


Bagaimana proses adaptasi sel sel LS bisa terjadi pada penggunaan opiat kronis belum sepenuhnya diketahui, diduga adanya neuropeptida kolesistokinin dan N metil D Aspartat(NMDA) sebagai reseptor glutamat yang berperan sebagai sistem neurotransmitter anti opiat yang menimbul
kan toleransi opiat.


Pengaruh positif penggabungan reseptor glutamat metabo
tropik group I dan fosfodilinisitol hidroksil(mungkin juga reseptor sigma) cenderung menaikkan aktifitas protein kinase C (PKC) bersama-sama fosforilisasi reseptor opiat Mu (OP3) (proses desensitisasi ) dan peningkatan arus masuknya ion Ca melalui hubungan saluran ion dan resptor NMDA.


Kemungkinan lain adalah pengaruh negatip penggabungan reseptor glutamat metabotropik grup II dan III dan produksi cAMP memberi kontribusi peningkatan cAMP.


Berdasarkan analisis ligan radio isotop seperti Naloxon H3,fentanil isotiosinat,diinditifikasi adanya reseptor pada permukaan limposit dan makrofag/monosit manusia. 




Diketahui fungsi makrofag antara lain mensekresi sitokin interleukin I(II-I) sebagai substansi aktif pengatur fungsi tubuh penting melalui hormon pelepas kortikotropin maupun sel LS dalam sirkuit saraf komplex yang nengatur suhu badan,makanan,pola tidur dan perilaku seseorang.


Morfin sendiri dapat menghambat proliferasi makrofag sehingga dapat dipahami kekurangan sitokin interleukin( II-I) akan menimbulkan gangguan terhadap respons stress melalui mekanisme seperti diatas. 


Jadi ketergantungan obat merupkan gangguan fisiologi yang meliputi desensitisasi dan penambahan reseptor Mu desensitisasi reseptor asam amino glutamat bahkan termasuk supressi sistem imun sitokin II-I.


Dalam hal ketergantungan dan toleransi tampaknya ada perbedaan antara masing-masing reseptor opioid. 
Pada reseptor Mu agonis selalu memudahkan toleransi dan ketergantungan, pada reseptor K toleransi ada tetapi ketergantungan kurang menonjol,sementara  reseptor delta agonis juga kurang ketergantungan.

RINGKASAN :


Opiat seperti obat lainnya dalam mekanisme kerjanya haruslah bergabung dengan reseptornya. 


Dengan tehnik PET Scan dapat diketahui topografi struktur otak dan kaitannya dengan efek obat dalam tubuh dan dapat diketahui juga penggunaan kronik opiat/opioid merangsang pertumbuhan jumlah reseptor Mu diotak. 


Pertambahan jumlah reseptor aktif diotak merupakan kelainan primer pada pencandu narkotik. Desensitisasi reseptor merupakan faktor penting timbulnya toleransi dan ketergantungan obat. Dalam hal ketergantungan dan toleransi ada perbedaan masing masing reseptor.


Manipulasi reseptor opiat berperan penting dalam terapi ketergantungan obat.

RUJUKAN :
1. Stoelting Robert K: Pharmacology and Physiology in 
    Anestetic Practice ;Philadelphia JP Lippincott Co :1991

2. Collins Vincent : Opioid and Narcotic drug in Physiologic 
    and Pharmacological Bases of Anesthesia ;Pensylvania; 
    William & Wilkins 1996.

3. Santoso O.S : Analgesik Narkotik dalam Farmakologi dan 
    Terapi ed2 Bagian Farmakologi Faked UI,1980.

4. Mulyono I dkk : Opiat reseptor, efek klinis dan toleransi, 
    Anestesiologi Indonesia vol1 No.1 tahun 2000.

5. Nizar R : Tinjauan proses ketergantungan obat,   
    Anestesiologi Indonesia,vol 1 No.1 tahun 2000.

6. Djaya Smith N : Cara kerja analgetika pada analgesia epidural dalam Simposium Penanggulan nyeri pada persalinan, Paket 1 Jakarta 1986.

0 comments:

Post a Comment

T E R B A R U

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...